Antara Raja Dan Pengacara.

842 Words
"Lupakan yang tadi!" suara Vasko terdengar tegas, namun ada sedikit goyangan emosi yang tak ia sadari. Nada suaranya seperti bisikan mendung sebelum hujan, berat dan penuh beban. Selin menoleh, menatap wajahnya yang mengeras seperti pahatan marmer, namun matanya yang kelam menampilkan kilasan rapuh yang tak pernah ia tunjukkan dengan sengaja. Ia hanya mengangguk kecil, suaranya lembut seperti aliran sungai yang tenang. "Iya, Tuan, jangan khawatir." Vasko berdeham, mencoba mengusir bayangan peristiwa yang baru saja terjadi. Pelukan itu, air mata yang ia biarkan jatuh begitu saja, menjadi duri di dadanya. Ia adalah Vasko—teguh, tanpa cela. Namun, bagaimana ia bisa membiarkan dindingnya runtuh di hadapan gadis ini? "Kamu tahu kan yang di dalam tadi siapa?" tanyanya akhirnya, meski sebenarnya ia tak mengharapkan jawaban. Selin hanya menggeleng kecil, matanya menjelajahi pandangannya sendiri di luar jendela. "Saya tidak tahu." Jawabannya pendek, namun penuh ketulusan yang terasa seperti jarum halus menusuk hati Vasko. "Sungguh?" Vasko menatapnya, alisnya sedikit berkerut. Ia ingin memastikan bahwa gadis ini benar-benar tak tahu apa-apa, meskipun ia juga berharap sebaliknya. "Iya, dan saya memang tidak harus tahu, kan?" Selin menoleh dengan senyum kecil yang hampir seperti ejekan, namun terlalu sopan untuk disebut demikian. Vasko terdiam, menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. "Iya, kamu memang tidak harus tahu," ujarnya akhirnya dengan nada datar. Namun, di balik kalimat itu, pikirannya berkecamuk. Mengapa ia berharap Selin tahu? Bukankah lebih baik jika gadis ini tetap menjadi orang luar dalam dunianya yang rumit? Suasana hening menyelimuti mereka sampai mobil berhenti tiba-tiba. "Ada apa, Tedy?" tanya Vasko, suaranya rendah tapi memancarkan otoritas yang tak bisa diabaikan. "Macet, Tuan. Ada kecelakaan di depan," jawab Tedy dari kursi pengemudi. "Ini satu-satunya jalur menuju mansion. Kalau tidak, kita harus naik MRT, tapi mobilnya..." "Baiklah, kita tunggu saja," potong Vasko, menghela napas panjang. Keheningan kembali mengisi mobil, seperti kabut pagi yang menggantung tanpa arah. Namun, suara ketukan di jendela memecah suasana. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria tinggi dengan raut wajah tajam masuk tanpa banyak basa-basi. "Aku numpang," ujar Langit, pengacara Vasko, dengan santai sambil duduk di samping Tedy. Namun, matanya tiba-tiba membelalak ketika pandangannya bertemu dengan Selin. "Selin?" suaranya tercekat, seolah menemukan hantu dari masa lalu. Selin pun tak kalah kaget. Matanya yang bulat tampak semakin besar, menampilkan kilatan emosi yang sulit diterka. "Langit?" bisiknya dengan nada hampir tak terdengar. Vasko menoleh, tatapannya bergantian antara Langit dan Selin. d**a Vasko terasa sesak, seperti ditarik oleh rasa ingin tahu yang ia benci untuk diakui. Siapa Langit di mata Selin? Dan mengapa pertemuan ini seakan mengguncang keduanya? "Kalian saling kenal?" Suara Vasko tajam, menembus keheningan seperti pisau yang menusuk kain halus. Selin tertegun, tubuhnya menegang seperti senar yang ditarik terlalu kencang. Langit, dengan ketenangan yang tampak tidak pantas dalam situasi itu, duduk dan memasang sabuk pengamannya. "Aku menolongnya di club waktu itu. Selin dijual oleh seseorang." Jawabannya meluncur dengan nada datar, namun setiap kata terasa seperti batu besar yang dijatuhkan ke dalam danau sunyi. Vasko terdiam. Rahangnya mengeras, menampilkan garis wajah yang seakan diukir dengan kemarahan. Ia menatap Selin, pandangan tajamnya seperti panah yang siap ditembakkan. "Kamu kapan ke club? Kamu bilang..." "Aku diajak Soraya ke club, ketika Tuan pergi," jawab Selin, suaranya pelan namun mengandung keletihan yang tidak bisa disembunyikan. "Soraya menjualmu?" Vasko bertanya dengan suara yang teredam, nyaris tercekat oleh keterkejutannya sendiri. "Soraya itu orangmu?" Langit menyela, tatapannya menyelidik. Vasko mengangguk pelan, seolah jawaban itu terlalu berat untuk diucapkan dengan lantang. Dan kemudian Langit menoleh kembali ke Selin. "Dan Selin... kamu dan Vasko..." "Kamu enggak usah tahu!" potong Vasko dengan nada tegas yang seperti benteng baja. Namun, meski mencoba menguasai situasi, ada sesuatu di matanya yang tidak bisa disembunyikan: kebingungan, kemarahan, dan sesuatu yang menyerupai kecemburuan. "Bagaimana kamu bisa bertemu Selin?" tanya Vasko, nadanya mendesak, hampir seperti seorang jaksa yang menggali kebenaran di persidangan. "Aku membelinya dari Soraya. Aku—" "Kamu membelinya!" suara Vasko meledak seperti petir di tengah badai. Napasnya memburu, dan pikirannya penuh dengan bayangan yang tak ingin ia bayangkan. Apakah Langit... menikmatinya? Apakah Selin— "Iya," jawab Langit dengan tenang, memotong badai pikiran Vasko. "Aku rasa, aku lah yang paling beruntung malam itu karena bertemu dengan Selin. Aku bisa mengenalnya." Langit menoleh ke arah Selin, senyum hangat terbit di wajahnya, begitu manis namun berbahaya, seperti madu yang diracuni. "Dia cantik sekali," tambahnya, diakhiri dengan kedipan mata yang jenaka. Selin menunduk, pipinya merona seperti mawar merah yang disapu embun pagi, dan Vasko mendengus keras. "Dengar," ujar Vasko dengan suara rendah namun tajam, "kamu jangan bicara seolah kamu pahlawan di sini." Tatapannya menusuk Langit, namun juga penuh peringatan yang tersirat untuk Selin. Namun Langit hanya tertawa kecil, menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Pahlawan? Mungkin. Tapi kenyataannya, aku tetap orang pertama yang melihat kecantikannya di saat dia membutuhkan seseorang. Kalau kamu tidak bisa melindunginya, Vasko, biarkan aku yang melakukannya." Ruangan sempit dalam mobil itu terasa penuh oleh ketegangan yang tak terlihat namun begitu nyata, seperti udara yang terlalu tebal untuk dihirup. Selin hanya bisa terdiam di antara dua pria yang tampak berperang dalam diam—perang yang tidak hanya tentang siapa dia, tapi juga tentang siapa mereka bagi dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD