7. Dikejutkan Fakta

1325 Words
"Tadi aku ke hotel dan mereka bilang, tidak ada pria tua yang datang malam itu,” ucap Aldo. Alis Flora mengernyit. “Apa? Tapi katamu tua bangka yang membelinya, bukan?” “Maka dari itu. Aku ingin memeriksa rekaman cctv, tapi pihak hotel tidak memberiku izin.” Flora hanya diam dan tampak berpikir. Apa mungkin pihak hotel tidak memperhatikan? “Kau yakin? Bagaimana jika mereka berbohong?” “Apa gunanya mereka berbohong?” timpal Aldo. “Aku penasaran. Bagaimana kalau bayar orang dalam untuk melihat cctv?” usul Flora. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh. Aldo menyeringai tipis. Sebenarnya ia juga memikirkan hal itu karena rasa penasarannya, tapi dirinya terlalu sayang uang. Tapi, Dewi Fortuna berpihak padanya. Ada wanita bodoh yang bisa ia manfaatkan. “Tapi aku harus berhemat untuk membeli apartemen masa depan kita,” kata Aldo. “Haish, ya ampun, Sayang. Kan ada aku. Tenang saja. Aku bisa menjual salah satu aset milik Aluna yang sudah atas namaku,” kata Flora seraya membelai lembut rahang Aldo. Aldo tersenyum tipis. Ia lalu menarik pinggang Flora membuat tubuh mereka kembali menempel. “Kau benar-benar bisa diandalkan,” kata Aldo lalu mengecup pipi Flora. “Oh, tentu saja. Aku ini wanita cerdas,” ucap Flora penuh kesombongan. Dirinya tak tahu bahwa ia benar-benar hanya dibodohi. Cukup lama kemudian, seperti rencana, Flora dan Aldo mendatangi hotel dan menyogok salah satu staf untuk memberikan mereka rekaman cctv. Staf itu pun dengan sukarela mengikuti perintah setelah mendapat uang dari Flora sebanyak 5 juta. “Ini aku saat membawa Aluna,” kata Aldo melihat rekaman cctv pada layar laptop staff itu. Staff itu menunjukkan rekaman cctv hotel di hari kejadian lewat PC pribadinya. Karena jika ketahuan pihak hotel dirinya memberikan rekaman tanpa izin, dirinya bisa dipecat. “Bisa dipercepat?” kata Flora. Ia tak sabar ingin melihat kebenaran siapa yang membeli Aluna. Staf itu mengikuti perintah, mempercepat rekaman dan menunjukkan beberapa rekaman dari tempat berbeda. Dari parkiran, lobby dan lorong kamar di mana Aluna berada. “Berhenti!” perintah Aldo saat ia menangkap sosok pria berjalan di lorong menuju kamar Aluna. Dan benar saja, pria itu berhenti di depan pintu kamar ia meninggalkan Aluna. “Tunggu, bukankah itu kamar kau membawa Aluna? Kenapa pria muda yang datang?!” kata Flora dengan mata melotot menatap layar. Rekaman cctv itu dengan jelas menunjukkan sosok Kaivan yang berjalan tenang dan penuh wibawa. Dan hanya sekali melihat meski hanya hasil rekaman, Kaivan terlihat bukan orang sembarangan. Pakaiannya, cara berjalannya, wajahnya yang rupawan, seakan menunjukkan kasta yang dia miliki. “Sayang! Apa-apaan ini?! Kau bilang kakek bangkotan yang membelinya!” teriak Flora. Dirinya merasa tak terima jika yang menikmati Aluna adalah pria tampan dan bukan orang sembarangan. Aldo hanya diam, masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebelumnya, dirinya benar-benar bertemu dengan kakek yang ingin memiliki Aluna, tapi kenapa justru pria tampan dan muda yang memasuki kamarnya? “Mungkin saja kakek-kakak itu datang setelah pria itu,” ucap Aldo menduga-nduga. Ia pikir, bisa saja pria itu cucu dari kakek yang membayar Aluna untuk mereka nikmati berdua. Akan tetapi, dalam rekaman tak menunjukkan ada orang lain lagi yang masuk. Justru, rekaman menunjukkan Aluna keluar dari kamar bersama pria itu saat hampir pagi. Flora mengepalkan tangan kuat, figurnya bergemeletuk. Ia tak terima sudah dibohongi. Padahal ia sudah sangat senang jika yang menikmati Aluna adalah kakek tua bangkotan yang membuat Aluna oastri trauma dan depresi. Apa yang dia lihat saat ini? “Sayang! Kau bodoh atau apa?! Lihat! Bukan kakek-kakek yang membawa Aluna! Tapi pria tampan itu!” bentak Flora meluapkan kemarahannya. “Mana kutahu?! Setahuku kakek-kakek yang menghubungiku!” balas Aldo dengan suara tak kalah keras dari Flora. Apa Flora pikir dirinya juga tak terkejut melihatnya? Di tempat lain yakni di tempat Aluna, dirinya sesekali melihat jam dan pintu kamar. Dirinya ingin keluar dari kamar sekedar melihat keadaan rumah, tapi ia takut jika Kaivan menemukannya dan berpikir ia akan kabur. Cklek! Aluna tersentak. Baru saja berniat keluar kamar, tiba-tiba pintu akan terbuka. Untung saja dirinya berpikir puluhan kali sebelum meninggalkan kamarnya. Berpikir itu mungkin Kaivan dan ia tak tahu harus melakukan apa, Aluna memutuskan pura-pura tidur. Kriet …. Pintu terbuka saat Kaivan mendorongnya dari luar. Ia lalu mengambil langkah masuk, berjalan ke arah ranjang di mana Sakura berada. Melihat Sakura tidur, Kaivan mengabaikannya sejenak dan berjalan ke kamar mandi. Mendengar suara pintu kamar mandi yang tertutup, Aluna membuka mata. Dia grogi, berpikir apa yang harus dilakukan nanti. Rasanya sangat canggung setelah Kaivan menjawab pertanyaannya, alasan Kaivan mau membantunya. Tiba-tiba pintu terbuka, Aluna kembali berpura-pura tidur. Namun, tanpa sengaja Kaivan telah menemukannya lebih dulu. Kaivan berdiri sejenak di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Aluna yang pura-pura tidur. Ia lalu berjalan ke arahnya dan duduk di tepi ranjang. “Mau cari udara segar?” tanya Kaivan yang posisinya duduk membelakangi Aluna. Aluna bergeming, tetap dalam posisi agar Kaivan tak tahu ia hanya pura-pura. Atau, apa Kaivan sudah sadar aku hanya pura-pura? batin Aluna. Tak mendapat respon, Kaivan menoleh, menatap Aluna dan mengatakan, “Menggaulimu saat tidur, sepertinya ide yang bagus.” Mendengar ucapan Kaivan, Aluna segera membuka mata. Kaivan tersenyum miring. “Aktingmu kurang bagus.” Aluna hanya diam dengan wajah bersemu karena malu ketahuan dan mendapat ejekan dari Kaivan. “Mau keluar?” tanya Kaivan. Aluna melirik Kaivan sekilas. “Ke mana?” tanya dengan suara pelan. “Makan malam.” Aluna terdiam dan berpikir. “Aku tidak menerima penolakan,” ucap Kaivan. Tiba-tiba Kaivan membungkuk ke arah Aluna. Kedua tangannya berada di sisi kanan dan kiri kepala Aluna, bertumpu bantal menahan berat tubuhnya. Kaivan menatap lurus pada netra Aluna yang tak berani menatapnya. Seperti ada rasa ketakutan dan cemas yang terlihat dari sorot matanya. “Ba- baik lah,” kata Aluna sedikit terbata. Ia harap dengan begitu Kaivan bisa menyingkir dari atasnya. Bukannya menyingkir, Kaivan semakin intens menata Aluna membuat jantung Aluna berdebar tak karuan. Ia pun hanya bisa membuang muka tak berani menatap Kaivan. “Kau takut padaku?” tanya Kaivan seraya membelai lembut wajah Aluna, membelai dari pelipis turun melewati pipi dan berakhir di dagu. Aluna hanya diam. Harusnya tanpa menjawab, Kaivan sudah mengetahuinya. “Bagaimana bisa kau takut pada orang yang akan melindungimu?” kata Kaivan dengan kembali membelai wajah Aluna. “kau tahu aku mencintaimu, kenapa tidak berusaha membalas perasaanku?” Aluna merasa ini waktu yang tepat. Ia memberanikan diri menatap Kaivan dan memberanikan diri bertanya, “Sejak … kapan? Karena … apa? Aku merasa … tidak pernah mengenalmu.” Kaivan terdiam selama beberapa saat dan menjawab, “Kau memang tidak mengenalku, Tapi aku sangat mengenalmu. Aku akan memberitahumu nanti. Sekarang, ganti baju dan kita pergi,” ucap Kaivan kemudian bangkit dari atas tubuh Aluna. Ia kemudian mengukirkan tangannya, menuntun Aluna untuk bangun. Aluna menatap tangan Kaivan yang terulur padanya kemudian dengan ragu tangannya menerimanya. Kaivan menarik tangan Aluna setelah Aluna menerima uluran tangannya. Aluna pun turun dari ranjang dan tanpa melepas tautan tangan mereka, Kaivan menuntunnya menuju walk in closet untuk memilih pakaian. Sesampainya di sana, Kaivan mempersilakan Aluna memakai pakaian yang ia mau, sepatu dan aksesoris yang ia inginkan. Semua sudah disediakannya sebelum membawa Aluna ke rumah. Aluna menatap takjub berbagai gaun dan baju di depan matanya serta aksesoris dan perlengkapan wanita. Apakah semua itu telah Kaivan sediakan untuknya? Atau, milik wanita Kaivan sebelumnya? Melihat Aluna tak segera memilih, Kaivan mengambil sebuah gaun cantik berwarna peach. Meski tampak sederhana, tampak elegan dan mahal. “Mau mencobanya?” Aluna menatap gaun yang Kaivan berikan dan menerimanya. Ia lalu tampak bingung. Jika Kaivan menyuruhnya mencoba gaun itu, kenapa Kaivan tidak keluar? “Kau ….” Ucapan Aluna menggantung, tapi Kaivan seakan tahu apa yang ingin ia katakan. “Kenapa aku harus pergi? Aku sudah melihat setiap jengkal tubuhmu, kau istriku,” ucap Kaivan. Aluna tahu itu, tapi tetap saja ia malu. Tak lama kemudian, Kaivan dan Aluna telah dalam perjalanan di mana Aluna telah memakai gaun yang Kaivan pilihkan. Selama perjalanan Aluna hanya diam. Tiba-tiba Kaivan menghentikan mobilnya membuat Aluna menoleh padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD