Sesal tidak pernah henti menghantui Gyan atas apa yang terjadi kepada Elenio. Dua hari sudah berlalu, tapi sampai saat ini ia belum punya nyali untuk menemui anak itu. Bukan karena takut, tapi peringatan dan permohonan Rhae masih terekam jelas. Gyan benar-benar tidak mau membuat wanita itu emosi disaat ia sudah melakukan kesalahan besar.
“Mas, kenapa bengong?” Arella muncul dari arah dapur sambil membawa es krim. “Lagi ada masalah atau apa?”
Gyan menggeleng, membiarkan adiknya duduk kursi kayu panjang yang sengaja diletakkan di teras samping dekat kolam renang.
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Bohong! Aku adiknya Mas Gyan, jadi hafal betul bagaimana kondisi sedang baik-baik saja atau lagi ada masalah,” jelas Arella. Satu suap es krim rasa pistacio masuk ke mulutnya. “Cerita aja, siapa tahu aku bisa kasih solusi.”
“Seorang Arella bisa kasih solusi? Wah, ajaib sekali,” ledek Gyan.
Arella berdesis sambil memukup pelan lengan kakaknya. “Aku sudah cukup dewasa, jangan anggap remeh saran dan pemikiranku.”
Gyan membenahi posisi duduknya. Memperhatikan Arella makan es krim yang semakin mengingatkannya pada Nio. Kebod0hannya menyebabkan anak itu masuk IGD dan nyawanya dalam bahaya. Sungguh, Gyan ingin memeluk anak itu dan meminta maaf.
“Kenapa lihatnya begitu? Ada noda di wajahku?”
“Enggak. Tapi es krimnya mengingatkanku pada seseorang.”
Sontak kening Arelle mengkerut dengan ekspresi wajah curiga. “Ingat dengan siapa? Pacar Mas Gyan? Ayo cerita!”
Gyan tersenyum sambil menggeleng. “Kamu kepo sekali.”
“Mas!”
“Oke, baiklah. Aku akan cerita tapi dengarkan baik-baik karena aku nggak akan ulang walaupun kamu merengek.”
“Siap Bos!”
Pada akhirnya Gyan bercerita kepada Arella mengenai apa yang menimpa Nio dan juga Rhae. Adiknya ini memang lebih peka daripada Ragnala. Tetapi sama-sama perhatian dan juga punya sikap hangat. Jadi ini bukan kali pertama berbagi hal kepada adik kembarnya itu.
Cerita yang Gyan sampaikan tidak ia ungkapkan secara keseluruhan. Ia tidak mau adiknya curiga atau salah paham. Apalagi berpikir tidak-tidak tentang Rhae yang sudah berkeluarga. Sebisa mungkin tetap melindungi privasi ibu dan anak.
“Oh Tuhan! Kenapa Masku jadi ceroboh begini? Siapa yang ngajarin Mas ngajak anak orang makan es krim, apalagi murid di sekolah. Mas Gyan benar-benar nggak waras,” keluh Arella setelah selesai mendengar cerita dari kakaknya.
“Aku tahu apa yang aku lakukan memang aneh dan menyebalkan bagi sebagian orang. Makanya aku menyesal dan bingung harus gimana.”
Arella diam sejenak untuk berpikir. Bagaimanapun ini masalah yang bisa saja menjadi besar. Ada kemungkinan orang tua Nio melapor ke sekolah atau mengajukan tuntutan. Lebih parahnya kesalahan kakaknya sampai ke telinga Maira – ibu mereka.
“Mending Mas temui sekali lagi, deh. Jangan ke sekolah, tapi ke rumahnya. Setidaknya dengan begitu nggak melibatkan sekolah lagi. Mas juga bisa leluasa ngomong sama mamanya Nio. Dan yang paling penting, bisa ketemu papanya anak itu.”
“Aku nggak tahu alamat rumahnya, Rella. Lagi pula, kalau aku datang ke sana, bisa saja diusir sama mereka. Makin kacau jadinya.”
Wanita itu menggeleng pelan. “Sejak kapan kamu jadi pengecut begini, Mas? Perasaan, semua masalah selalu kamu hadapi dengan kepala tegak. Mas Gyan memang salah tapi harusnya, Mas nggak berlebihan mikirin ini semua.”
Gyan menghela napas, lalu menyandarkan badan di kursi yang diduduki. “Aku juga bingung kenapa aku harus peduli anak itu. Selalu nggak tega lihat dia sendiri atau mengabaikan sapaannya saat kami bertemu. Nio seperti punya sesuatu yang spesial.”
“Itu karena kamu sudah waktunya punya anak. Naluri sebagai ayah sudah ada, tinggal cari istri dan langsung buat,” ujar Arella santai.
“Nggak ada hubungannya. Aku memang suka anak kecil. Kenapa kamu jadi seperti mama, selalu saja membahas itu.”
“Oh iya Mas, jangan sampai lupa soal peringatan mama. Aku sempat dengar mama ngomong di telpon sambil bahas kamu. Katanya mau dikenalin ke anak teman arisannya.”
“Mama berlebihan, aku nggak akan mau menikah tanpa keinginan sendiri. Memangnya menikah Cuma sekadar punya pasangan. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, terutama kesiapan mental.”
Arella mengangguk lalu fokus pada es krim yang hampir habis. “Ya terserah Mas, yang penting aku sudah ingatkan. Dan satu lagi, cepat minta maaf sama anak itu dan selesaikan urusan kalian. Mas jangan ganggu mereka lagi, anggap saja kalian nggak pernah kenal.”
“Iya, nanti aku pikir lagi,” jawabnya. Tiba-tiba tangan Gyan dengan enteng menoyor kening adiknya hingga Arella kaget.
“Kenapa sih, Mas?” protes Arella.
“Kamu kapan mau pulang? Libur kerja bukannya di rumah, malah tidur di sini. Lama-lama kamu bisa pindah ke rumahku.”
Adiknya langsung memutar bola mata, memasang ekspresi malas. “Nggak usah protes, Mas. Keberadaanku sangat berarti buat nolongin kamu yang lagi pusing karena anak orang.”
“Memang salah minta pendapat kamu. Ujung-ujungnya pasti bertingkah sombong,” sindir Gyan balik.
***
Pandangan mata Gyan saat ini fokus pada sebuah rumah yang katanya Rhae sebagai pemiliknya. Caranya memang salah, meminta pihak sekolah untuk membagi alamat rumah Nio. Namun tidak ada cara lain untuk tahu informasi ini, Setelah penuh pertimbangan, akhirnya Gyan memutuskan datang dan mencari tahu bagaimana keadaan Nio saat ini.
“Selamat malam Rhae, maaf kalau saya datang ke sini. Saya Cuma mau ketemu Nio, sekaligus minta maaf kepada daddy-nya atas kejadian kemarin.”
Entah sudah berapa kali Gyan menghafal dialog yang akan disampaikan saat bertemu Rhae pertama kali. Ia yakin wanita itu tidak akan suka dengan kehadirannya. Itu sebabnya Gyan tidak mau basa-basi demi menjaga emosi Rhae.
“Saya janji, ini yang terakhir kali mengganggu Nio.”
Gyan mengerang frustrasi. Apa yang ia lakukan untuk bertemu Nio terasa berlebihan. Padahal sebelumnya, ia juga pernah menghadapi masalah yang lebih pelik, tapi tetap tenang dan semuanya bisa diatasi.
“Sebaiknya aku turun sekarang biar urusan cepat selesai. Segalak-galaknya Rhae atau juga suaminya, kita sama-sama manusia, jadi tidak mungkin mereka telan aku hidup-hidup,” gumamnya.
Gyan pun memutuskan keluar dari mobil untuk bertamu ke kediaman Rhae. Tidak lupa juga, mengambil beberapa makanan dan minuman sehat untuk Nio yang di simpan di bagian belakang mobil. Yang paling penting, Gyan juga sudah memastikan secara benar mengenai kandungan dari makanan dan minuman yang ia bawa, demi menghindari kejadian beberapa hari yang lalu.
“Tenang Gyan, selalu ada maaf untuk orang yang mengakui kesalahannya,” ucap Gyan kepada diri sendiri.
“Mau ke mana, Mas?”
Suara yang muncul dari dalam rumah membuat Gyan terkejut. Padahal ia belum memanggil si pemilik rumah tapi sudah ada yang keluar dari dalam sana.
“Maaf, saya mau ketemu Rhae.”
“Rhae?”
Gyan mengangguk. “Iya. Rhaellia Joseph, mommy dari Nio.”
