Sentuhan Sang Penguasa!

1370 Words
"Kamu mau kabur, huh!" Suara Vasko yang berat menggema di ruangan, seperti gemuruh badai yang datang tanpa peringatan. Selin, dengan napas tersengal dan hati yang berdegup kencang, hanya memiliki satu tujuan—melarikan diri. Kakinya yang telanjang berlari ke arah pintu, namun langkahnya terasa berat seolah terikat oleh gravitasi ruangan itu. Terlambat. Dalam sekejap, Vasko telah bergerak dengan kecepatan yang mengerikan. Tubuhnya yang tinggi menjulang kini berdiri di depannya, menghadang jalan keluar seperti tembok tak tertembus. Sebelum Selin sempat menyadarinya, tubuh mungilnya telah terjepit di antara dinding dingin dan tubuh Vasko yang kokoh. Udara serasa tersedot dari paru-parunya, dan ia hanya mampu menatap kakinya sendiri yang gemetar. “Sa-saya...” Selin mencoba berbicara, namun suaranya tak lebih dari bisikan lemah yang tertelan oleh keberadaan pria itu. “Seluruh dunia ini milikku, Selin. Tidak terkecuali kamu,” desis Vasko, suaranya rendah dan penuh ancaman, seperti hembusan angin dingin di malam gelap. Tatapan matanya yang tajam menyapu wajah Selin, membuat gadis itu menelan ludah, bahkan tak berani mengangkat pandangannya. Dia hanya bisa melihat dirinya sendiri—penampilannya berantakan. Gaunnya tergantung miring, hampir memperlihatkan lebih dari yang seharusnya, dan rambutnya yang indah kini tampak seperti ombak liar setelah badai. Selin menggigit bibirnya, menyesali setiap langkah yang telah membawanya ke situasi ini. “Saya sungguh minta maaf, Tuan. Saya tidak akan berani lagi,” ucapnya, suaranya patah-patah, mencoba mencari celah dari amarah Vasko yang membakar. Namun, pria itu hanya tertawa kecil, tawa yang begitu dingin, seakan dia tengah menikmati setiap detik ketakutan gadis itu. “Kesalahanmu sudah terlalu banyak, Selin,” ujarnya, langkahnya mendekat dengan perlahan, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Dan kali ini aku tidak lagi bisa memaafkanmu.” Tanpa peringatan, Vasko menunduk, menyerang bibir Selin dengan ciuman yang dalam dan memaksa. Napas Selin tersentak, tubuhnya kaku di bawah sentuhan pria itu. Dia mencoba melawan, tetapi kekuatan Vasko terlalu besar. Dalam sekejap, dia telah diangkat seperti boneka kecil, tubuhnya dilemparkan kembali ke atas ranjang dengan mudahnya. Vasko menatapnya, mata abu-abunya berkilat seperti baja dingin. “Aku akan mengambil apa yang sudah menjadi milikku,” gumamnya, tangannya mulai menjelajah dengan keberanian yang tak terbantahkan. Selin menutup matanya, air mata mulai mengalir, sementara Vasko terus menyentuhnya seperti seorang raja yang menuntut hak atas takhta. Di tengah segala ketakutan dan ketidakberdayaan, Selin tahu satu hal—tidak ada pelarian. Tidak malam ini. Tidak dari pria seperti Vasko. *** Selin terbangun dengan tubuhnya yang terasa remuk. Setiap sendinya seperti berteriak meminta belas kasihan, sementara kepalanya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil tampak lemah, tak berdaya setelah malam panjang yang dipenuhi keheningan kelam. Serangan Vasko tadi malam menghancurkannya seperti badai yang mengamuk. Lelaki itu buas, bagaikan seekor singa lapar yang mengoyak mangsanya tanpa ampun. Selin, yang tak berdaya, hanyalah seekor kelinci kecil yang dilempar ke dalam kandang pemangsa. “Kamu sudah memenuhi janjimu,” katanya tadi malam, suaranya dingin, tapi mengandung kepuasan yang menusuk hati Selin. Kata-kata itu berarti satu hal: ia memang seorang perawan. Namun, bukti itu tidak memberinya kehormatan apa pun. Ia hanya merasa lebih kecil, lebih hancur, dan lebih tidak berarti dari sebelumnya. Pagi ini, Vasko telah pergi. Ke mana, Selin tidak tahu. Hanya ranjang king-size itu yang menjadi saksi bisu, meninggalkan Selin yang lemah dan sendirian di tengah kekacauan. “b***k! Ayo bangun!” Teriakan itu menggema di telinganya, diikuti oleh sensasi dingin yang menusuk. Air seember penuh disiramkan ke tubuhnya yang lemah, membasahi seluruh dirinya hingga menggigil. Selin terkejut, tubuhnya seketika bangkit dengan gemetar. Matanya yang sembab menatap perempuan yang berdiri di depannya, berseragam rapi dengan wajah penuh kebencian. “Iya, nyonya,” jawab Selin pelan, suaranya serak. Napasnya terhela panjang, berusaha menenangkan diri meski tubuhnya terasa beku. Perempuan itu membanting ember kosong ke lantai dengan keras, suara dentingnya membuat Selin tersentak. “Bersihkan ruangan ini! Keringkan kasurnya! Jangan sampai masih basah ketika Tuan Vasko pulang nanti!” perintahnya dengan nada sinis. Selin menundukkan kepala, menahan gejolak di hatinya. Ia tahu melawan hanya akan memperburuk keadaan. Namun, dalam hatinya ia tak habis pikir. *Dia yang menyiramku di atas kasur ini, tapi kenapa aku yang harus membersihkannya?* pikir Selin. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu, hanya kenyataan pahit yang terus menamparnya bahwa ia adalah seorang b***k, seorang boneka tanpa hak untuk mempertanyakan apa pun. Dengan tubuh yang masih menggigil, Selin bangkit dari ranjang. Tangannya yang lemah mulai bekerja, mengangkat seprai basah yang terasa lebih berat dari seharusnya. Rasa sakit yang menjalar di tubuhnya tidak menyurutkan langkahnya. Ia tahu, dalam dunia ini, kehancurannya adalah hiburan bagi orang lain, dan hanya ketegaran yang dapat menjadi senjatanya. ______________ Selin kini mengenakan pakaian pelayan yang sederhana, jauh berbeda dari gaun mewah yang semalam sempat melingkupi tubuhnya. Seragam itu terasa kasar di kulitnya, mengingatkan dirinya bahwa statusnya di rumah besar ini bukan lebih dari seorang b***k. Dengan sapu di tangan, ia membersihkan lantai lima, ruangan yang luasnya seperti aula istana. Namun, pikirannya terus melayang. Rasa lelah menjalar di setiap sendi tubuhnya, efek dari malam sebelumnya yang menguras segalanya darinya. Hanya keinginannya untuk bertahan hidup yang membuatnya tetap bergerak, meskipun ia tahu kepalanya berdenyut nyeri dan kelaparan mulai menyiksa perutnya. "Aku laper banget..." keluhnya pelan, hampir seperti gumaman yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Ia menyapu perlahan, matanya mengintip ke arah pintu seperti berharap ada seseorang yang datang membawakan makanan untuknya. Tapi harapan itu sia-sia; tidak ada seorang pun yang peduli. Tenaganya sudah habis dikuras oleh Vasko semalam, namun pagi ini, ia dipaksa menggerakkan tubuh lemah itu untuk membersihkan ruangan yang seolah tidak ada habisnya. Jendela besar di dinding ruangan memancarkan cahaya matahari pagi, tapi kehangatannya tidak mampu menghapus dingin yang ia rasakan di hatinya. Selin berhenti sejenak, menyandarkan tubuhnya pada gagang sapu. Ia memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa perih di punggungnya dan rasa lapar yang mulai membuatnya pusing. Tapi istirahatnya tidak berlangsung lama; bayangan kepala pelayan dengan suara dinginnya yang penuh perintah terus menghantui pikirannya. “Tidak ada waktu untuk mengeluh,” bisiknya pada diri sendiri. Ia menghela napas panjang dan kembali menyapu, meskipun langkahnya semakin lambat. Setiap gerakan terasa seperti perjuangan melawan gravitasi, tapi Selin tahu, berhenti berarti hukuman, dan ia tidak sanggup menerima hukuman lagi. Namun, di sudut hatinya, ada rasa marah yang terus tumbuh, seperti api kecil yang perlahan membesar. Sampai kapan aku harus hidup seperti ini? pikirnya, tapi pertanyaan itu segera ia tepis. Di dunia ini, ia hanyalah seorang b***k, dan tidak ada ruang untuk pemberontakan dalam hidup seorang b***k. Selin terus menggerakkan tangannya, menyapu lantai ruangan besar itu dengan gerakan perlahan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa sakit dan kelelahan. Namun, matanya tertarik pada potret besar yang tergantung di dinding ruangan itu. Wajah Vasko yang tampan, dengan rahang tegas dan sorot mata tajam, seolah menatapnya dari kanvas. Dalam potret itu, ia terlihat seperti seorang raja yang tak tergoyahkan, memancarkan kekuatan dan d******i. Tapi bagi Selin, ia adalah badai yang telah menghancurkan dunianya. Ia berhenti sejenak, sapunya terhenti di udara. Pikirannya berputar ke arah ketakutan yang baru saja hinggap di benaknya. "Bagaimana jika aku hamil?" tanyanya pada diri sendiri, pikirannya diselimuti ketidakpastian dan kecemasan. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara dingin yang sarat ejekan memecah keheningan. “Maka kami akan menggugurkan janin itu!” Selin tersentak dan menoleh. Perempuan berseragam yang sebelumnya menyiramnya kini berdiri di ambang pintu. Wajahnya dihiasi senyuman miring penuh penghinaan. “Kamu hanya b***k!” lanjut perempuan itu dengan nada penuh kebencian. “Kamu tidak pantas mengandung anak seorang raja!” Kata-kata itu menghantam Selin seperti cambukan yang tidak terlihat. Tubuhnya lunglai, dan ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa pilu yang menyeruak di hatinya. “Aku bahkan tidak punya hak atas diriku sendiri…” gumam Selin dalam hati, rasa getir memenuhi dadanya. Perempuan itu mendekat, menatapnya dengan tajam seperti elang yang memandang mangsanya. “Jangan bermimpi terlalu tinggi, b***k. Ingat posisimu. Kamu tidak lebih dari mainan Tuan Vasko. Kalau dia bosan, kamu akan dibuang seperti sampah.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau, tapi Selin hanya diam, menggenggam gagang sapu erat-erat untuk menahan tangisnya. Ia tahu menangis hanya akan membuatnya terlihat lebih lemah, lebih tidak berarti di mata mereka. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan benih kecil yang tumbuh. Entah itu kemarahan, kesedihan, atau mungkin harapan samar, ia tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak ingin hidupnya berakhir sebagai b***k yang hanya dikenang karena kepatuhan dan penderitaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD