Matahari pagi menyinari taman mansion, memandikan setiap kelopak mawar dengan sinar keemasan yang lembut. Selin masih berdiri di antara bunga-bunga itu, menyentuh kelopaknya dengan hati-hati seolah takut menyakitinya. Matanya menangkap sosok seorang pelayan yang mendorong kursi roda menuju taman, membawa seorang kakek tua dengan wajah yang penuh kerut namun bercahaya. Setelah meletakkan kursi roda itu, pelayan pergi begitu saja, meninggalkan sang kakek sendirian di sana.
Selin terus memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Kakek itu perlahan berdiri dari kursi rodanya, membiarkan sinar matahari membelai kulitnya yang keriput. Langkahnya pelan saat ia mendekati bunga-bunga di dekatnya, tangannya yang gemetar terulur untuk meraih salah satu mawar. Namun, tubuhnya tampak goyah, dan dalam sekejap ia hampir terjatuh.
Dengan gerakan cepat, Selin melesat ke arahnya, memegang tubuh ringkih kakek itu dengan cemas. "Hati-hati, Kek!" katanya lembut namun penuh kegelisahan.
Sementara itu, dari lantai atas mansion, Vasko dan Tedy menyaksikan kejadian itu melalui jendela besar. Vasko menyipitkan matanya, memperhatikan Selin yang dengan sigap menahan kakek itu agar tidak terjatuh. "Dia melindunginya?" gumamnya, suaranya rendah hampir seperti bisikan.
Tedy mengangguk, menatap Vasko dengan ekspresi setuju. "Nona Selin melindungi kakek Anda, padahal dia tidak tahu kalau itu kakek Anda, kan?" katanya, suaranya terdengar seolah penuh arti. "Saya rasa Nona Selin ini memang sangat tulus."
Vasko tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada Selin, yang kini dengan senyum lembut membimbing kakek itu untuk duduk kembali di kursi rodanya.
Di taman, Selin tersenyum lembut. Tangannya yang mungil menopang tubuh kakek itu dengan hati-hati. "Ayo duduk, Kek, biar lebih nyaman," katanya dengan nada penuh kasih.
Sang kakek menatapnya, matanya yang tua dan penuh pengalaman mempelajari wajah muda Selin. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya dengan nada heran.
Selin tersenyum cerah, suaranya ringan seperti angin pagi. "Oh, saya pelayan di sini, Kek. Saya sedang melihat bunga-bunga ini. Mereka sangat cantik, kan, Kek?"
Kakek itu mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, "Kamu menyukainya?"
"Iya, saya sangat menyukainya. Dan saya akan menjaga mereka," jawab Selin dengan suara mantap, ada kilau tekad dalam matanya.
Sang kakek terdiam sesaat, matanya tetap tertuju pada gadis itu. "Sejak kapan kamu di sini?"
Selin tertawa kecil, menatap kakek itu sambil memetik sebatang mawar merah yang sempurna. "Mmm, baru dua minggu, Kek." Ia menyerahkan bunga itu ke tangan kakek dengan senyum hangat.
Sang kakek menerima bunga itu, menatapnya seolah memegang sesuatu yang tak ternilai harganya. Dalam diam, ia memandang Selin lagi, seakan mencari sesuatu di balik senyumnya yang tulus.
"Apakah kamu sudah bertemu dengan pemilik mansion ini?" tanyanya.
Selin mengangguk cepat. "Iya, Tuan Vasko, kan, Kek?"
Kakek itu tersenyum tipis. "Iya." Ia menghirup aroma bunga mawar yang baru saja diberikan Selin. "Apakah dia baik sama kamu?" lanjutnya, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang mendalam.
Selin terdiam sejenak, pikirannya melayang pada sikap dingin dan sinis Vasko. Namun, ada sesuatu di balik sikapnya itu yang membuatnya merasa Vasko tidak sepenuhnya buruk. Ia mengangguk pelan, meskipun senyumnya berubah sedikit kikuk. "Iya, Tuan Vasko sangat baik, Kek," jawabnya, meskipun bayangan sikap menyebalkan Vasko membuatnya tanpa sadar meringis kecil.
Sang kakek tertawa kecil, seolah membaca pikiran Selin. "Kamu gadis yang baik. Terima kasih karena sudah membantu kakek tua ini," katanya lembut, tangannya yang gemetar menyentuh jemari Selin dengan rasa syukur.
Selin hanya tersenyum, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya, seolah kata-kata sang kakek membawa kedamaian tersendiri. Dari lantai atas, Vasko memperhatikan semuanya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan—antara rasa kagum dan kebingungan yang bercampur menjadi satu.
"Lihat, Tuan, sepertinya kakek Anda menyukai Nona Selin," ujar Tedy, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia melirik ke arah Vasko yang masih berdiri di dekat jendela, pandangannya terpaku pada pemandangan di taman.
Vasko tidak segera menjawab. Matanya mengikuti setiap gerakan Selin, terutama saat ia berbicara lembut kepada kakeknya. Meski kaca jendela memisahkan mereka, Vasko merasa seperti sedang berada sangat dekat dengan gadis itu—terlalu dekat, hingga ia bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari senyumnya.
"**Nona Selin itu... sejenis gadis murni dengan hati yang tulus,**" lanjut Tedy sambil berdiri di belakangnya. "Dia tinggal di sebuah panti asuhan. Kita tidak tahu siapa kedua orang tuanya, tapi dari cara dia membawa dirinya, saya yakin dia dibesarkan dengan baik. Anda tidak merasa begitu, Tuan?"
Vasko akhirnya menoleh, mengangkat alisnya. "**Kamu mencari tahu tentang dia?**" tanyanya, suaranya terdengar datar tapi sarat dengan rasa ingin tahu.
"**Tentu saja," jawab Tedy santai sambil menyilangkan tangannya di d**a. "Bukankah tugas saya mengetahui setiap detail kecil yang mungkin relevan dengan Anda? Siapa tahu ada seseorang yang membutuhkan informasi tentangnya," tambahnya dengan nada menggoda.
"Menyebalkan!" gerutu Vasko, cangkir kopinya diletakkan dengan kasar di tangan Tedy. Tedy, yang tidak siap dengan gerakan mendadak itu, hampir saja menjatuhkan cangkir tersebut. "Hati-hati, Tuan!" protesnya, tapi Vasko sudah berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan.
"Anda mau menghampiri mereka?" Tedy bertanya dengan nada yang jelas-jelas menggoda, mengikuti langkah bosnya dari belakang.
"Bukanlah, untuk apa juga aku menghampiri mereka," jawab Vasko tanpa menoleh, suaranya terdengar sengit tapi tidak meyakinkan.
Tedy hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Masih saja gengsi," gumamnya pelan, memastikan Vasko tidak mendengarnya.
Di taman, Selin masih berbicara lembut kepada kakek. Wajahnya bercahaya dalam cahaya pagi, dan tawa kecil yang sesekali meluncur dari bibirnya terdengar seperti musik lembut yang memenuhi udara.
"Kakek butuh sesuatu? Saya akan ambilkan,"kata Selin penuh perhatian.
Kakek itu menatapnya, matanya yang lelah menyiratkan kehangatan yang mendalam. "Kenapa kamu harus mengambilkan sesuatu untuk saya? Bagaimana kalau tuanmu marah karena kamu melayani saya?" tanyanya dengan nada bercanda, meskipun ada kesungguhan di baliknya.
Selin tertawa kecil. "Ah, Tuan Vasko itu baik, Kek. Dan Anda ini seorang kakek, umurnya jauh lebih dewasa dari Tuan. Saya rasa Tuan tidak akan marah hanya karena saya melayani Anda sebentar."
Kakek itu tersenyum kecil, wajahnya melunak. "Apa kamu memiliki seorang kakek juga di rumahmu?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Selin terdiam sesaat. Ia menunduk sedikit, rasa sedih yang samar terlintas di wajahnya. "Kakek..." gumamnya, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dengan senyuman yang dipaksakan. "Saya tinggal di panti asuhan, Kek. Saya tidak tahu siapa keluarga asli saya. Tapi di panti, saya memiliki seorang ibu angkat. Sekarang beliau tinggal di sebuah kontrakan."
"Kenapa tidak dibawa ke sini?" tanya sang kakek lagi, nada suaranya penuh perhatian.
"Ibu sudah tua, Kek. Tidak mungkin untuk bekerja lagi. Jadi saya menyuruh beliau tinggal di kontrakan saja."
"Apa yang terjadi dengan panti asuhanmu? Kenapa ibumu tinggal di kontrakan?"
Selin menghela napas pelan, mencoba tetap tersenyum. "Panti asuhan digusur, Kek. Saya tidak tahu detailnya, tapi itu sebabnya kami terpaksa pindah."
Kakek itu mengangguk pelan, menyimak setiap kata yang Selin ucapkan dengan penuh perhatian. Sebelum ia sempat berkata lagi, Selin sudah tersenyum cerah dan berkata, "Kakek ini sudah agak panas. Ayo kita masuk. Kakek tinggal di mana? Oh, iya, apakah kakek juga keluarga di sini?" tanyanya, menyadari seragam pelayan mansion yang dikenakan oleh pria yang tadi mengantar sang kakek.
Kakek itu membuka mulut untuk menjawab, namun suara lain memotong pembicaraan mereka.
"Kakek, ayo masuk!"
Selin tersentak, langsung mengenali suara itu. Ia berbalik dan melihat Vasko berjalan ke arah mereka dengan langkah cepat, tatapannya tajam seperti biasa. "Tuan Vasko..." gumamnya pelan, sedikit gugup.
Vasko berhenti beberapa langkah darinya, menatap Selin sejenak tanpa berkata apa-apa. Kemudian, ia berbalik ke arah kakeknya. Seorang pelayan yang mengikuti Vasko segera menghampiri sang kakek dan mulai mendorong kursi rodanya ke dalam mansion.
Namun, Vasko tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri di sana, hanya beberapa meter dari Selin. Mata cokelat gelapnya menatap langsung ke arah gadis itu, membuat Selin merasa seperti sedang diawasi dengan sangat saksama.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya akhirnya, suaranya rendah namun terdengar tegas.
Selin menggigit bibir bawahnya, merasa canggung. "Saya tadi melihat kakek hampir jatuh, jadi saya membantunya. Tidak apa-apa, kan, Tuan?" jawabnya hati-hati.
Vasko mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tetap sulit dibaca. "Lain kali, pastikan kamu tetap dalam batas tugasmu. Tapi... terima kasih karena sudah membantu kakekku," katanya akhirnya, nada suaranya sedikit lebih lembut.
Selin hanya tersenyum kecil, mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Di kejauhan, Tedy yang berdiri di dekat pintu masuk mansion hanya bisa tersenyum geli sambil bergumam pada dirinya sendiri, "Semakin menarik..."