Part 5

1024 Words
Rumah Sakit Umum Daerah yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan tertinggi itu berdiri megah di tengah kota. Dikelilingi oleh jalanan beraspal yang selalu ramai. Di ujung kanan terdapat sebuah gedung bertuliskan Graha Cipta yang tampak berbeda dari gedung lainnya. Jika yang lain tampak ramai oleh pengunjung, gedung ini justru tampak lengang dengan taman hijau asri yang luas. Beberapa mobil mahal berjejer di samping kiri gedung. Sebuah mobil toyota alphard memasuki halaman gedung yang luas dan berhenti tepat di depan pintu utama Graha Cipta. Laki-laki mengenakan setelan jas hitam keluar dari pintu sopir dan dengan sopan membuka pintu penumpang. Badannya sedikit menunduk menunjukkan rasa hormatnya. Laki-laki paruh baya dengan rambut dan jenggot yang memutih tampak keluar dari pintu penumpang. Tatapannya tajam berkeliling. Garis-garis penuaan sekaligus sisa ketampanannya di masa muda membuatnya terlihat kharismatik dan tegas. Di belakangnya, menyusul seorang pria dengan setelan jas yang turun tergesa dan segera menjejeri langkahnya. Mereka berjalan beriringan menuju lift di ujung ruangan. Sebuah lift khusus. Ting! Lift berhenti di lantai tertinggi gedung Graha Cipta. Dua pria beda generasi itu masih berjalan beriringan tanpa sepatah kata pun. Mereka menghilang di balik pintu kaca dengan tulisan 'Ruang Direktur' berwarna emas di atasnya. "Tumben Pa ngajak ke sini?" pria yang lebih muda membuka suara. Yang ditanya tidak menjawab, hanya memperbaiki duduk di kursi kebesarannya. "Sudah waktunya kamu belajar." Suaranya berat dan tegas. "Belajar apa? Kan aku belum lulus, Pa." Ia mengerti maksud laki-laki tua yang ia panggil Papa itu. "Kamu akan segera lulus dan belajar menggantikan Papa." Nada suaranya tidak terbantahkan. Tegas dan lugas. "Papa nggak bisa begini. Di bawah Papa masih banyak orang-orang kompeten yang lebih pantas menempati kursi itu," raut wajahnya kesal. "No! Papa akan tetap menyiapkan kamu untuk menggantikan Papa." "Papa gak bisa memutuskan sesuatu sepihak! Masih ada jajaran direksi yang pasti akan mengusulkan nama lain, Pa!" "Kenapa kau selalu membantah?!" nada suaranya meninggi. Ia bahkan sudah berdiri dari duduknya. "Karena Papa selalu seenaknya dan gak pernah mau membicarakan baik-baik!" Dua laki-laki itu tampak mengetatkan rahangnya. "Ayolah, Pa. Ini bukan perkara mudah. Biarkan aku belajar dulu dengan baik, setelah benar-benar siap barulah Papa bisa menyerahkan posisi Papa. Tapi sebelum itu, Papa bisa memberikan tanggung jawab itu ke orang lain yang Papa percaya." Tak ingin semakin membuat papanya geram, ia mencoba merayu dengan nada lembut. "Kita bicarakan lagi lain waktu." Pembicaraan berakhir. Ia tahu lain waktu papanya akan kembali membuka pembicaraan dengan topik yang sama. Semoga saja tidak dibumbui dengan pertengkaran. Setelah pamit pergi, laki-laki muda yang tampak semakin tampan dengan setelan jas yang pas di tubuhnya itu mengeluarkan ponsel dan mengetik beberapa baris kalimat. Wajahnya terlihat sumringah. Ia mengetuk-ngetuk tak sabar dinding lift yang membawanya turun. *** "Ngapain ke sini?" Elvina merendahkan suaranya. Terdengar seperti berbisik. Wajahnya sangat panik dengan mata yang membulat penuh. "Santai, sih, Dok." Ivan terkekeh geli. Tidak menyangka Elvina akan bereaksi sepanik ini. "Ngapain, sih?! Daniel sakit? Atau apa?" "Enggak," Ivan menggeleng dengan senyum geli masih bertahan di wajahnya. "Trus?" Elvina menaikkan alisnya. "Kangen," Seketika Elvina kembali membulatkan matanya. Ia menarik tubuhnya menjauh lalu siap-siap berlalu. Pipinya sudah semerah tomat sekarang. "Eh, mau ke mana? Kan masih jam istirahat." Ivan menggenggam pergelangan tangannya. Sungguh tubuh dan hati Elvina mengkhianati otaknya. Sudah sedari tadi otaknya mengingatkan untuk tidak meladeni Ivan, tapi hati dan tubuhnya menginginkan selalu berada di dekat laki-laki itu. Dengan gerakan ragu ia kembali duduk. Mereka duduk berhadapan di kantin dekat department ilmu kesehatan anak. Beberapa kursi terlihat penuh karena saat ini memang sedang jam istirahat. Berbondong-bondong pegawai rumah sakit menghabiskan waktu di kantin yang menyediakan menu beragam. "Tadi aku nggak sengaja lewat terus pengen ketemu kamu, jadi mampir deh." Ivan menjelaskan maksud kedatangannya. "Emang tadinya mau ke mana? Rapi banget gitu." "Eh, itu hmmm. Mau nganter Papa, sih." "Trus sekarang kalo sudah di sini mau ngapain?" Elvina malas jika nanti teman-temannya melihatnya berduaan dengan seorang laki-laki. Pasti akan jadi pertanyaan. "Ngobrol, makan siang bareng." Ivan nyengir. "Ya sudah cepet pesan makan," Elvina benar-benar ingin segera menyudahi pertemuannya ini. "Ketus amat, Dok. Kenapa?" Ivan mengerling, menggodanya. "Gak enak dilihat temen-temen," akhirnya Elvina jujur. Ivan mengangguk-angguk lalu seketika senyum jahil terbit di wajah tampannya, "bilang aja gebetan." Bukk! Kepalan tangan Elvina mendarat di bahu Ivan membuatnya meringis sambil terkekeh. Elvina tak mengucapkan sepatah kata pun, namun rona merah jambu yang menghiasai wajah bersihnya cukup menjelaskan bagaimana perasaannya mendengar ucapan asal Ivan tadi. Rona di wajahnya hanya bertahan beberapa detik sebelum berubah jadi sendu. Hati Elvina serasa dicubit ketika kembali menyadari bahwa Ivan hanyalah ayah dari pasiennya. Gebetan? Selingkuhan kali! Batinnya meringis. "El, jam berapa balik?" suara bass milik Ryan membuat Elvina dan Ivan serentak menoleh. "Hm, habis makan gue langsung balik, kok. Kenapa, Yan?" Ryan tak terlalu memperhatikan jawaban Elvina. Ia melirik tajam Ivan yang duduk di hadapan Elvina. "Ah, kenalin ini Ivan. Van, ini Ryan." Elvina sigap mengenalkan mereka berdua. Ivan tampak mengulurkan tangan dan tersenyum. "Temen apa? Gue nggak pernah ketemu?" Ryan sukses membuat Ivan malu. Tangannya dibiarkan mengambang di udara. Ryan tidak menyambut uluran tangan Ivan justru mengajukan pertanyaan bernada posesif pada Elvina. "Gue juga baru ketemu, kok. Baru beberapa minggu lalu." Elvina yang menangkap reaksi posesif yang ditunjukkan Ryan segera mengambil jarak. Tapi Ryan justru duduk di kursi sebelah Elvina. "Ketemu di mana?" "Dia, hmmm... dia bapaknya pasien gue." Elvina terbata menjawab pertanyaan Ryan. Ia melirik Ivan yang sudah siap membuka mulut namun segera Elvina memberi isyarat untuk diam. Ia malas bersitegang dengan Ryan di tempat umum. "Terus kenapa ketemu begini? Berduaan di kantin bukan di ruang pemeriksaan?" "Dia kebetulan aja lewat, terus pas jam istirahat jadi mampir ke sini. Ketemu deh di sini," "Ya udah, kita balik bareng aja." "Tapi gue belum selesai makan?" Elvina menatap Ryan bingung yang sudah dengan tenang duduk di sebelahnya. "Selesaikan aja, gue tungguin." What?! Mampus! "Oh, oke."Elvina tersenyum kecut. Kehadiran Ryan justru membuat suasana jadi aneh. Ivan menyadarinya. "Hm, gue udah selesai. Papa gue juga mungkin udah nunggu. Makasih, Dokter Elvina, atas waktunya." Ivan sempat mengerling pada Elvina sebelum berlalu yang membuat Ryan menatap tajam padanya. "Kayaknya Lo deket banget sama pasien Lo, ya?" Tanya Ryan. Dingin dan tajam. Elvina hanya bisa menelan ludah menghadapi sikap Ryan yang sedingin es kutub utara itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD