Selin melangkah masuk dengan hati-hati, seolah setiap pijakan di lantai marmer dingin itu adalah ladang ranjau emosi. Suasana rumah itu terasa berat, penuh tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara seperti kabut tipis yang mencekik. Namun langkahnya terhenti saat melihat Vasko muncul dari balik dinding lorong. Tubuh tegap pria itu diselimuti aura dingin yang menusuk, dan tatapannya—ah, tatapan itu—sekeras batu karang yang tak sudi disentuh gelombang. Selin menunduk pelan. Sebuah hormat yang dipaksakan dari bibir yang menggigil dan mata yang menyembunyikan gemuruh dalam dadanya. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju ruangannya, berusaha menghindari badai yang mungkin sedang menanti. Tedy berdiri di samping tuannya, nyaris tidak bernapas. Ketegangan yang menguar membuat kulitny

