Pagi itu, matahari baru saja menyapa bumi dengan sinar lembutnya. Udara masih segar, aroma kopi dan roti panggang mengalun tenang di antara deru suara sendok dan cangkir. Selin dan Langit duduk bersisian di sudut kafe yang hangat, membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak dari seribu kata. Namun kedamaian itu seketika retak, seperti kaca yang dibanting ke lantai tanpa ampun. Tiba-tiba, tangan seorang perempuan mencengkeram rambut Selin dengan kasar, seperti badai yang datang tanpa aba-aba. Rambut hitam Selin terjambak, tubuhnya tertarik ke belakang, dan makian menghujani telinganya seperti hujan asam yang menyakitkan. Selin terkesiap. Matanya membelalak, jantungnya melonjak tak karuan. Ia tidak sempat membela diri, hanya bisa terpaku dalam keterkejutan yang membeku.

