Eps. 4 Kembali Ke Prancis

1054 Words
Setelahnya panggilan telepon berakhir. Nadine menaruh kembali gagang telepon berwarna hitam ke tempatnya semula. Lalu dia berpindah kembali ke tempat duduk asalnya. "Ledakan bom di Prancis? Apakah itu ulah dari teroris?" Sungguh ia tak menduga sama sekali, peristiwa itu terjadi dengan cepat hanya dalam hitungan menit saja. Tanpa melanjutkan melihat artikel yang tadi dilihat, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu berkemas. Tentunya dia juga mematikan laptop yang masih menyala di meja. "Sepertinya aku akan sibuk selama beberapa pekan ke depan." Jika dikirim ke luar negeri itu artinya, ditugaskan dalam kurun waktu yang tak bisa ditentukan. Bisa satu bulan bisa juga lebih. Terlebih jika pasukan khusus, mungkin bisa lebih lama lagi. Nadine kemudian mengunci lokernya, setelah memeriksa barang apa saja yang perlu dibawa karena akan lama dia tinggal. Sebelum pergi, Nadine kembali menata ruangannya untuk terakhir kali disertai tarikan napas panjang. Setelahnya ia menuju ke mobilnya terparkir. Dengan cepat ia menuju ke bandara untuk memesan tiket. Meski keberangkatannya besok, dia harus mempersiapkan tiket lebih awal. Nadine melaju mobil memecah jalanan London yang padat di jam sibuk ini. "Tolong, satu tiket penerbangan ke Prancis." Nadine tiba di airport. Dia segera memesan tiket pada petugas loket. "Ini, Nona." Petugas loket menyerahkan tiket pada Nadine. Nadine menatap jadwal keberangkatannya sebelum memasukkan tiket tersebut dalam tas. *** "Nadine, kenapa kau dikirim ke Prancis?" Bibi May berdiri di samping Nadine. Berat baginya melepas kepergian kemenakannya itu. Telebih harus ke Prancis. Kenapa harus ke sana, bukan tempat lain? Secara, Perancis adalah kampung halaman Nadine. Tempat kelahiran gadis itu, sekaligus tempat yang merupakan titik awal trauma Nadine. Butuh proses panjang untuk menyembuhkan trauma Nadine, sampai dia mengajaknya pindah dari Prancis. Lalu jika sekarang kembali lagi ke sana, apa itu tidak akan membuka luka lamanya? Mereka ada di bandara pagi buta, sesuai dengan jadwal penerbangan pesawat ke Prancis. "Ini tugas, Bibi. seandainya saja aku bisa memilih ditugaskan ke mana itu akan lebih baik. Sayangnya aku tak bisa." Nadine melempar senyum tipis untuk mengurangi rasa khawatir Bibi May. "Apa kau akan baik-baik saja di sana?" "Tentu, Bibi. Aku bukan anak kecil berusia sembilan tahun lagi. Aku sudah dewasa dan bisa melindungi diriku sekarang. Bibi tak perlu cemas berlebih." "Nadine, telepon Paman dan Bibi jika kau senggang." Pria yang berada di samping Bibi May ikut bicara. Dia juga nampak khawatir. Bukan karena menangani masalah teroris yang dia takutkan, tapi karena trauma yang mungkin saja kembali muncul begitu Nadine menginjakkan kaki di Prancis. "Pasti Paman. Aku akan selalu menelepon kalian berdua. Terima kasih sudah menjagaku sampai saat ini. Doakan aku segera kembali dengan selamat," balas Nadine. Dia kemudian memeluk paman dan bibinya bergantian. Baginya dua orang itu bukanlah sekadar paman dan bibinya saja, tapi dia sudah menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. "Jangan lupa telepon ketika sudah sampai di sana," ingat Bibi May yang diangguki oleh Nadine. Nadine kemudian menyeret kopernya, satu koper besar dan satu koper kecil setelah melambaikan tangan pada paman dan bibinya. Tiga puluh menit setelahnya burung besi itu take off menuju ke Prancis dengan tujuan Bordeaux. Prancis ... bagaimana kondisi tempat itu sekarang? Sudah empat belas tahun aku pergi dari Reims. Jujur, Nadine sudah lama sebenarnya ingin kembali ke Prancis. hanya saja selama ini tak pernah ada kesempatan untuk ke sana. Entah ini adalah satu berkah atau musibah dia ditugaskan ke sana. Sayangnya aku ditugaskan ke Bordeaux bukan ke Reims. Tapi tak masakah bagiku. jika senggang dan selesai bertugas aku bisa mampir ke Reims sebentar. Sudah lama dia memendam ingatan menyakitkan tentang peristiwa pembunuhan kejam kedua orang tuanya oleh mafia, jauh di dasar hatinya yang terdalam. Siapa yang tahu meski psikiater menyatakan trauma gadis itu sudah sembuh, namun ingatan itu masih membekas dan tertanam, mengakar di hatinya. "Henry Octav Pierre, tunggu. Aku akan mendatangimu." Nadine merasa kepalanya mulai terasa berat ketika mengingat saat-saat itu, hingga membuatnya ingin melepas pikiran itu sejenak dengan memejamkan kelopak mata. Perjalanan dari London menuju ke Bordeaux ditempuh dalam waktu seratus dua puluh menit. Suara pramugari membangunkan para penumpang yang saat itu terlelap, termasuk Nadine. "Astaga sudah sampai! Cepat sekali. Rasanya seperti baru tidur lima menit saja." Saat Nadine berdiri, hanya ada lima penumpang di pesawat yang belum turun, termasuk dirinya. Cepat-cepat dia keluar dari sana. Sesampainya di luar bandara, dia bingung bagaimana caranya menuju ke kantor polisi sektor Bordeaux. Karena peristiwa pengeboman dua puluh empat jam yang lalu, kini semua jalan ditutup. Bahkan akses kendaraan umum pun dibatasi. "Seandainya saja aku punya kenalan di sini, pastilah mudah bagiku menuju ke kantor polisi." Nadine tak patah semangat. Dia dengan sabar berdiri di tepi jalan, menunggu taksi lewat atau kendaraan umum lainnya. Bahkan suasana saat ini di sana tampak sepi. Hanya beberapa orang saja yang nampak lewat di jalanan. Mungkin karena beberapa warga sudah diungsikan atau memang tidak diperbolehkan keluar. Beruntung, Nadine bukanlah orang penakut di tengah suasana yang mencekam seperti ini. Profesinya sebagai polisi membuatnya tak kenal takut di tengah situasi apapun. "Taksi!" panggil Nadine setelah cukup lama menunggu dan baru melihat taksi pertama melintas. Taksi berhenti dan membuka kaca mobil. Sopir taksi memindai Nadine dari ujung rambut sampai ujung kaki. Orang ini sepertinya bukan warga sini. Jangan-jangan dia anggota teroris. Tepat di saat Nadine akan menarik pintu, taksi melaju dengan cepat. "Kenapa taksi itu pergi? Sial!" Nadine tak habis pikir kenapa, taksi itu malah pergi meninggalkannya? Ada rasa kecewa hinggap di hati. Kenapa tadi dia tidak berangkat mengenakan seragam polisi dan memilih mengenakan pakaian sipil seperti warga biasa. Mungkin jika saja dia mengenakan seragam dinas kepolisian maka akan mudah baginya mendapatkan akses tumpangan. "Di sini juga tidak ada polisi yang bertugas." Lagi, Nadine menghela napas panjang tatkala menatap ke sekitar dan tak ada satu polisi pun di di sana yang bertugas. "Aneh sekali." Nadine kembali menunggu kendaraan umum lainnya yang mungkin saja akan lewat. beberapa kendaraan umum memang lewat, tapi seperti taksi sebelumnya. Setelah melihatnya, semua kendaraan itu pergi meninggalkannya. "Mungkin aku memang harus jalan kaki sampai ke tujuan." Nadine memutuskan untuk Mengayunkan kakinya. Mungkin di tengah jalan nanti dia akan menemukan kendaraan umum yang mau memberikan tumpangan padanya. Baru satu meter melangkah, terdengar suara klakson mobil dari belakang. Ada sebuah mobil hitam mewah yang berhenti di sampingnya. Kaca mobil terbuka separuh. Sesosok pria menyembulkan kepala. "Nona, apa kau butuh tumpangan?" tanya pria dengan tulang rahang tegas dan sepasang manik mata laksana elang. Nadine tak langsung menjawab. Dia mengamati pria itu sebelum memutuskan menerima tawarannya atau tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD