Si Pengacara Tampan.

1191 Words
“Datang pagi-pagi tanpa permisi, apakah itu pantas?” Suara itu dingin, namun terukur. Bagaikan embun pagi yang jatuh tanpa suara, namun mampu membuat tubuh menggigil. Vasko datang dengan langkah tenang, seolah tanah yang dipijaknya tahu persis siapa yang tengah berjalan di atasnya. Tatapannya—tajam seperti bulan sabit di malam tanpa bintang—mendarat tepat ke arah dua sosok di depannya. Tangan-tangannya diselipkan ke dalam saku celana, menciptakan aura dingin dan tak tergapai. Ia berhenti. Dan dunia seakan ikut menahan napas. Selin kini berdiri di antara dua pria yang seolah memancarkan gravitasi masing-masing. Dua kutub yang berbeda, namun sama kuatnya dalam menyihir udara di sekitar mereka. "Aku ke sini untuk menemui Selin," suara Langit meluncur tenang, seperti angin lembut yang menyusup di sela-sela dedaunan. Tidak ada basa-basi, tidak ada keraguan. Hanya kejujuran yang meluncur tanpa topeng. "Untuk?" tanya Vasko, satu alisnya terangkat sedikit, namun cukup untuk memantik bara kecil di d**a Langit. "Aku akan mengajaknya sarapan bersama." Ucapan itu seperti petir yang jatuh di tengah kesunyian taman pagi. Selin, yang berdiri di antara dua dunia, meringis kecil. Ada hawa tak terlihat yang menyelimuti punggungnya, membuat napas terasa lebih berat dari biasanya. Dia tahu. Dia bisa merasakannya. Vasko tidak senang. Tidak pada Langit. Tidak pada momen ini. "Basi," gumam Vasko, namun tak cukup pelan untuk tak terdengar. Kata itu jatuh seperti duri di atas meja makan: kecil, namun menyakitkan. Langit menyipitkan mata, tak gentar. "Ayolah, aku tahu kamu tidak peduli padanya. Dia mau sarapan sama siapapun, itu bukan urusan kamu kan?" Sindirannya ringan, namun menusuk. Ada ketidaksabaran yang mulai menyeruak di balik sikap tenangnya. Vasko tidak langsung menjawab. Ia menatap Selin, lama. Tatapan itu bukan sekadar melihat; ia menelusuri, mengukur, menahan sesuatu yang tak terucap. Lalu akhirnya, ia mengangguk pelan, bagaikan memberikan restu yang dipaksakan oleh keadaan. "Iya, tapi ingat jangan lama-lama. Kakekku pasti udah nungguin dia," katanya, dengan suara yang mengandung sesuatu—mungkin peringatan, mungkin kekhawatiran yang disamarkan. "Aku tahu, Vasko. Kalau gitu kami pergi dulu," ujar Langit, lalu melirik Selin yang masih diam, seakan membeku dalam badai keheningan. Saat mereka mulai berjalan pergi, suara Vasko terdengar lagi—kali ini lebih berat, lebih dalam. "Ok, tapi nanti kamu ke sini. Karena ada banyak yang harus kita bicarakan." Sekali lagi, tatapannya jatuh pada Selin. Dan di balik sorot mata dinginnya, tersembunyi sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata: "Vasko memperlakukan kamu dengan sangat baik, kan?" tanya Langit, suaranya terdengar lembut namun penuh makna, memecah keheningan di dalam kabin mobil yang melaju pelan menuju sebuah kedai kopi dan bread kecil di sudut kota. "Oh, iya, Tuan. Beliau sangat baik," jawab Selin, senyuman tipis menghiasi bibir manisnya. Senyum yang seolah menyembunyikan banyak hal—entah rasa syukur, atau mungkin kebingungan yang belum selesai di dalam hatinya. Langit meliriknya sekilas, lalu kembali menatap ke depan, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya berada di balik kemudi. "Saya khawatir, dia memperlakukan kamu dengan tidak baik," ucap Langit pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar terlalu jujur. Selin menggeleng pelan. "Tuan Vasko sangat baik. Beliau sudah banyak membantu saya." Suaranya tenang, tapi ada kerendahan hati di dalam nada itu. Seolah ia tidak ingin siapa pun salah paham tentang Vasko, bahkan kepada Langit sekalipun. "Syukurlah," jawab Langit, sambil menarik napas panjang. Udara pagi itu terasa begitu segar, seperti baru saja dicuci hujan semalam. Langit masih berwarna pucat kebiruan, dan matahari yang baru terbit memancarkan sinar emas yang lembut, menyapu perlahan jalanan yang masih lengang. Jalanan kota belum terlalu ramai. Hanya beberapa kendaraan yang melintas, seperti tahu diri untuk tidak merusak ketenangan pagi yang langka ini. Di sisi kiri, deretan pohon trembesi menjatuhkan bayangan panjang di aspal, dan sesekali angin meniupkan guguran daun kering, menari-nari di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah. Selin terdiam. Wajahnya menoleh ke jendela, memandangi pemandangan yang bergerak pelan di luar sana. Ada kedamaian aneh yang ia rasakan, seperti sedang berada di antara dunia nyata dan mimpi yang belum selesai. Matanya merekam langit pagi, pepohonan, dan cahaya matahari yang memantul di permukaan kaca toko-toko yang masih tertutup. Ia tidak menyadari—tak sedikit pun—bahwa sejak beberapa menit lalu, Langit menatapnya diam-diam. Tatapan itu bukan sekadar mengamati; ia seperti membaca, mencoba memahami, seolah Selin adalah halaman sunyi dari sebuah buku yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya. Ada sesuatu dalam ekspresi gadis itu yang membuat Langit sulit berpaling. Bukan hanya karena kecantikannya yang sederhana, tapi karena aura tenang yang mengelilinginya—tenang, namun rapuh. Seperti air di permukaan danau yang tampak tenang, namun siapa tahu dalamnya? Akhirnya, perjalanan keduanya mencapai tujuan. Mobil berhenti di depan sebuah kedai kopi dan bread yang bergaya vintage, dengan dinding batu bata merah dan jendela besar yang dihiasi tanaman merambat. Aroma kopi panggang dan roti hangat seperti sudah menyambut mereka bahkan sebelum pintu terbuka. Langit keluar lebih dulu, gerakannya tenang tapi penuh perhatian. Ia mengitari mobil dan membuka pintu untuk Selin, seperti seorang pria yang tak pernah melupakan bagaimana caranya memperlakukan perempuan dengan hormat. “Terima kasih, Tuan,” ujar Selin, senyum tipis merekah di bibirnya. Senyum yang sederhana, namun mampu melunakkan udara pagi yang masih sedikit dingin. “Ayo, aku sudah lapar,” ucap Langit sambil dengan santai menarik tangan Selin. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk membuat Selin sedikit terkejut. Hatinya yang semula tenang, kini bergetar halus seperti permukaan air yang disentuh angin. Keduanya melangkah menuju pintu kedai. Langkah Selin terasa lebih ringan dari biasanya, seperti ada kehangatan yang menuntunnya. Bersama Langit, segalanya terasa lebih santai—lebih manusiawi. Tidak seperti bersama Vasko, yang walau baik, tapi begitu dingin… seperti berjalan di antara dinding marmer. Indah, tapi terlalu sunyi. Mereka masuk. Ruangan kedai diselimuti suasana nyaman, dengan musik jazz mengalun pelan dari speaker tersembunyi. Aroma kopi dan karamel bercampur manis di udara. Meja-meja sudah cukup ramai dengan pelanggan yang sibuk dengan pagi mereka. Langit mengajak Selin duduk di kursi deretan tengah, dekat jendela yang menghadap taman kecil. Cahaya matahari menyusup masuk, menciptakan bayangan halus di permukaan meja kayu. “Wah, ada Pak Pengacara!” seru seorang pelayan sambil mendekat, membawa tablet berisi menu digital. Suaranya riang, akrab. “Hay, Kumaila,” sapa Langit, senyum kecil mengembang di wajahnya. Nada suaranya berubah menjadi lebih santai, seolah menyapa seorang teman lama. “Dengan siapa nih?” goda Kumaila sambil melirik Selin dengan mata bersinar. “Cantik nih,” tambahnya dengan suara nakal namun bersahabat. Selin tersenyum malu. Pipi yang tadi pucat karena udara pagi kini merona halus, seperti kelopak mawar disentuh cahaya fajar. “Dia temanku. Ayolah, kamu jangan ganggu dia,” ujar Langit, setengah kesal namun nada suaranya tetap ringan. Kekesalan yang penuh canda, bukan amarah. Kumaila tertawa pelan. “Baiklah, baiklah, Pak Pengacara,” ujarnya sambil mengedipkan mata. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi pada Selin dan melemparkan senyum yang seolah mengandung banyak cerita. “Dia tampan, tapi dia banyak ceweknya!” celetuk Kumaila cepat, seperti meninggalkan jejak jahil yang disengaja. Langit langsung berdecak pelan, menggeleng tak percaya. “Astaga perempuan itu,” gumamnya, separuh geli separuh jengkel. Sementara itu, Selin terkekeh kecil. Tawanya jernih, seperti bunyi lonceng kecil di pagi yang cerah. Tak ada beban. Berbeda saat ia bersama Vasko, laki laki itu kaku dan menyebalkan. Sedangkan bersama Langit, ia betah dan sampai lupa waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD