3. Malam Yang Berbahaya!

1233 Words
Selin menampar Vasko tanpa sadar, tangannya bergerak seperti kilat, menciptakan suara nyaring yang menggema di antara dinding-dinding kamar itu. Sejenak, waktu terasa berhenti. Mata Vasko membulat, namun segera menyipit, tatapan tajamnya menghujam seperti anak panah yang menusuk jiwa Selin. “Astaga… ma-maafkan saya,” bisik Selin dengan suara yang nyaris tak terdengar. Kedua tangannya menyatu, tubuhnya gemetar seperti daun dihembus angin. “Saya sungguh berdosa… sungguh bersalah.” Air mata mengalir dari sudut matanya, mengalir pelan seperti sungai kecil yang tak berdaya menahan derasnya hujan. Ketakutannya begitu nyata, terpancar di wajahnya yang pucat. Ia tahu posisinya, tahu bahwa tubuh dan takdirnya kini berada di genggaman pria ini—Vasko, majikannya sekaligus penjajah hatinya. Namun, Vasko hanya diam. Wajah tampannya seperti patung marmer yang diukir sempurna, kecuali senyumnya yang penuh misteri. “Kamu tahu,” katanya akhirnya, suaranya serak namun menggoda, “ini pertama kalinya ada seorang perempuan yang berani berlaku kasar padaku.” Jari telunjuknya yang panjang mengusap pipi Selin, seolah menjelajahi setiap lekukan wajah yang sempurna itu. Kulitnya halus, sehalus sutra, dan baunya seperti melati yang baru dipetik. Vasko menyukainya. Bukan karena cinta—bukan karena hasrat untuk memiliki—melainkan karena daya tarik instan yang menghantui pikirannya. “Maaf, Tuan,” kata Selin lirih, suaranya seperti melodi patah. “Saya pantas dihukum.” Vasko menurunkan tangannya, menatap gadis itu dengan ekspresi tak tertebak. “Katakan padaku, Selin,” desisnya, suaranya rendah, seperti angin malam yang dingin, “apa hukuman yang pantas untuk seseorang yang telah berani menyakitiku?” Selin mengerjap, tubuhnya terasa lemah. “A-aku… aku tidak tahu. Tapi mungkin…” Suaranya tergantung, namun ia merasa harus mengatakan sesuatu, apa pun yang mungkin memuaskan pria itu. “Mungkin apa?” Vasko memiringkan kepalanya, tatapannya seperti harimau yang mengintai mangsanya. “Mungkin… sebuah kematian,” bisik Selin, nyaris tak berani mendengar suaranya sendiri. Dan saat itu, Vasko tertawa. Suaranya keras, menggema, seperti suara petir di tengah badai. Wajah Selin memucat lebih dalam, tubuhnya semakin gemetar. Namun bagi Vasko, pemandangan itu memikat. Panik dan ketakutan Selin adalah sesuatu yang ia nikmati—entah karena ia mabuk kekuasaan atau sekadar gila. “Iya,” katanya akhirnya, senyumnya penuh sinis. “Kamu mungkin benar.” Selin menatapnya dengan mata yang melebar, napasnya tercekat, seperti rusa yang terjebak dalam kilatan mata serigala. Hatinya tahu, permainan ini baru dimulai. Dengan gerakan anggun seperti seorang pangeran yang baru saja turun dari takhta, Vasko melepas dasinya perlahan. Jemarinya yang panjang dan terlatih mengurai simpul dengan keahlian yang tak tergesa-gesa, seolah setiap detik adalah miliknya. Wajahnya tetap beku, tanpa emosi, namun dinginnya itu justru menambahkan daya tarik yang memabukkan. Selin mengerjap pelan, hatinya bergetar bukan hanya karena ketakutan yang mencengkeram, tetapi juga kekaguman yang tak terbendung. Vasko adalah pria yang sempurna—setidaknya dalam wujudnya. Tubuhnya menjulang tinggi, mungkin sekitar 190 sentimeter, hampir menyentuh langit-langit kamar. Kulitnya putih, hampir seperti pualam, dengan kilauan dingin yang terpancar di bawah lampu kristal. Hidungnya yang mancung berdiri tegas di tengah wajahnya yang memikat, rahangnya terukir seperti pahatan tangan dewa. Sepasang matanya tajam, bagaikan dua bilah belati yang siap menembus jiwa siapa pun yang menantangnya. Dan bibirnya, merah alami tanpa sedikit pun bantuan pewarna, tampak seperti mawar yang sedang merekah. “Saya juga tidak pernah ditatap lapar oleh seorang perempuan. Mereka tidak berani melakukannya, Selin!” desis Vasko, suaranya mengalir seperti racun yang memabukkan. Selin terkesiap, segera mengalihkan pandangannya ke lantai. Pipi mulusnya merona, tak mampu menahan rasa malu sekaligus ketakutan yang bercampur dalam dirinya. “Maaf, Tuan. Saya pantas dihukum,” bisiknya, suaranya gemetar seperti daun yang tertiup angin. Vasko mendekat, dengan senyum dingin yang tak menjanjikan kehangatan. Ia mengambil dasi yang baru saja dilepasnya, mengikatkannya dengan cekatan di pergelangan tangan Selin yang menyatu. Jemarinya yang besar menggenggamnya dengan kuat, namun tetap terkontrol, membuat Selin merasa seperti burung kecil yang terperangkap dalam cengkeraman elang. “Kamu tahu, Selin?” Vasko menatapnya dengan intensitas yang membuat darahnya membeku. “Aku memang akan menikmati kamu malam ini, tapi bukan berarti kamu bisa menikmatiku!” Kalimat itu menusuk telinga Selin, membuatnya terdiam dalam kebingungan yang mendalam. Otaknya seperti konslet, mencoba mencerna maksud dari kata-kata pria itu. Bukankah jika mereka akan bersama malam ini, itu berarti mereka akan saling menikmati? Tapi sepertinya logika sederhana itu tak berlaku bagi Vasko. “Saya tidak berani,” gumam Selin dengan suara yang hampir tak terdengar, tubuhnya kaku dalam cengkeraman pria itu. “Bagus,” jawab Vasko dengan nada rendah namun penuh ancaman. “Kalau begitu, tundukkan wajahmu. Jangan pernah berani menatapku!” Kata-katanya seperti cambuk yang melayang di udara, membuat Selin segera menundukkan wajahnya, matanya terfokus pada lantai. Namun di dalam hatinya, gemuruh ketakutan bercampur kekaguman pada sosok Vasko tak pernah berhenti. Pria itu adalah perpaduan sempurna antara malaikat dan iblis—begitu indah, namun begitu menakutkan. "Argh!" Pekikan Selin menggema di ruangan itu ketika taring Vasko menghujam lehernya, meninggalkan jejak merah yang membakar. Gadis itu terpaku, tubuhnya gemetar, sementara kedua matanya melebar, menatap pria di hadapannya dengan ketakutan yang tak mampu disembunyikan. Vasko, seperti pemangsa yang baru saja menandai mangsanya, hanya menatap balik dengan dingin, senyum tipisnya penuh kesan arogan. "Itu hanya gigitan kecil saja, Selin. Kenapa suaramu kuat sekali?" desis Vasko dengan nada mengejek, seperti singa yang tengah mempermainkan kelinci malang sebelum menerkamnya. Selin menelan ludah, memutuskan untuk tidak menjawab. Baginya, membalas komentar laki-laki itu hanya akan menambah minyak ke dalam api. “Ma-maafkan saya, Tuan,” ujarnya dengan suara gemetar, kepalanya tertunduk seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Vasko menyipitkan matanya, menikmati kepatuhan gadis itu, namun tak berniat memberinya jeda. “Saya masih melepas baju kamu, Selin. Apa kamu berharap aku yang harus melucutinya untukmu?” ejeknya dengan senyuman licik yang mengiris kepercayaan dirinya. Selin mengangkat wajahnya sedikit, lalu menggeleng pelan. “Sa-saya harus melepas baju?” tanyanya dengan polos, membuat Vasko tertawa keras, tawa yang bergema seperti gemuruh di langit mendung. “Kamu pikir bagaimana, Selin?” balasnya dengan suara berat yang penuh ejekan. “Aku harus melihat semuanya. Jangan buat aku menunggu.” Gadis itu mengangguk patuh, meskipun tubuhnya terasa seolah diseret oleh rantai yang tak kasatmata. Dengan gugup, ia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya yang lemah dan tangan yang terikat dasi membuat usahanya sia-sia. Napasnya tersengal, matanya melirik pria di hadapannya, mencari belas kasihan yang tidak mungkin ia temukan. “Bo-bolehkan saya membuka ikatannya, Tuan?” tanya Selin dengan ragu, suaranya hampir tak terdengar. Vasko menyipitkan mata, senyumnya memudar, berganti dengan tatapan intens yang menusuk ke dalam. “No!” jawabnya tegas, suaranya bergetar dengan otoritas. “Aku sudah mengikatnya. Apa aku harus membuka kembali hanya karena kamu memintanya? Berani sekali.” Selin menghela napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. “Lalu... bagaimana saya harus membukanya?” tanyanya, suaranya lirih namun cukup untuk sampai ke telinga Vasko. Pria itu mendekat, pandangannya seperti bilah pedang yang siap menebas. Dia tidak menjawab, hanya memerhatikannya dalam diam yang mematikan, sebelum akhirnya menghela napas berat. “Baik,” gumamnya, menggerakkan tangan ke arahnya dengan gerakan lambat namun penuh kendali. “Biar aku yang membukanya. Tapi dengar ini, Selin…” suaranya berubah menjadi lebih rendah, hampir seperti bisikan maut, “Kamu akan menerima hukumannya nanti karena telah mencoba menyuruhku. Dan percayalah, kamu tidak akan menyukainya.” Mata Selin melebar sekali lagi, tubuhnya kaku seolah terperangkap dalam jebakan yang tak berujung. Vasko menarik simpul dasi dengan cekatan, matanya tak pernah lepas dari wajah gadis itu, penuh dengan tatapan yang menjanjikan sesuatu yang kelam—dan mungkin, tak termaafkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD