Semua Karena Sempol Goreng

1380 Words
Malam ini rumah terasa sepi, harusnya. Eh, berarti malam ini rame gitu maksudnya. Ini semua karena kedamaian dan ketenangan Dipta terusik akan suara berisik dari adiknya yang berumur tiga tahun, yang sialnya mencoba meramaikan malamnya yang seharusnya terasa sepi itu. Gue butuh kedamaiiiaaaaaan, Woiiiii! Rasanya ingin sekali Dipta menenggelamkan adiknya ke rawa-rawa, atau ke mana gitu, asal si Arsa itu tenggelam dan kamarnya kembali ke mode damai, aman-kondusif, terkendali. Lagian kemana juga perginya Bunda kesayangannya itu. Kenapa membiarkan si tengil Arsa dikamarnya sedari siang, hingga menimbulkan korban seluruh bokser Upin-Ipinnya tersiram air s**u dari dot sang adik. “Arsa diem dong mulutnya.” Omel Dipta gemas dengan kelakuan sang adik. Anak berumur tiga tahun itu mengerucutkan bibirnya kedepan, mendengar Abangnya yang sedari tadi sore terus saja mengomel. “Eh, itu Upin-Ipin Bang Dipta mau dibawa kemana Arsa. Woeey Arsa, aelaaah! Arsaaaaaaaaa.” teriak Dipta lantang melihat Arsa sudah berlari entah kemana,  dengan membawa bokser Upin-Ipin yang dia beli langsung dari negara asal sang tokoh tersebut. Dipta lalu keluar dari kamarnya. Rumahnya memang tidak berlantai dua. Namun besarnya bisa mengalahkan sebuah supermarket sekalipun. Alay memang sang Ayah. Katanya biar bisa kejar-kejaran anak-anaknya. Kejar-kejaran beneran kan ini akhrinya. Bikin lelah aja coba, Dipta tuh nggak bisa diginiin. Tepat ketika Dipta hendak mencari Arsa,  pintu utama rumahnya terbuka menampilkan sosok sang Bunda tercinta. Wajah Dipta berseri-seri melihat malaikat kedamaiannya telah pulang. “Bunda, itu si Arsa Upin Ipin Ab...” Belum juga selesai Dipta mengadu, dibelakang Bundanya sudah nampak seseorang yang sangat dihapalnya bersama satu pasangan yang jika ditafsir umurnya sama dengan kedua orang tuanya. Sedangkan dari arah ruang tamu datanglah si objek yang diadukan tengah menenteng sebuah dot berisi s**u putih dan sebuah celana bergambar muka Upin-Ipin yang memenuhi celana bokser tersebut. Tampang anak tersebut itulah yang membuat Dipta geram, tampang adik tiga tahunnya, si Arsa, siapa lagi memang. Anak itu berjalan layaknya seseorang yang tanpa dosa. Ingin rasanya Dipta mencekik leher adik satu-satunya itu. Namun sebelum itu terjadi, sang Bunda pasti sudah mencekiknya terlebih dahulu. Dira yang kenal dengan sosok anak remaja di depannya itu tidak sanggup lagi menahan tawanya kala melihat sang playboy ternama di Angkasa Jaya, tengah memakai bokser bergambar semua tokoh didalam kartun Upin-Ipin. Dan satu lagi, jangan lupakan. Tolong jangan sampai kalian lupakan. Warna dari bokser tersebut, merah muda. Merah muda, demi apapun itu beneran merah muda. Tolong kalian catat, underline, cetak miring diotak kalian masing-masing. “Ya Allah Abang Dipta, masuk kamar. Pakai celana Abang.” Dira tidak bisa lagi menahan tawanya ketika Bunda dari pentolan Angkasa Jaya itu bersuara, dan,... “Hahahahahahahahahahha.” Meledaklah suara-suara tawa itu. Membuat Dipta benar-benar malu setengah mati dan berlari ke arah kamarnya. “Arsa Sayang celananya balikin ke Abang ya Nak.” Arsa si imut itu hanya mengangguk lalu berjalan geal-geol mengikuti langkah Abangnya yang masuk ke dalam kamar. Lucu batin Dira, adiknya bukan abangnya. Abangnya sih amit-amit nggak ada imutnya sama sekali. Apalagi tadi di sekolah ngedip-ngedip kaya orang kelilipan cacing. Belum lagi dikafe, bikin Dira spot jantung karena habis ngata-ngatain Omanya itu anak yang udah almarhum. Ditambah Dira lebih syok, wanita yang sedari tadi berada dikantor Papinya ternyata emaknya itu anak. Ya Allah. Ini bencana macam apa. Setelah memakai baju yang dikatakan layak, Dipta lantas  bergabung dimeja makan. Dilihatnya Dira yang tengah membantu Bundanya. Sedangkan wanita yang tadi dilihatnya, kini tengah duduk bersama laki-laki yang datang dengan wanita tersebut dan Ayahnya. Ternyata Ayahnya juga sudah pulang. Perasaannya jadi tidak enak. “Ya Allah. Lindungi Abang dari semua cobaan setan yang terkutuk.” Do’a Dipta dalam hati. “Abang, berdiri gih panggil Ayah sama keluarga Om Maesaty kesini ya. Makanannya udah siap.” kata sang Bunda padanya. “Iya Bun.” Dipta beranjak dari kursi meja makan,  berjalan kearah Ayah dan tamunya tersebut. Dengan sopan Dipta menyampaikan amanat sang Bunda pada ketiga orang dewasa tersebut, lalu berjalan kembali ke meja makan. Kini posisi Dira berada tepat disamping kursi makan Dipta, seluruh keluarga memandang mereka takjub. Maminya Dira,  bahkan sudah senyum-senyum sendiri. Begitu juga dengan Bunda dari Dipta yang sedari tidak henti memandangi kedua pasangan yang duduk bersebelahan itu. “Cocok ya Nis?” tanya Mami dari Dira. “Iya mbak, udah langsung ajalah Mbak, keburu anak Mbak nanti dijerat laki-laki lain.” Kontan ucapan Bunda Dipta membuat Mira cekikikan sendiri. “Ehem.” Suara deheman dari sang kepala keluarga membuat tiga anak itu langsung menoleh kearah ayah Dipta. Dira, Dipta dan Arsa maksudnya. “Eh apa? Ayah cuman batuk butuh minum ya.” Ya salam, sepertinya Dira tau dari mana sitengil ini mendapatkan gen tersebut. Ayahnya. Dih, jangan sampe nanti Dira jadi salah satu bagian dua lelaki aneh ini. Belum lagi anak berusia tiga tahun yang sedari tadi enggan berkedip darinya. Nggak capek apa kali ya matanya adiknya si Dipta, batin Dira. “Ehem.” “Ehem.” “Kenapa Pi? Papi mau minum juga kaya omnya?” Ucapan polos Dira mendapatkan gelak tawa dari anggota lainnya. Dipta bahkan geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan anak gadis disampingnya itu. Kayanya disekolah enggak sepolos ini coba, pikir Dipta. ‘Boro-boro polos. Galak iya nih cewek.’ “Udah-udah, Ayah sama om mau ngomong Bang.”  Ucap sang Ayah, membuat  Dipta mulai fokus dengan Ayahnya. Sedangkan Dira juga ikut fokus, namun pada ayam goreng asin buatannya tadi. “Yah, yang katanya Bunda seksi bukan yang ini kan Yah?” Tanya Dipta membuka suara. Entah darimana asalnya kekepoan itu datang, rasanya Dipta kepo setengah mati. Enggak apa-apalah batinnya, kalau emang bener yang ini yang katanya seksi itu. Dira emang beneran seksi kok. Masalahnya nanti cuman satu. Pangeran es yang bakal menyihirnya jadi es balok. Rio, siapa lagi. Secara Dira ini kan, mantan yang paling susah buat Rio move on kalau kata kids jaman now. Lah gimana enggak. Udah dimaafin masih aja ngejar maaf. Ngejar maaf, apa ngejar kesempatan itu sahabat es baloknya. "Dira." Mira memanggil anaknya yang seakan memiliki dunia sendiri dengan sempol ayam tersebut. Membuat arah pandang Dipta yang tadinya menghadap sang Ayah, berubah haluan ke arah apa yang tengah dipegang oleh Dira tersebut. “Sempol ayam.” Teriak hati Dipta bersorak-sorai. “Eh itu sempol?” Tanya Dipta antusias, Dira menggangguk pada Dipta sebagai jawaban. “Gue tuker d**a deh, boleh?” Dira menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Dipta. Dipta mengeram kesal.  “Sempolnya buat Gue dong Nga?” Kata Dipta membuat Dira melambai-lambaikan sempol ayam goreng itu ke muka tampan Dipta. Dipta semakin ngeces saja melihat itu. Singa betina yang selalu saja melawannya disekolah itu, belum lagi singa yang tidak mau jatuh cinta padanya yang notabennya adalah playboy peringkat satu di Angkasa Jaya, tengah menyabotase sempol ayam dirumahnya sendiri. Tidak boleh dibiarkan kegiatan kriminal ini. Harus ditindak lanjuti secara tegas. “Bun, ih kenapa sempolnya Dipta dikasih ke si Singa ini sih Bun.” Kedua orang tua mereka hanya diam, masih setia melihat interaksi kedua anak mereka yang sepertinya sudah saling mengenal ini. “Singa, dirumah ini itu semua sempol punya Gue. Hak paten Gue, sudah tersertifikat dari ITB dan IPB.” Ujar Dipta, namun Dira mengacuhkan Dipta , gadis itu malah bersiap ingin menggigit sempol ayam tersebut.  “Gue peringatin ke Lo ya Dir.” Ancam Dipta geram. Aha???!!!  Dipta tau nama Dira, batin kedua orang tuanya. “Dir, Ayam gue itu.” Teriak Dipta kencang. “Diraaaaaaaaaaaaa noooooooo.” “Dira, Dipta Pokonya besok Kalian NIKAAAAAH.” “Apaaaaaaa?” Teriak keduanya bersamaan sampai sempol ayam yang tadi hampir digigit Dira sudah jatuh ketangan Arsa. Arsa berasa mendapat berlian runtuh setelah mendapatkan rejeki nomplok sebuah paha ayam. Tentu saja anak berumur tiga tahun itu senangnya bukan main. “Mpol Ayam.” Ucap Arsa lalu menjilat dan memakan sempol itu didepan wajah mengenaskan Dipta. Membuat sang Abang dan gadis disamping Abangnya itu melotot tajam. “Ya, Allah sempol gue.” Desah Dipta sedih, melihat sempol kesayangannya telah dilahap oleh sang adik. Sedangkan Dira bagai disampar petir disiang bolong mendengar teriakan dari Mami dan Ibu dari pemilik mobil berplat-nomer D 111 PTA itu. Ini halusinasi kan? Hanya khayalan belaka kan. Semoga Dira benar bermimpi. “Auh.” Aduh Dira ketika ia mencubit pipinya sendiri. “Huaaaa, ini bukan mimpi.” Teriak Dira membuat semuanya menggelengkan kepalanya, begitu juga dengan Arsa yang terus memakan sempol ayam idamannya dengan pelan, membuat Dipta merana melihatnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD