"Ada apa ribut-ribut!"
Suara Vasko menggelegar, menyayat udara seperti kilat yang membelah langit malam sebelum badai. Tangan yang semula terangkat, hendak mencabik pipi Selin, kini terhenti di udara, lalu gemetar sebelum perlahan diturunkan. Wajah pamannya, yang biasanya dipenuhi dengan kesombongan, kini pias, seakan darahnya tersedot oleh rasa takut yang tiba-tiba menyergap.
Pamannya menunduk, melangkah mundur, dan bersembunyi di belakang tubuh kakaknya—ayah Vasko sendiri—seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen. Sementara itu, sang ayah, meski masih mencoba menyunggingkan senyum, tak bisa menyembunyikan gugupnya.
"Kamu kembali?" tanyanya dengan suara yang dipaksakan untuk terdengar ramah, namun getaran halus di ujungnya mengkhianati perasaannya yang sebenarnya.
Vasko tak menghiraukan pertanyaan itu. Matanya langsung mencari seseorang—sosok tua yang ia khawatirkan lebih dari apa pun. Dan ketika tatapannya menangkap tubuh renta yang hampir tertunduk pasrah, amarah dalam dadanya mendidih.
''Kakek, tidak apa-apa?" Suaranya melembut, tapi di dalamnya tersimpan ketegangan yang siap meledak kapan saja.
Sang kakek mengangkat wajahnya perlahan. Keriput di dahinya semakin dalam, sorot matanya sendu, namun di baliknya ada rasa syukur yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ia hampir kehilangan harapan, hampir menyerah pada kebrutalan anak keduanya, namun kini, melihat Vasko berdiri di sana—tegak, penuh wibawa—seperti mercusuar di tengah badai, ia merasa seperti baru saja diselamatkan dari jurang keputusasaan.
"Kamu kembali, cucuku?" suara sang kakek lirih, seakan takut kebahagiaannya hanya ilusi yang bisa lenyap dalam sekejap.
Vasko tersenyum kecil, meski hatinya masih bergejolak. "Aku cemas sama Kakek." Lalu, tanpa ragu, ia meraih tubuh renta itu dalam pelukannya, erat tapi penuh kelembutan. Pelukan yang seolah ingin mengatakan: Kakek tidak sendiri, aku ada di sini.
Setelah melepaskan pelukan itu dengan perlahan, Vasko menoleh ke Selin. "Bawa Kakek ke dalam kamarnya," katanya, suaranya tegas, tapi matanya menyiratkan rasa percaya.
Selin mengangguk cepat dan segera menggandeng tangan kakek, membimbingnya pergi. Langkah mereka berdua terdengar sayup, seakan membawa ketenangan menjauh dari badai yang kini mulai berpusar di ruang itu.
Ketika Vasko kembali menatap dua lelaki di hadapannya, tak ada lagi kelembutan di wajahnya. Hanya ada tatapan tajam seperti pedang yang siap menebas.
''Siapa yang mengizinkan kalian masuk ke dalam rumahku?"
Kata-kata itu jatuh seperti palu godam, menggema di ruangan, menusuk ke dalam kebisuan yang mencekam. Ayahnya dan pamannya tak langsung menjawab. Wajah mereka tegang, seperti anak-anak yang baru saja tertangkap melakukan kesalahan besar.
Vasko berdiri tegap, seperti singa yang siap menerkam penyusup di wilayahnya. Ia telah kembali—dan kali ini, ia tak akan membiarkan siapa pun merusak kedamaian rumahnya.
Selin menurunkan tubuh sang kakek perlahan ke atas ranjang, memastikan kenyamanannya seperti seorang ibu yang menidurkan bayinya. Matanya menelusuri wajah renta itu, penuh kerutan yang bercerita tentang kehidupan yang panjang—penuh perjuangan, cinta, dan kini… pengkhianatan.
"Kakek mau buah?' tanyanya lembut, hampir berbisik, takut suaranya akan mengusik ketenangan yang rapuh di dalam ruangan itu.
Sang kakek menggeleng pelan. Mata tuanya yang lelah menatap ke langit-langit, seakan mencari jawaban di antara retakan kecil di atasnya.
Selin tidak memaksa. Ia terlalu mengerti luka yang sedang bersarang di hati kakeknya. Luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan sepotong buah atau secangkir teh hangat.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di kursi di samping ranjang, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Tapi keheningan itu tak bertahan lama.
Isak pilu menggetarkan udara, lirih namun menghunjam jantung.
Selin menoleh, dan hatinya seperti diremas saat melihat air mata jatuh di pipi keriput kakeknya. Seorang lelaki tua yang seharusnya menikmati ketenangan di masa senjanya, kini terpuruk dalam kesedihan yang tak terbayangkan.
Tanpa ragu, Selin meraih tangan kakek dan menggenggamnya erat. Jari-jarinya yang kecil terasa hangat di atas kulit tua yang mulai mendingin. Ia mengusap air mata yang jatuh tanpa henti, mencoba menghapus luka yang tak terlihat, mencoba menghapus rasa sakit yang tak terucapkan.
''Kakek, kenapa nangis?" tanyanya dengan suara selembut embusan angin.
Sang kakek menggeleng, tetapi sorot matanya bercerita lebih banyak dari yang bisa diungkapkan kata-kata. Mata itu penuh duka, penuh kekecewaan yang mendalam.
"Anak yang kakek besarkan dengan penuh kasih sayang… Anak yang kakek jamin masa depannya… ternyata ingin membunuh kakek. Apa yang harus aku lakukan, Selin?"
Kata-kata itu pecah dalam tangisan. Laki-laki tua yang telah melalui begitu banyak badai dalam hidupnya, kini menyerah pada gelombang kesedihan. Air matanya jatuh begitu deras, seakan setiap tetesnya membawa pecahan dari hatinya yang hancur.
Selin tak sanggup melihatnya. Dadanya sesak, matanya ikut memanas, tapi ia menahan air matanya. Ia harus menjadi kuat.
Ia mengusap air mata kakek berkali-kali, seolah ingin menyapu bersih kepedihan dari wajah itu. Ia tersenyum, meski hatinya terasa berat, dan menggenggam tangan kakeknya lebih erat.
"Kakek tidak sendiri," bisiknya. "Masih ada kami yang mencintai kakek. Masih ada Vasko. Kami tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kakek."
Dan di dalam ruangan kecil itu, meskipun duka masih menggantung di udara, setidaknya ada sedikit kehangatan yang mulai mengisi celah-celah hati yang terluka.
Perlahan, cahaya redup dari lampu kamar menerangi wajah sang kakek yang kini mulai tenang. Senyum tipis akhirnya menghiasi bibirnya, seakan sepotong kedamaian kembali bersemi di dalam dadanya yang telah lama dihantam badai. Selin menghela napas lega. Perjuangannya untuk menenangkan lelaki tua itu tak sia-sia. Kini, kakek bahkan sudah mulai mau makan buah, suapan demi suapan, meski masih terasa berat.
''Kalau gitu, saya ke luar dulu sebentar ya, Kek," ujar Selin, suaranya sedikit lemah. d**a dan perutnya terasa aneh, gelombang mual bergejolak tanpa sebab yang jelas.
Sang kakek mengangkat wajahnya, menatapnya dengan lembut. "Baiklah, Nak. Jangan lama-lama, karena kakek bakal kesepian."
Selin tersenyum, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman dalam tubuhnya. Ia menggenggam tangan kakeknya erat, seolah ingin meninggalkan kehangatan di sana agar lelaki tua itu tak merasa sendirian.
"Jangan khawatir. Aku akan segera kembali."
Dengan langkah kecil, ia keluar dari kamar, menuju toilet untuk menenangkan tubuhnya yang mulai gelisah. Namun belum sempat mencapai tujuannya, langkahnya terhenti seketika.
Braaak!
Sebuah suara pecahan kaca terdengar dari ruang makan. Jantung Selin berdegup kencang. Apakah Vasko mengamuk?
Penasaran dan cemas bercampur dalam dadanya. Ia mendekat, langkahnya ringan seperti bayangan, lalu mengintip dari balik tembok. Dan benar saja…
Vasko tengah mengamuk.
Tangannya yang kuat menyapu meja makan dengan brutal, piring-piring beterbangan, gelas pecah berserakan di lantai seperti serpihan kemarahan yang tak bisa ia tahan. Matanya yang selalu tampak dingin kini memerah, dihiasi jejak air mata yang enggan jatuh sepenuhnya.
"Apa yang kalian inginkan? Uang? Harta? Berlian? Atau apa?!"
Suaranya menggema di ruangan, penuh luka yang tak bisa disembunyikan lagi. A Ayah dan pamannya hanya diam, menundukkan kepala seperti anak-anak yang ketahuan mencuri. Tak ada jawaban. Tak ada pembelaan.
Lalu, suara Vasko berubah. Melemah, bergetar, penuh dengan kepedihan yang membuat hati siapa pun menjerit dalam diam.
"Saya mohon… jangan ganggu kakekku."
Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, namun suaranya bergetar, tersendat oleh tangis yang selama ini ia tahan.
Selin terpaku. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia seharusnya tidak ada di sini. Tidak seharusnya ia menyaksikan sisi paling rapuh dari seorang Vasko yang selalu terlihat begitu kuat.
"Dasar Selin bodoh…"
Ia mencaci dirinya dalam hati, lalu dengan panik mencoba mundur. Namun gerakannya terlalu tergesa-gesa, terlalu terburu-buru—
"Selin!"
Suara itu membelah udara seperti petir di langit yang gelap.
Darah Selin seakan berhenti mengalir.
Langkahnya membeku di tempat. Udara terasa menipis. Seakan dalam sekejap, dunia sekelilingnya lenyap, menyisakan hanya dirinya dan suara Vasko yang bergema dalam dadanya.
Perlahan, dengan tubuh gemetar, ia menoleh.
Dan di sana, berdiri seorang Vasko dengan mata tajam yang menembus jiwanya.