Sebuah Kalung Berlian.

1100 Words
Selin hendak ke lantai atas, namun ia mendengar percakapan seru di ruang tamu. Ia berhenti di tengah tangga, ragu untuk melanjutkan langkah. Suara tawa dan sindiran kecil terdengar, membuatnya penasaran. Dengan perlahan, ia mengintip dari sela-sela dinding. Di sana, ia melihat Langit dan Vasko sedang berdebat, tetapi bukan dengan nada serius—melainkan dengan candaan yang tidak biasa. Selin mengerutkan kening. Ia jarang sekali melihat Vasko tertawa lepas seperti itu. Biasanya, pria itu selalu memasang wajah dingin dan penuh kontrol. Tapi kali ini, ada secercah kelonggaran dalam ekspresinya. Ia bahkan terlihat sesekali tersenyum—sesuatu yang jarang terjadi. Selin merasa sedikit aneh melihatnya. Namun, ketika ia hendak melanjutkan langkahnya ke lantai atas, suara Langit tiba-tiba memanggilnya. “Selin!” Langkahnya terhenti seketika. Selin berbalik, menatap Langit dengan sedikit canggung. “Tuan Pengacara?” sapanya sopan. Langit berdiri, membawa sebuah paper bag di tangannya, dan berjalan menghampiri Selin dengan senyum ramah. “Kamu ke mana? Aku tadi mau cari kamu,” katanya. “Maaf, saya sedang—” Selin mencoba menjelaskan, tapi Langit langsung memotongnya. “Sudahlah, kamu enggak perlu minta maaf. Aku cuma mau kasih ini.” Ia menyerahkan paper bag itu pada Selin. Selin menatapnya dengan bingung. “Untuk saya, Tuan?” Langit mengangguk sambil tersenyum lebar. “Iya, untukmu. Anggap saja sebagai hadiah kecil.” “Dia tidak butuh hadiah apa pun darimu.” Suara Vasko terdengar tajam dari sofa. Ia masih duduk dengan sikap santai, tetapi matanya menatap tajam ke arah Langit dan Selin. Langit menoleh ke arah Vasko dengan seringai. “Kamu ini kenapa sih, Vasko? Cemburu?” “Aku hanya memastikan pelayanku tidak menerima barang yang tidak perlu,” balas Vasko, matanya menyipit penuh kewaspadaan. Selin merasa situasinya mulai canggung. Ia menunduk sedikit sambil meremas tali paper bag di tangannya. “Terima kasih, Tuan. Kalau begitu, saya permisi,” katanya, mencoba menghindari ketegangan di antara keduanya. Namun, Langit dengan cepat menahan langkahnya. “Tunggu dulu, Selin. Aku belum selesai bicara.” “Kamu tidak dengar? Dia sibuk. Jangan buang waktunya,” sela Vasko dengan nada dingin. Langit mengangkat kedua tangannya, berpura-pura menyerah. “Baiklah, baiklah. Tapi Selin, kalau ada apa-apa, kamu tahu ke mana mencariku, ya?” ujarnya dengan nada menggoda. Vasko mendengus pelan, sementara Selin hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya berbalik dan melangkah ke arah tangga. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat mendengar Langit berkata dengan nada mengejek. “Vasko, kamu protektif banget sama dia. Jangan-jangan, ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” Selin tidak berani menoleh, tetapi ia bisa merasakan atmosfer di ruang tamu itu berubah. Namun, ia memilih untuk tidak memikirkannya. Ia melanjutkan langkahnya ke lantai atas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat. Selin melangkah menaiki tangga dengan hati yang masih berdebar. Ia mencoba mengabaikan percakapan di bawah, tetapi suara Langit dan Vasko terus terngiang di telinganya. Ada sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka tadi—seperti perang tersembunyi yang tidak ingin mereka akui secara langsung. Namun, ia tahu satu hal: dirinya entah bagaimana menjadi pusat dari ketegangan itu. Sampai di lantai atas, Selin berjalan menuju ruangannya, namun pikirannya tidak tenang. Paper bag di tangannya terasa lebih berat dari seharusnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan membuka isinya dengan perlahan. Di dalamnya, ada sebuah kotak kecil berwarna perak yang terlihat elegan. Ketika dibuka, isinya membuat matanya melebar. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk mawar, dihiasi batu kecil berkilauan, tergeletak di sana. “Kenapa Tuan Langit memberikan ini padaku?” gumamnya. Sentuhan kalung itu terasa dingin di jemarinya. Ia merasa bingung—sekaligus tidak nyaman. Selin tahu, hadiah seperti ini bukan sesuatu yang biasa diterima oleh seorang pelayan seperti dirinya. Apalagi, ia baru bekerja di mansion ini. Pikirannya melayang pada Vasko. Wajah dingin pria itu saat menegur Langit tadi terlihat begitu jelas di benaknya. Ia mendesah pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, sebelum sempat menaruh kembali kalung itu ke dalam kotak, pintu kamarnya diketuk. “Selin, buka pintunya,” suara Tedy terdengar dari luar. Selin buru-buru menutup kotak perak itu dan menyimpan paper bag di laci meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Ia berjalan ke pintu dan membukanya, menemukan Tedy berdiri dengan wajah penuh senyuman. “Ada apa, Tuan Tedy?” tanyanya sopan. “Kamu dipanggil Tuan Vasko ke ruang kerjanya sekarang,” kata Tedy dengan nada santai, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih serius. Selin menelan ludah, merasa gugup. “Ada keperluan apa ya?” tanyanya hati-hati. Tedy mengangkat bahu. “Aku tidak tahu, tapi sebaiknya kamu tidak membuatnya menunggu. Kamu tahu bagaimana dia kalau sudah tidak sabar, kan?” Selin mengangguk pelan. Ia merasa ada sesuatu yang penting menunggunya di bawah, tapi ia tidak punya pilihan. Ia menutup pintu kamarnya, menarik napas panjang, lalu mengikuti Tedy menuju ruang kerja Vasko. Ketika pintu ruang kerja itu terbuka, Selin melihat Vasko duduk di kursinya dengan sikap santai, tetapi ekspresinya penuh kendali seperti biasa. Matanya langsung tertuju padanya, tajam seperti sedang menilai. “Duduk,” kata Vasko, suaranya dalam tetapi tenang. Selin mengikuti perintahnya, duduk di kursi di hadapannya. Ia merasa canggung berada di ruangan ini, apalagi dengan tatapan Vasko yang tidak pernah lepas darinya. “Kamu menerima sesuatu dari Langit, bukan?” tanya Vasko tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Selin tertegun. “Eh… iya, Tuan. Tapi saya—” “Apa yang dia berikan?” potong Vasko, nadanya lebih tajam kali ini. Selin menggigit bibirnya, merasa serba salah. “Sebuah kalung, Tuan.” Mata Vasko menyipit. “Mana kalung itu?” Selin meremas ujung rok seragamnya, merasa tidak nyaman. “Saya… menyimpannya di kamar, Tuan. Saya belum—” “Buang kalung itu,” ujar Vasko tegas, membuat Selin terdiam. “Tapi Tuan, itu hadiah. Saya tidak bisa—” “Aku tidak peduli. Dia tidak punya hak memberikan sesuatu seperti itu padamu. Apalagi, kamu bekerja di sini. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam masalah.” Suara Vasko penuh perintah, tetapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Selin merasa bingung—seperti ia sedang melindunginya. “Tuan, apakah saya telah melakukan sesuatu yang salah?” tanya Selin pelan. Vasko terdiam sesaat, menatapnya dengan intens. “Kamu tidak salah, tapi Langit selalu punya agenda di balik tindakannya. Aku tidak akan membiarkan kamu menjadi alat dalam permainannya.” Kata-kata itu membuat Selin semakin bingung, tetapi ia hanya bisa mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Saya akan membuangnya,” katanya akhirnya. Vasko menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. “Kembali ke tugasmu. Dan Selin, jangan terlalu dekat dengan Langit,” katanya sebelum melambaikan tangan, memberi isyarat agar Selin pergi. Selin berdiri dan keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Namun, satu hal yang ia tahu pasti: di mansion ini, tidak ada yang sesederhana kelihatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD