Selin melangkah masuk dengan hati-hati, seolah setiap pijakan di lantai marmer dingin itu adalah ladang ranjau emosi. Suasana rumah itu terasa berat, penuh tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara seperti kabut tipis yang mencekik.
Namun langkahnya terhenti saat melihat Vasko muncul dari balik dinding lorong. Tubuh tegap pria itu diselimuti aura dingin yang menusuk, dan tatapannya—ah, tatapan itu—sekeras batu karang yang tak sudi disentuh gelombang.
Selin menunduk pelan. Sebuah hormat yang dipaksakan dari bibir yang menggigil dan mata yang menyembunyikan gemuruh dalam dadanya. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju ruangannya, berusaha menghindari badai yang mungkin sedang menanti.
Tedy berdiri di samping tuannya, nyaris tidak bernapas. Ketegangan yang menguar membuat kulitnya merinding. Ia tidak tahu harus berpihak pada siapa. Dunia ini terlalu rumit jika melibatkan hati.
“Tuan mau minum sesuatu?” tanyanya akhirnya, sekadar menyelamatkan diri dari kekakuan yang menghimpit.
Vasko menoleh, alisnya terangkat, dan senyum miring tergurat di bibirnya. “Memangnya saya terlihat haus?” tanyanya datar, dengan nada menggoda yang lebih menyerupai peringatan.
Tedy menelan ludah, serba salah. “Tidak, Tuan… hanya… siapa tahu…” suaranya menghilang di antara udara yang membeku.
Vasko tak berkata lagi. Ia hanya menatap asistennya sejenak, lalu berbalik dan melangkah menuju ruang tamu. Di sana, Langit telah duduk santai di sofa empuk berbalut beludru gelap, tampak seperti seorang diplomat muda yang terlalu percaya diri.
“Aku mau mengatakan sesuatu yang penting padamu,” ucap Vasko saat ia duduk, tubuhnya bersandar namun tatapannya tetap tajam seperti belati tersembunyi.
Langit menoleh, mengangkat alis. “Apa itu?”
“Ini tentang Kakek,” jawab Vasko, suaranya pelan namun berat. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang menggumpal di dasar hatinya.
Langit sedikit menegakkan tubuh. “Apakah Kakek memiliki masalah?”
Vasko terdiam. Wajahnya menegang, jemarinya mengepal pelan di atas lutut. “Kakek ingin menyerahkan semua warisannya… pada Selin,” katanya akhirnya. Kata-kata itu meluncur seperti racun manis yang mengalir perlahan.
Langit menyipitkan mata. “Kamu iri?” tanyanya, diikuti kekehan kecil yang mencoba mencairkan suasana.
Mata Vasko menyala. “Kamu pikir aku semiskin itu?” ucapnya, dingin seperti angin musim dingin yang menyayat tulang.
Langit tersenyum simpul. “No. Aku tahu uangmu banyak, Vasko. Tapi kadang… perhatian yang diberikan keluarga kepada orang lain—apalagi yang tak memiliki hubungan darah—bisa terasa seperti pengkhianatan kecil. Mengusik harga diri, bukan?”
Vasko menghela napas berat. Sorot matanya tak lagi marah, tapi lebih seperti retakan kecil di dinding yang selama ini ia pertahankan. “Gadis itu akan menjadi bulan-bulanan Ayah dan Pamanku. Dan itu… akan sangat merepotkan.”
Langit menatap Vasko. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatnya berpikir lebih dalam. Perlindungan atau perasaan?
“Aku akan melindunginya,” ujar Langit tiba-tiba, nadanya tenang namun mengandung janji yang tak main-main.
Dan kalimat itu, seperti sembilu yang menyayat langsung ke jantung Vasko.
Mata pria itu membeku. Tatapan tajamnya mengunci mata Langit, seolah ingin menembus batin dan membacanya habis-habisan. Seketika, udara di ruangan itu menjadi lebih dingin, lebih tegang.
Tedy yang menyaksikan itu dari balik sekat ruangan, hanya bisa menahan napas. Tubuhnya menegang. Ia merasa seperti menyaksikan detik-detik sebelum dua dewa bertarung di puncak langit—Vasko dan Langit. Dua kekuatan yang sama-sama menguasai, sama-sama menyembunyikan petir di balik senyuman mereka.
Dan Selin… adalah pusat badai itu.
---
Di kamar remang-remang itu, dengan jendela yang membiarkan sinar matahari pagi masuk dengan lembut, Selin duduk di sisi tempat tidur besar yang dikelilingi aroma kayu tua dan buku-buku klasik. Tangannya yang mungil tengah menyodorkan obat pada sosok tua yang terbaring lemah, namun matanya masih menyala dengan kejernihan bijak seorang lelaki yang telah melihat banyak hal dalam hidup.
“Kamu tadi pergi ke luar?” tanya Kakek, suaranya berat namun lembut, seperti embusan angin petang yang menyapa dedaunan.
“Iya, Kek,” jawab Selin, senyumnya mengembang tulus, sehangat matahari pagi yang mengusir kabut.
Kakek menatapnya sejenak. Napasnya terhela perlahan, seperti beban lama yang tiba-tiba ingin ia lepaskan. “Kamu harus berhati-hati, Nak,” ucapnya pelan, namun penuh tekanan tak kasat mata.
Selin memiringkan kepala. “Kenapa memangnya?” tanyanya, dengan kebingungan polos yang tak bisa ia sembunyikan.
Ada jeda. Jeda yang panjang dan berat, seolah waktu pun menahan napas.
“Karena saat ini kamu akan menjadi bulan-bulanan anak-anak durhaka itu,” ujar Kakek, nadanya berubah sendu, nyaris menyakitkan. Seperti seorang ayah yang terlalu lelah melihat keturunan yang ia besarkan menjadi serigala berbulu manusia.
Selin menatapnya, matanya membesar. “Maksud Kakek?”
Kakek tidak segera menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya yang renta, yang bergetar oleh usia namun masih mampu menyampaikan kehangatan sejati. Ia menggenggam tangan Selin, kuat namun penuh kelembutan. Genggaman itu lebih dari sekadar sentuhan—itu adalah pengakuan. Sebuah janji tak terucap bahwa ia adalah bagian dari keluarga ini… meski darah mereka tak sama.
“Kakek sudah tua, Selin. Jangan jauh-jauh dari Kakek, ya,” ucapnya, suaranya nyaris patah di akhir kalimat.
Selin tersenyum. Ada air yang menggenang di sudut matanya, tapi ia hanya mengangguk pelan, tak ingin suara hatinya terdengar. Ia tahu, ia tak sendiri. Tak sepenuhnya.
Namun mereka tak tahu—bahwa di balik pintu kayu tebal itu, seseorang berdiri. Membatu dalam diam. Menjadi saksi tanpa niat, namun tak bisa berpaling.
Vasko.
Ia berdiri tegap, namun rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Tatapannya menembus kayu, menelusuri tiap kata Kakek, tiap senyum Selin, tiap bisikan hangat yang tak pernah ia dapatkan dari sosok yang sama. Ada sesuatu di d**a Vasko yang bergetar, tapi ia terlalu keras kepala untuk menyebutnya sebagai rasa.
Cemas. Itu saja yang ia izinkan untuk dirasakannya.
‘Bagaimana jika Ayah dan Paman benar-benar mengejar gadis itu? Membuatnya menderita, mencabik ketenangannya?'
Seketika pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk. Ia bisa membayangkan wajah ketakutan Selin, bisa membayangkan tubuh mungil itu dikejar kekuasaan yang tak tahu batas.
Dan itu membuat dadanya sesak.
Namun ia memejamkan mata, menarik napas panjang, berusaha meredam api yang mulai membakar perlahan dari dalam.
“Ah, sudah lah, Vasko…” gumamnya dalam hati. “Gadis itu bukan siapa-siapamu. Kamu tidak perlu khawatir berlebihan.”
Tapi suara hatinya terdengar lemah. Seolah tak sanggup melawan kenyataan bahwa sesungguhnya, gadis itu... sudah mulai menyusup ke dalam benteng besi bernama Vasko.
---