Move On Nggak Segampang Boker!!!

1178 Words
Dipta menggerutu kesal. Tangannya masih berada diatas kepala yang terasa panas karena penganiayaan yang dilakukan oleh Dira saat istirahat sekolah tadi. Perasaan dulu sewaktu pacaran sama Rio nggak seganas itu deh si Dira. Kenapa sama dia bawaannya pengen nerkam aja itu cewek. Jangan-jangan naksir lagi sama gue, batin Dipta cengengesan dalam hati. Padahal tampangnya saat ini sengaja dibuat se-drama mungkin agar para fans-nya bersimpati. “Anjir itu mantan lo ganas banget, taik!” maki Dipta kesal. Aldo yang ikut terkena getah dari kejahilan Dipta ikut menganggukkan kepalanya. “Bener, ganas banget. Pantes kalau dijulukin singa sama Dipta.” Timpal Aldo membuat Dira melotot ke arah sahabat Dipta itu. Rio ditempatnya hanya tersenyum. Karena selama ini Dira yang ia kenal bukan Dira yang gampang meledak seperti itu. “Tapi dulu sama gue nggak pernah kaya gitu kok.” Ucap Rio pelan. Dhanisa mendengus sebal. Bisa-bisanya Rio berkata halus seperti itu. Kalau ada orang yang patut disalahkan atas perubahan sahabatnya; Dira, ya laki-laki itu. Kadang mulut cowok tuh emang perlu di ruqyah, biar sadar sebelum ngucap.  “Are you okay, Dir?” tanya Dhanisa mencoba mencairkan suasana pasca bibir laki-laki laknat menurutnya berucap. Dira yang mendengar pertanyaan Dhanisa mengangkat satu alisnya. Itu beneran sahabatnya nanya keadaannya? Harus banget gitu Dhan, lo nanyain keadaan gue saat ini, pasca ketemu sama si Rio. Terus, belum lagi keadaan gue setelah diledekin dedengkot satu itu. Gue kudu bilang, gue okay gitu. Please! Dhani.You know me so well, jerit Dira dalam hati ingin menangis. “Yeah.” “Beneran Didir, kok jawabnya bergetar gitu.” Dhanisa melirik gemas Dillia. Nih, anak kalau sekalinya nyamber kenapa ngeselin batinnya. “Tenang aja, gue baik-baik aja. Gue masih berusaha keras buat move on Dhan, Dill,  nggak semudah itu buat tiba-tiba nggak suka sama dia.” tambah Dira membuat Dhanisa mengangguk, mencoba mengerti keadaan sahabatnya yang masih terluka. Apalagi dia pernah begitu berarti dihidup gue. Benarkan yang dikatakan Dira? Hal paling sulit ketika sebuah hubungan berakhir adalah ketika kita dipaksa untuk melupakan kenangan yang sengaja pernah kita lakukan bersama. Melupakan Rio? Dira sedang berusaha. Rasa sakit yang laki-laki itu berikan, nyatanya tidak memberi andil dalam penghapusan memori kisah mereka. Semakin ia ingin menjadikan rasa sakit itu untuk membenci Rio, semakin sering pula kenangan itu muncul menggerogoti hatinya. Menjadikan rasa sakit itu lebih sakit, karena rasa rindu yang menerpa. “Setidaknya, lo harus coba coba buka hati ke yang lain. Jangan jera buat jatuh cinta ya Didir Sayang.” Ucap Dhanisa. “Iyalah. Dira gitu. Santailah.” Ucap Dira sedikit sombong. Bohong, gue bohong Dhan. Gue harus gimana? Ucapan gadis itu tentu saja didengar oleh Dipta dan kedua sahabatnya. Dipta mengulas senyumnya pada sang mantan kekasih sahabatnya itu. Membuat Dira menatap tajam ke arahnya yang diberi kedipan sebelah mata oleh Dipta. Lupa apa itu anak, habis menyiramkan cuka apel ke hatinya yang luka. Terus tiba-tiba senyum bak malaikat gitu. Sinting apa gimana. Dira bergidik sendiri jadinya. Dasar m***m sialan, batin gadis itu. Pagi-pagi main mata. Apa jangan-jangan sakit mata lagi pikirnya. Ah, ini udah hampir siang sih. “Jangan lupa mobil gue.” Bisik Dipta yang masih bisa didengar oleh Dira. Anjir, gue lupa udah nabrak mobil tuh playboy m***m, ucap Dira dalam hati melupakan kegelisahan yang sedari tadi menyelimuti hatinya. ** Rasanya ingin sekali Dira menyantet sang Mami. Bisa-bisanya ibu kandungnya itu berulah disore-sore mendung begini. Nggak tahu apa, Dira ini susah payah sampai ke kafe. Malah seenak jidatnya Maminya itu mengganti tempat ketemuan. Mana nggak kabar-kabar dulu coba. Kan sayang bensin mobilnya. Mahal Cuy! Maaf bukannya sombong, Dira sih pakainya enggak bensin subsidi dari pemerintah soalnya. Bukan orang susah. Wkwkwk. “Halo Mami, Mami dimana sih?” tanya Dira geram saat Maminya mengangkat sambungan teleponnya. “Hah, dikantor Papi?” Hisssss! Gue santet online juga nih emak-emak satu! Sabar-sabar. Ngadepin Maminya memang harus ekstra sabar. Nggak boleh gegabah kalau nggak mau dikutuk jadi batu nisan nantinya. “Iya, Dira ke sana Mi.” Ucapnya lesu. Demi yang namanya surga dibawah kaki Ibu. Dira keluar dari kafe. Tangannya menenteng sebuah gelas plastik berisikan kopi hitam dingin. “Duh, rokok gue. Sabar yak. Maapin Didir harus matiin kamu sekarang. Salah Mami cans nih. Ubah jadwal temu seenak jidat.” Gerutu Dira mematikan rokoknya di depan pintu kafe. “Apaan lo liat-liat? Nggak pernah liat cewek cantik ngamuk?” amuknya pada anak lelaki yang menatap dirinya horor. Bahunya mengedik tak suka melihat anak berseragam sama dengannya itu menatap heran ke arahnya. “Heran gue, tau deh gue emang cantik.” Lagak Dira cuek. “Aelah cantik kalau nggak bisa move on buat apa Neng?” tanya anak lelaki yang ternyata Dipta itu. “Mulut lo, belum pernah di cabein ya Dip.” Kesal Dira mengambil rokok dalam saku rok abu-abunya. Kalau gini mending sebat dulu lah, dari pada emosinya meluap ke Maminya yang ada Dira dibunuh nanti sama emak-emak gahul itu. “Hahahaha, Move on weh. Apa perlu gue bikin Lo move on dari sohib gue?” tanya Dipta menaik-turunkan alisnya sendiri. Dira ingin sekali rasanya menyundut mulut anak laki-laki satu ini. Udah mulutnya tajem, main embat rokok orang lagi. Nggak mampu apa gimana coba. Ngapain coba ini anak satu ada disini, nggak ada kafe lain apa coba. “Jangan-jangan.” Dipta membekap mulutnya dengan tangannya sendiri. Matanya melotot tajam ke arah Dira. “Lo.”, kini giliran tangan kanannya menunjuk Dira dengan jari telunjuknya. “Lo pernah di ikeh-ikeh sama si Rio ya, kaya si Brenda.” kata Dipta membuat Dira menendang tulang kering Dipta. “Selo dong, kalau nggak bener.” Dipta mengusap kakinya yang ngilu karena tendangan super gadis di depannya ini. “Terus lo kenapa? Susah amat perasaan move onnya?” tanya Dipta serius kali ini. “Move on nggak segampang nenek Lo boker, Pradipta!” sentak Dira lalu menghempaskan rokoknya yang masih setengah ke tanah. “Astaugfirullah, Maafin Dira Oma. Dira nggak tahu Oma udah meninggal.” Ucap Dipta menadahkan tangan, meminta maaf ke udara. Dira membuka mulutnya, takjub. Aduh, jangan sampai dia dikutuk sama Omanya Dipta yang udah meninggal itu. Secarakan dia nggak tahu kalau Omanya Dipta udah meninggal. “Maaf Omanya Dipta, Dira enggak tahu Oma udah almarhum.” Melas Dira meminta maaf ke segala arah membuat Dipta terbahak karena berhasil mengelabui Dira. “Ngapain lo ketawa?” tanya Dira heran menatap Dipta yang terbahak. “Enggak, enggak. Ini Oma gue chatting ke gue. Katanya dia maafin lo.” Ucap Dipta sembari terkekeh. Sialan!, batin Dira. Ini dia dikerjain apa gitu ceritanya? “Dip, lo ngerjain gue?” Dipta menggelengkan kepalanya kepalanya saat Dira bertanya dengan nada yang super duper galak. “Beneran lo, gue sump..” “Dir, Dir, liat-liat, ada pesawat.” Tunjuk Dipta ke arah langit, membuat Dira mengadahkan kepalanya ke arah yang ditunjuk Dipta. “Mana nggak ada?’ tanya Dira sewot “DIPTAAAAA jangan kabur lo.” Teriak Dira saat melihat Dipta yang berlari ke arah mobilnya sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Cowok rese, awas aja. Amit-amit gue sama dia.” Racau Dira, “apa lo liat-liat?” makinya pada orang-orang yang melihat aneh ke arahnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD