8. Mantan

1218 Words
“Ada … apa?” tanya Aluna. Kaivan menoleh dan mengatakan, “Mau makan apa?” Aluna terkejut. Padahal tak perlu ditanya, dirinya tak masalah mau makan apa atau di mana. “Terserah padamu,” jawab Aluna. “Katakan saja apa yang kau inginkan.” Aluna yang sebelumnya mengalihkan pandangan, kembali menatap Kaivan. Dirinya benar-benar tak mengerti apa maksud dan tujuan Kaivan. Apakah Kaivan ingin menunjukkan bahwa yang ia katakan mengenai perasaannya adalah benar? Dengan bersikap akan menuruti semua keinginannya. “Aku … tidak tahu,” ucap Aluna. Dirinya benar-benar tak bisa memikirkan makanan apa yang ia inginkan. Mendengar itu, Kaivan tak lagi bertanya dan bicara. Ia melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mobilnya berhenti di depan sebuah restoran makanan cina tapi hanya menyediakan makanan halal. Aluna turun dari mobil dan berjalan bersama Kaivan memasuki restoran. Mereka lalu duduk di meja nomor 5 dan Kaivan segera memesan. Tak lama, pelayan mengantar pesanan Kaivan ke atas meja. Malam ini Kaivan memilih menu ayam kung pao dan noodle soup. Aluna menatap makan malamnya sejenak sebelum akhirnya mencicipi kuah noodle soup miliknya. Dan saat kuah bening itu telah masuk sama mulut dan melewati tenggorokan, ia memuji lezatnya makanan yang ia makan saat ini. “Ini … enak sekali,” ucap Aluna. Kaivan memperhatikan Aluna dengan pandangan tak terbaca. “Kupikir makanan seperti ini tidak terlalu sulit bagimu,” kata Kaivan. Aluna bukan dari keluarga tak punya, tapi dirinya seperti tak pernah menikmati makanan lezat. Ia ingat saat tadi pagi Aluna memuji sandwich buatannya. Aluna tersenyum kecut dan mengangguk. “Ya. Tapi … itu dulu. Setelah ayahku meninggal, aku tidak pernah lagi punya kesempatan menikmati makanan di tempat seperti ini. Bahkan meski aku bekerja,” ucapnya. “Dasar bodoh.” Aluna seketika mengangkat kepala menatap Kaivan. Ia lalu kembali menunduk dan senyum kecut kembali tercipta. Ia tak marah jika disebut bodoh, karena nyatanya begitu. Ia tak berani melawan ibu tiri juga adik tirinya. “Jika aku jadi kau, sudah kutendang dua orang itu dari rumahku,” kata Kaivan kemudian mulai mencicipi makan malamnya. “Harusnya. Tapi … tidak semudah itu. Mereka selalu memutar balikkan fakta, playing victim, selalu menjegal langkahku. Aku sampai lelah hingga akhirnya tak bisa melakukan apapun untuk melawan mereka,” ujar Aluna. “Kalau begitu, kau memang membutuhkan bantuanku,” kata Kaivan. Aluna menatap Kaivan dalam diam dan bertanya, “Tapi aku masih belum tahu alasan pasti kenapa kau membantuku.” “Apa aku harus mengatakannya sekali lagi?” kata Kaivan menghentikan sejenak kegiatan makannya. “Tapi kau belum memberitahuku bagaimana bisa kau ….” Ucapan Aluna menggantung. Lidahnya terasa kelu mengatakan kata cinta. “Jika kau terus bicara, kapan kita akan makan?” Mendengar itu, Aluna pun diam. Ia lalu menyentuh makan malamnya. Tak lama kemudian, Aluna dan Kaivan telah menyelesaikan acara makan malam mereka. Dan baru saja Kaivan hendak membayar, tiba-tiba seseorang menyapa. “Kai?” Pandangan Aluna tertuju pada wanita yang baru saja menyapa Kaivan. Wanita itu sangat cantik dan tampak anggun. Kulitnya putih bersih, rambut panjangnya yang bergelombang tampak berkilau, matanya begitu indah, bentuk wajahnya tampak sempurna. Satu kata yang ada dalam pikiran Aluna adalah, cantik. Wanita itu sangat cantik. “Kau di sini? Dengan ….” Perhatian wanita itu tertuju pada Aluna. Diperhatikannya Aluna dengan seksama dan Aluna merasa wanita itu tersenyum remeh padanya. “ah, apa ini pacarmu? Ya ampun, kita sudah lama tidak bertemu dan seleramu jadi rendahan, ya.” Ulu hati Aluna terasa ngilu. Meski wanita itu begitu cantik, ternyata mulutnya sangat pahit. “Apa aku mengenalmu?” Mulut wanita itu terbuka, tak percaya dengan apa yang ia dengar. “What? Kai, apa yang kau katakan? Meski kita pacaran cuma sebulan, tapi bagaimanapun aku ini mantan pacarmu,” ucap wanita itu. Ia bernama Della Mara, seorang model internasional, menjadi salah satu mantan Kaivan beberapa tahun yang lalu. Kaivan menatap Della dengan raut wajahnya yang datar, seakan lewat tatapan mata mengatakan, ‘pergi dari sini’. Namun, meski Della tahu, dirinya justru duduk di sebelah Kaivan. “Ayo lah, Kai. Jangan seperti anak kecil. Kita ini sudah dewasa,” kata Della saat ia duduk. Ia lalu menatap Aluna dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, namaku Della Mara, kau tahu aku, kan? Jika tidak, kau pasti dari kampung.” Aluna menelan ludah kasar. Ia benar-benar terkejut. Rasa kagum yang muncul melihat kecantikan Della seketika lenyap. “Aku–” Baru saja Aluna hendak mengulurkan tangannya, Della lebih dulu menarik tangannya membuat Aluna kembali menyembunyikan tangannya di bawah meja. “Tidak perlu. Aku tidak perlu tahu namamu,” kata Della kemudian menatap Kaivan dengan ekspresi imut dibuat-buat. “Kai, sekarang aku sudah jadi model internasional. Kau yakin tidak mau kembali denganku?” Sret! Kaivan bangkit dari duduknya kemudian mengulurkan tangannya pada Aluna, mengajak Aluna pergi setelan ia membayar. Aluna menatap tangan Kaivan yang menggantung kemudian hendak menerimanya. Namun, sebelum itu terjadi, tangan Della lebih dulu menyambut. “Kai, lihat aku,” kata Della dengan memasang wajah mengiba. Namun, raut wajahnya seketika berubah saat ia melirik Aluna, seakan-akan menyuruh Aluna pergi dan membiarkannya bersama Kaivan. Kaivan menatap tangan Della yang menggenggam tangannya dan berusaha melepas tautan tangan mereka. Akan tetapi, Della sengaja menahannya, terus menggenggam tangan Kaivan. Tangan kiri Kaivan mengambil garpu bekas makannya lalu mengangkatnya tepat di atas tangan Della dengan posisi gigi garpu menghadap bawah pada punggung tangan Della. Della tentu terkejut. “Kai, apa yang kau lakukan?” tanya Della yang mulai berpikir yang tidak-tidak. Kaivan hanya diam lalu menggenggam tangan Della yang hendak lepas. Ia lalu menghujam garpu mengarah tangan Della yang membuat Della berteriak. “Kai!” Tak! Gigi-gigi garpu menghantam meja cukup keras, menunjukkan kuatnya tekanan yang Kaivan berikan. Jika benar-benar mengenai tangan Della, mungkin mampu menembus sampai telapak tangan. Della ketakutan setengah mati hingga memejamkan mata rapat saat ia berteriak. Tak merasakan sakit, ia membuka matanya perlahan. Kaivan melepas genggam tangannya, melepas tautan tangannya dengan Della. Tangan Della yang sebelumnya menggenggam tangannya kuat, kini terkulai lemas. Kaivan kembali mengulurkan tangannya dan disambut oleh Aluna. Ia lalu mengajak Aluna pergi dengan segera. Tubuh Della masih lemas seakan dirinya baru saja hampir menjemput mati. Degup jantungnya masih tak karuan, wajahnya masih pucat, tubuhnya masih gemetar. “Awas kau, Kai,” batin Della. Ia tak berani berteriak, bukan semata karena ia lemas tapi tak ingin menarik perhatian banyak orang. Dirinya model profesional, tak bisa sembarangan karena jika muncul berita buruk tentangnya, bisa jadi konsumsi publik yang mengganggu popularitasnya. Skandal sekecil apapun bisa mengganggu. Di luar, Kaivan dan Aluna baru saja masuk mobil. Baru saja Kaivan menyalakan start, tiba-tiba Aluna bertanya. “Apa dia … benar-benar mantanmu?” “Menurutmu?” Aluna terdiam sejenak. “Aku … tidak tahu. Dia sangat cantik, wajahnya, tubuhnya, benar-benar membuat siapapun iri. Tapi ….” Ucapan Aluna menggantung. Meski begitu, Kaivan tahu apa yang ingin ia katakan. “Tidak perlu memikirkannya,” kata Kaivan kemudian mulai melakukan mobilnya. Dalam perjalanan, Aluna sesekali mencuri pandang pada Kaivan. Entah kenapa dirinya merasa ingin lebih tahu semua mengenai Kaivan. “Masih memikirkannya?” tanya Kaivan tiba-tiba. Ia sadar Aluna sesekali menatapnya membuatnya berpikir pasti ada yang Aluna pikirkan. “Ti- tidak,” jawab Aluna. “Ada tempat yang mau kau kunjungi?” “Tidak,” jawab Aluna lagi. Ini sudah cukup malam, untuk apa Kaivan bertanya? Kaivan hanya diam tak lagi bertanya. Ia lalu membelokkan setir menuju suatu tempat, bukan arah jalan pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD