"Ayah masih belum mau menandatangani surat wasiatnya!" suara lelaki bertubuh kecil itu memecah keheningan sebuah ruangan megah dengan dinding-dinding kayu tua yang harum oleh sisa aroma lilin. Mata gelisahnya terus menatap kakaknya, seorang pria bertubuh gempal yang duduk di kursi berlapis kulit berwarna marun.
Pria bertubuh gempal itu mengangkat pandangannya dengan malas, alisnya bergerak pelan, seakan beban dunia tergantung pada kedua pundaknya. "Vasko membuat ayah terbangun. Dan sampai saat ini kita masih belum mendapatkan apa-apa.'' katanya, nada suaranya datar, namun matanya menyiratkan kegelisahan yang sulit ia sembunyikan.
Lelaki bertubuh kecil itu mendekat, berdiri dengan tangan bersilang di depan d**a, bibirnya mencebik. "Kenapa Kakak tidak bisa mengatur anak Kakak sendiri? Vasko seharusnya menjadi anak yang patuh, bukan?" tuntutnya dengan tajam. Suaranya memantul di antara dinding ruangan, seolah-olah menyuarakan bisikan-bisikan dendam yang telah lama terpendam.
Pria bertubuh gempal itu mendesah, tangannya mengusap wajahnya yang mulai berkeringat meski udara di ruangan terasa dingin. "**Vasko tumbuh tanpa kasih sayangku. Sejak kecil dia tinggal bersama kakeknya, jadi wajar kalau aku agak sulit mengontrolnya.**" Nada suaranya bercampur antara rasa bersalah dan keputusasaan.
Lelaki bertubuh kecil itu mendengus, wajahnya memerah oleh amarah. "**Jadi kita harus bagaimana?**" tanyanya, matanya menyipit tajam, penuh rasa tidak sabar.
Pria bertubuh gempal itu menatap adiknya dengan pandangan yang dingin namun penuh perhitungan. "**Kita harus memastikan Ayah memberikan semua warisannya pada kita berdua.**"
Sebuah tawa getir keluar dari mulut lelaki bertubuh kecil. "**Aku tidak yakin Ayah akan memberikan warisan itu pada kita. Istriku membutuhkan banyak uang, dan perusahaan ku sedang tidak baik-baik saja. Satu-satunya harapanku adalah warisan Ayah.**" Suaranya pecah di akhir kalimat, seolah-olah kata-kata itu adalah pengakuan pahit yang selama ini berusaha ia hindari.
Pria bertubuh gempal mengangkat sebelah alis, menyeringai sinis. "**Makanya, cari istri yang bisa bantu kamu cari uang, dong.**" ejeknya dengan nada mengejek.
Namun lelaki bertubuh kecil itu membanting tangannya ke meja. "**Sudahlah, jangan bahas istriku. Ayo kita bahas bagaimana caranya agar uang Ayah jatuh pada kita berdua.**"
Keheningan menggantung sesaat. Pria bertubuh gempal akhirnya menghela napas panjang, matanya mengarah ke jendela besar di sisi ruangan, tempat sinar matahari sore menembus melalui tirai beludru yang tebal. "**Bagaimana kalau kita membuat rencana? Kita masukkan seorang pelayan di sana, khusus untuk mengurus Ayah. Pelayan itu harus memastikan memberikan obat penghilang ingatan secara berkala. Maka, dengan begitu, Ayah akan kehilangan ingatannya.**" Ucapannya keluar perlahan, seperti ular yang merayap keluar dari sarangnya.
Lelaki bertubuh kecil tampak berpikir keras. "**Vasko pasti menjaga Ayah dengan sangat ketat. Kalau dia sampai tahu tentang semua rencana itu, maka habislah kita,**" ucapnya dengan suara serak penuh ketakutan. Wajahnya mulai kehilangan warna, bayangan ancaman yang bernama Vasko tampaknya cukup untuk membuat nyalinya menciut.
Pria bertubuh gempal itu hanya menyeringai tipis. "**Kalau begitu, kita harus memastikan kalau pelayan itu adalah orang kepercayaan Vasko.**" Ucapannya seperti racun manis, penuh perhitungan jahat yang menggantung di udara, menyelimuti ruangan dengan aroma pengkhianatan yang menguar.
Dua sosok itu saling menatap, seolah menyegel kesepakatan yang tidak terucapkan—kesepakatan yang akan mengubah takdir, membawa mereka ke jalan gelap yang penuh dengan pengkhianatan dan kehancuran.
Di taman mansion yang dipenuhi aroma mawar segar, Selin tampak seperti sosok dari dunia lain. Gaunnya melambai lembut diterpa angin, sementara jemarinya yang ramping mengelus kelopak mawar merah yang sempurna. Senyumnya melukiskan ketenangan yang kontras dengan intrik yang diam-diam berputar di dalam dinding mansion itu. Ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata tajam tengah mengawasinya dari jendela besar di lantai atas.
Vasko berdiri tegak di balik kaca jendela, wajahnya serius namun ada kilatan rasa ingin tahu yang sulit ia sembunyikan. Jendela besar itu seperti tabir satu arah, tembus pandang dari dalam, namun membutakan dari luar. Sesekali matanya menyipit, mencoba menangkap setiap gerakan kecil Selin.
"**Sedang apa dia?**" gumamnya pelan, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan.
Tanpa diduga, suara Tedy memecah konsentrasinya. "**Dia sepertinya menyukai bunga-bunga itu, Tuan.**" Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Vasko tersentak kecil. Ia menoleh dengan tatapan tajam, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Di tangan Tedy, sebuah cangkir kopi hangat mengepul pelan.
"**Kamu masuk tanpa permisi?**" Nada suara Vasko penuh sindiran, mencoba mengalihkan perhatian dari fakta bahwa ia baru saja ketahuan memerhatikan Selin.
Tedy hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh ketegangan tuannya. "**Biasanya juga saya tidak pernah bilang kalau mau masuk, kan?**" balasnya santai, meletakkan kopi di meja Vasko.
Vasko mendengus, kemudian memberikan isyarat agar Tedy membawa kopi itu lebih dekat padanya. Dengan gerakan patuh namun santai, Tedy mendekat dan menyerahkan cangkir kopi itu langsung ke tangan sang tuan.
Sambil berdiri tak jauh dari Vasko, Tedy memandang keluar jendela, mengikuti arah pandang tuannya. Di sana, di taman yang penuh keindahan, Selin masih larut dalam dunia bunganya.
"**Gadis itu sangat cantik,**" ujar Tedy tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
"**Kamu sedang memujinya?**" tanya Vasko dengan nada penuh sindiran, meski matanya tak lepas dari Selin.
"**Iya, dia memang sangat cantik. Apakah Tuan cemburu karena saya memujinya?**" goda Tedy, menahan tawa kecil.
"**Hah! Kamu mau saya siram dengan kopi ini?**" balas Vasko sinis, meski sudut bibirnya hampir tersenyum. Tedy hanya terkekeh, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"**Anda memiliki jadwal penuh hari ini, Tuan. Jangan terus menatapnya, nanti Anda bisa mengacaukan jadwal yang sudah saya susun dengan susah payah.**" Suara Tedy penuh canda, namun juga terselip nada serius yang tak bisa diabaikan.
"**Kamu menyuruh saya?**" Vasko memicingkan matanya, menatap Tedy dengan tatapan menusuk. Namun, seperti biasa, Tedy hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar.
"**Pengacara Langit akan ke sini siang ini,**" ujar Tedy tiba-tiba, nada santainya berubah menjadi lebih serius. Mendengar itu, Vasko langsung terbatuk, hampir menyemburkan kopi yang baru saja ia minum.
"Ngapain?'' tanyanya dengan nada kesal, matanya mendelik penuh emosi.
Tedy mencoba menahan tawanya. "Aku tidak tahu. Mungkin mau membahas sesuatu tentang kakek," jawabnya, dengan ekspresi polos yang justru membuat Vasko semakin geram.
"No! Aku nggak nyuruh dia buat datang!" sergah Vasko, suaranya meninggi. Ia mengusap bibirnya yang basah terkena kopi, berusaha menenangkan diri.
Tedy segera merogoh sakunya dan memberikan tisu pada tuannya. "Sebaiknya Tuan tenang saja. Kedatangan Langit bukan berarti dia mau merebut sesuatu milik Anda, kan?" godanya, nada suaranya seperti menantang.
Vasko membeku sejenak. Kata-kata Tedy menusuk sesuatu di dalam pikirannya. Matanya kembali tertuju ke taman, tempat Selin berdiri di tengah mawar-mawar bermekaran. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa hari ini mungkin akan lebih panjang dari yang ia harapkan.