Wanita paruh baya itu lantas membuka pagar rumahnya. “Oh Mommy Nio? Rumahnya bukan yang ini, tapi yang di depan itu.”
Sontak saja Gyan mengikuti arahan telunjuk wanita itu. Gyan kembali membuka ponsel untuk mengecek alamat yang ia terima. Dan benar saja, ia salah melihat nomor rumah.
“Oh iya, saya yang salah nomor,” gumamnya malu. “Kalau begitu saya minta maaf. Biar mobilnya saya pindahkan.”
“Tidak usah. Tidak apa-apa parkir di sini. Saya dan Rhae sudah bertetangga cukup lama, jadi sudah seperti keluarga,” jelasnya. “Ngomong-ngomong Anda siapanya Rhae? Pacarnya, ya?”
“Hah? Saya?”
“Nah, itu dia. Rhae, ini ada tamu!”
Belum sempat Gyan menjawab, suara wanita itu membuatnya terkejut dan ikut menoleh. Terlihat Rhae berdiri di depan pintu rumah, mengarahkan pandangan kepadanya.
“Iya Tante, siapa tamunya?”
Gyan didorong oleh wanita itu agar segera menghampiri Rhae yang kini tengah membuka pagar karena penasaran.
“Cepat ke sana. Rhae pasti senang pacarnya berkunjung ke sini.”
Masih dalam keadaan bingung dan juga terkejut, Gyan melangkahkan kakinya untuk mendekati Rhae. Segala bentuk rasa penasaran kini muncul di kepalanya. Wanita tadi yang menganggapnya sebagai pacar Rhae, seperti memberikan petunjuk kepada Gyan, siapa sebenarnya ibu dari Nio.
“Selamat malam, Rhae,” sapa Gyan.
Betapa kaget wajah Rhae melihat keberadaan Gyan di hadapannya. “Kamu, ngapain ke sini?”
Gyan terpaku melihat Rhae dengan wajahnya yang polos. Dalam keadaan polos, justru semakin memesona. Sadar akan pikiran yang tidak sopan, Gyan menggeleng. Kini dalam hatinya sedang bertanya-tanya tentang status dari wanita di hadapannya.
“Kalau Cuma berniat buat masalah lagi, tolong segera pergi dari sini,” ucapnya setengah berbisik agar tetangga tidak curiga.
“Jangan lama-lama di luar, nanti tetangga pada kepo sama kalian. Cepat masuk Rhae, sebelum komplek jadi heboh karena sebuah keajaiban, pacar kamu datang ke sini.”
Gyan merasa bersalah karena menyebabkan salah paham antara Rhae dan juga tetangganya. Andai saja ia tidak salah rumah, mungkin saja Rhae tidak harus mendengar ucapan wanita itu.
“Iya Tante, ini mau masuk,” ucap Rhae dengan ekspresi kesal yang ditahan.
“Ya sudah, Tante ikut senang lihat kamu bahagia, Rhae. Tante masuk dulu ya, nikmati waktu kalian berdua.”
Rhae seakan tidak sanggup lagi memberi tanggapan. Yang Gyan lihat, kilat amarah muncul dari sorot mata wanita itu. Niat hati memperbaiki hubungan, justru timbul salah paham yang lain.
“Saya minta maaf. Tidak ada niatan buat tetangga kamu salah paham soal saya,” ucap Gyan.
“Ngomong di dalam saja. Daripada dilihat tetangga yang lain, bisa jadi bulan-bulanan gosip saya di sini,” ucap Rhae kesal.
“Terima kasih sudah izinin saya masuk.”
Rhae menghentikan langkah, kemudian memberikan tatapan tajam kepada Gyan. “Jangan geer! Saya menerima kamu karena terpaksa. Jadi jangan pernah berpikir kalau saya menganggap kamu sebagai teman. Tidak, saya tidak akan berteman dengan orang yang tidak menghargai keputusan saya,” kecam Rhae.
Seperti yang Gyan duga, tidak ada kehangat dari Rhae. Wanita itu seperti membentengi diri dengan tembok kokoh dan tidak berniat memberikan celah bagi orang lain untuk melewatinya. Jika dugaannya benar tentang status Rhae, tentu saja ia tahu alasan dari sikap keras wanita di hadapannya.
“Apa single parent jadi alasan utamanya?” batin Gyan penuh tanda tanya.