"Aku tidak akan tinggal diam!"
Selin mengulang kata-kata itu dalam benaknya, seolah mantra untuk bertahan hidup. Udara dingin malam menusuk kulit, tetapi bukan itu yang membuat Selin menggigil—melainkan bayangan Soraya, Karlota, dan kekacauan yang tak henti mengitari hidupnya.
Soraya, dengan gaun sutra menjuntai, berjalan angkuh keluar dari mansion seperti seorang ratu yang menginjakkan kaki di atas tanah rakyat jelata. Tatapan matanya seperti belati, menusuk jauh ke hati Selin. Tak ada kata yang keluar, hanya senyum sinis yang cukup untuk membuat darah Selin mendidih.
Karlota, yang selalu merasa lebih tinggi, menatap Selin dengan sorot mata penuh cemooh. "Kamu pikir hidup ini adil?" katanya dengan nada tajam, seperti hembusan angin yang membawa racun. Selin hanya menunduk sebentar sebelum mengangkat dagunya lagi. **Aku tidak akan kalah,** batinnya.
"Kamu merasa senang sekarang?" suara Karlota menggema di lorong sunyi, saat Selin hendak masuk ke kamar lusuhnya.
"Tidak," jawab Selin dengan suara serak tapi tegas. "Aku tidak merasa seperti itu." Ia tahu, kebenaran ada di pihaknya, meski dunia memusuhinya.
Karlota mendekat, langkahnya seperti ular yang melingkar, siap menerkam. "Nona Soraya itu anak menteri. Kamu sadar, kan? Kalau masalah ini terus berlanjut, kamu bisa habis. Hidupmu akan berakhir."
Selin menarik napas panjang, mencoba menahan diri dari rasa takut yang mulai merayap. "Masalah ini bukan salahku. Semua dimulai karena ulah Nona Soraya sendiri. Aku tidak bersalah." Kata-katanya mengandung keberanian yang rapuh, seperti kaca yang hampir retak.
Namun, Karlota tidak peduli. "Oh, jadi kamu mau melawan, ya? Jangan sombong!" Karlota mengangkat tangan, hendak menampar Selin. Tetapi Selin, dengan gerakan cepat dan penuh tekad, menangkap tangan Karlota di udara.
"Jangan pernah menyentuhku sembarangan. Kita di sini sama-sama pelayan. Kamu tidak berhak memperlakukan aku seperti sampah!" Selin melawan, suaranya tajam seperti pisau yang terhunus.
Karlota tertawa sinis, menarik tangannya dengan kasar. "Pelayan? Aku pelayan terhormat! Sedangkan kamu? Kamu perempuan belian! Lebih rendah dari kami semua. Kamu tidak lebih dari seorang p*****r murahan!"
Selin tertegun. Kata-kata itu seperti pukulan keras di dadanya. "Aku bukan p*****r!" ia berteriak, suaranya pecah, gemetar dengan amarah dan rasa malu. "Aku—"
Karlota tidak memberi waktu baginya untuk menjelaskan. "Aku melihat Tuan mencumbu kamu! Aku melihat Tuan menyentuh kamu, dan kamu diam saja! Kamu p*****r, Selin. p*****r yang menjual diri untuk bertahan hidup!"
Selin membeku. Kata-kata Karlota menghujam hatinya seperti badai yang tak tertahankan. Ia tahu, dirinya sudah ternodai. Tangan Vasko, ciumannya, tatapannya yang penuh nafsu—semua itu adalah luka yang masih menganga dalam dirinya. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Suaminya sendiri menjualnya. Ia tak punya pilihan.
Air mata menitik di sudut matanya, tetapi Selin menegakkan kepala, menatap Karlota dengan mata yang berapi-api. "Aku tidak pernah memilih hidup ini. Tapi aku juga tidak akan menyerah. Kalau kamu pikir aku akan kalah, kamu salah besar." Suaranya bergetar, namun ada kekuatan di dalamnya, seperti api kecil yang terus menyala di tengah badai.
Karlota hanya mendengus, berbalik, dan meninggalkan Selin sendirian di lorong. Tapi Selin tahu, ini belum selesai. Tidak dengan Karlota. Tidak dengan Soraya. Dan yang pasti, tidak dengan dirinya sendiri. Aku akan bertahan, apapun yang terjadi. Aku tidak akan tinggal diam.
"Aku melihat pertengkaranmu dengan Karlota, kemarin."
Kata-kata itu meluncur dari bibir Vasko seperti panah yang meluncur tepat ke d**a Selin. Suara laki-laki itu berat, rendah, namun menuntut. Pagi ini, seperti biasa, Selin melayani Vasko sarapan di ruang makan yang begitu mewah. Lampu gantung kristal di atas kepala mereka memantulkan cahaya berkilauan ke segala arah, seakan-akan ingin menambah gemerlap suasana.
Selin berdiri di sisi meja, tangannya gemetar sedikit saat menuangkan jus tanpa gula yang ia buat sendiri. Wangi roti panggang, mentega, dan daging asap memenuhi udara. Namun, Selin merasa aroma itu menghilang di antara desakan pikirannya.
“Iya,” jawabnya pelan, hampir berbisik.
“Kenapa? Apa dia membuat masalah?” tanya Vasko, sembari meraih gelas jus dari tangannya. Jari-jari Vasko yang besar dan kokoh menyentuh gelas itu seolah mengingatkan Selin bahwa kekuatan laki-laki ini bisa menghancurkan siapa saja, termasuk dirinya, kapan saja. Tatapannya jatuh pada mata Selin, mata yang sering kali membuatnya merasa seperti terkurung dalam sangkar kaca.
“Tidak, ini hanya perselisihan biasa saja,” ujar Selin, mencoba menyembunyikan goncangan hatinya.
Namun Vasko tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Aku mendengar semuanya.”
Selin menunduk dalam, tidak berani menatap laki-laki itu. “Saya minta maaf karena telah membuat kegaduhan,” ucapnya dengan suara bergetar, seolah ingin mengakhiri pembicaraan.
Vasko menghela napas panjang, mengunyah makanannya dengan elegan. Setiap gerakan tubuhnya seperti dirancang untuk memancarkan kekuasaan. Ia menyesap jus yang dibuat Selin, dan seolah rasa jus itu membawa kilasan kenikmatan yang tak bisa dijelaskan.
“Aku akan mengangkatmu menjadi pemimpin pelayan di sini,” katanya tiba-tiba, dengan nada yang begitu santai namun tak terbantahkan.
Selin terkejut, kepalanya mendongak cepat. “Tidak, Tuan. Jangan lakukan itu,” tolaknya segera, dengan suara yang hampir panik.
Vasko mengangkat alis, tanda bahwa ia tidak terbiasa mendengar penolakan. “Kenapa?”
“Biarkan saya seperti ini saja. Saya tidak mau menggantikan posisi Soraya. Saya tidak mau banyak musuh,” ujar Selin cepat, suaranya lirih tapi penuh ketegasan.
“Musuh?” Vasko mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya menyelidik. “Apa mereka memusuhi kamu?”
Selin menggeleng pelan. “Bukan, Tuan. Saya hanya merasa tidak enak mengambil hak orang lain. Karlota sudah menjadi atasan di sini. Bagaimana bisa saya merebut posisinya?”
Vasko tertawa kecil, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. “Hak? Di rumah ini, Selin, hak bukanlah sesuatu yang diberikan. Itu diambil. Dan aku yang menentukan siapa yang layak mendapatkannya.”
Kata-kata Vasko menampar telinga Selin. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa ia tidak menginginkan apapun selain hidup tenang. Namun, tatapan mata Vasko seperti jurang, menyerap semua keberanian yang dimiliki Selin.
“Jika aku berkata kamu pantas, maka kamu pantas,” lanjutnya dengan suara lembut yang terdengar seperti ancaman tersembunyi. “Jangan khawatir tentang Karlota atau Soraya. Mereka hanya angin lalu.”
Selin menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak yang meluap di dalam hatinya. Vasko selalu begitu—memegang kendali penuh, menciptakan badai yang ia sendiri tahu Selin tidak mampu melawannya.
“Terima kasih atas niat baik Tuan,” ujar Selin akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi izinkan saya tetap menjadi diri saya sekarang.”
Vasko tersenyum, kali ini lebih lembut, meski matanya tetap menyimpan rahasia yang gelap. “Kamu memang berbeda..."