Kaca spion, selain berfungsi untuk melihat keadaan di belakang jalan juga berfungsi untuk melihat keadaan di sekitar wajah dan rambut. Ya, Listya menggunakannya untuk bercermin. Asal jangan digunakan untuk melihat masa lalu saja, nanti gagal move-on.
Listya bercermin di kaca spion motornya. Setelah itu ia memakai helm. Baru saja menstarter motornya, ia melihat Mia sedang berdiri di depan gerbang. Bisa dipastikan kalau sahabatnya itu sedang menunggu dijemput. Listya langsung melajukan motor matic-nya untuk menghampiri Mia.
"Pria macam apa yang bikin wanita nunggu?" Listya mematikan mesin motornya yang berhenti tepat di hadapan Mia. Ia berbicara tanpa turun dari motor.
"Enggak apa-apa, gue ikhlas," jawab Mia, ia tahu Listya sedang mengeluarkan jurus balas dendam untuk mengejek dirinya.
"Bener nih nggak mau nebeng sama gue aja?"
Mia menggeleng. "Enggak."
"Yakin?"
"Yakin dong, lagian lo mau langsung pulang, Lis?"
"Terus ngapain dulu? Single mah bebas ya mau ke mana aja. Pulang kerja capek ya pulang, nggak buang-buang energi kayak lo!"
"Wait, jangan bilang lo lupa kondangan?"
Kondangan? Seketika Listya ingat tumpukan undangan di rumahnya. Ia belum membukanya sama sekali.
"Siapa yang nikahan hari ini?"
"Ya banyak, masa gue sebutin satu-satu? Intinya teman SMP sama SMA. Teman kuliah juga ada, sih."
"Siapa aja, Miong? Sebutin yang lo ingat."
"Anis, Syifa, Disa, Natalie, Nisa. Terus cowoknya Dito, Yosa, Dzaki. Ah, gue udah catat jadwalnya, sih, mau ke mana dulu. Tapi catatannya di tas, malas ngobrak-abriknya."
"Nisa? Nisa yang gendut bukan?"
"Yup! Nisa yang gagal diet, yang pernah jadi bahan bully. Dia aja nikah, lo kapan?"
"Lo juga belum nikah, Miong. Pakai nanya gue segala."
Mia terkekeh. "Seenggaknya gue mau nikah sebentar lagi. Sementara lo, pacar aja masih gaib."
"Ih, tapi serius itu Nisa beneran? Cowoknya siapa? Sumpah demi apa pun belum ada undangan yang gue buka."
"Gue lupa nama cowoknya, tapi orang tajir gitu. Dan lo harus tahu, Nisa itu sekarang udah langsing, cantik banget pokoknya. Gue pernah ketemu di butik waktu itu. Ini harusnya jadi motivasi buat lo, orang lain aja bisa dapet jodoh … kenapa lo nggak?"
"Ya, harusnya emang jadi motivasi, tapi gue ralat kata-kata lo. Harusnya, jodoh akan datang pada waktunya. Mungkin sekarang belum datang, jadi gue nggak harus pusing mikirin itu semua. Eh, gue nggak pernah musingin sih, yang musingin kan orang-orang sekitar gue. Termasuk lo."
"Terserah lo aja deh, gue lagi malas debat."
"Gue berharap lo malas selamanya biar nggak usah ngajakin debat terus."
"Ya ya ya. Emang lo nggak kondangan, Lis?"
"Pengennya mah kondangan, cuma lo tahu sendiri duit limited banget, mana gajian masih tiga hari lagi. Jadi, maksud gue…." Listya menggantung ucapannya.
"Lo nitip kondangan sama gue, terus pinjam duit gue? Wah, parah!" protes Mia.
Listya tertawa, tawa yang seakan minta dikasihani. "Jangan lupa amplopin duitnya ya Miong yang cantik."
"Amplopin? Lo nyuruh dan ngatur tapi berkedok minta tolong, ya. Rugi bandar deh gue. Apes banget, udah pakai duit gue, gue yang modalin amplop, gue juga yang tulisin nama lo. Kenapa hidup lo enak banget, ya?"
"Pas gajian gue bayar kok, kayak ke siapa aja."
Mia akui, kemampuan merayu Listya memang patut diacungi jempol. Listya selalu punya cara untuk membuat Mia tidak bisa menolak. Namun, anehnya Listya tidak pernah mempraktikan jurus merayunya pada pria.
"Ya udah, lo mau kondangan berapa?"
Akhirnya Mia luluh juga, meski kalimat 'kalau udah gajian gue bayar' adalah kalimat yang lumayan horor dan mendekati mitos, tapi Mia tidak bisa menolak membantu sahabatnya.
"Asyik, lo emang sahabat gue!" Listya kegirangan. "Samain aja sama lo deh kondangannya."
"Ya udah, lo hati-hati pulangnya. Jomlo mah harus tahan banting soalnya nggak ada malaikat pelindungnya."
Baru saja Listya hendak menyanggah ucapan Mia, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia langsung mengambil ponsel itu dalam tas. "Bentar, nyokap gue telepon." Listya kemudian menyelipkan ponsel pada telinganya, enggan membuka helm.
"Lis, kamu udah pulang kerja?"
"Ini mau pulang, kenapa?"
"Nah, bisa kebetulan gini ya. Jadi Mama mau minta tolong sama anak sulung Mama yang cantik."
Permintaan pertolongan memang biasanya beriringan dengan rayuan-rayuan manis. Listya hafal, Mamanya akan memujinya kalau sedang minta bantuan.
"Apa, Ma?"
"Pulangnya mampir di Toko Sejahtera dulu, ya. Tolong beli lilin angka 0 sampe 9 masing-masing sepuluh biji. Tepung terigu, mentega cair, gula putih halus, keju yang biasa Mama beli, terus vanili bubuk."
"Aduh, Ma. Gimana kalau lewat WA aja? Biar nggak lupa."
"Mama udah kirim WA juga, kok. Mama nelepon buat mastiin aja, takut kamu keburu pulang dan nggak liat hape."
"Oke deh, nanti aku mampir."
"Oke, Sayang. Mama tunggu pesanan Mama semuanya, kalau bisa pesen mantu juga."
Sambungan telepon terputus, Listya kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas. "Gue nggak langsung pulang."
"Mau ke mana?"
"Mama nitip bahan-bahan kue."
"Ya udah, nanti keburu sore. Jomlo jangan pulang sore banget, ingat kan nggak ada pelindungnya, barangkali kerut dan bocor gimana?"
"Sialan," jawab Listya. "Jadi gini, lo kan tahu gajian masih tiga hari. Gue ada duit, sih, cuma takut nggak cukup karena belanjaannya lumayan banyak."
"Ya udah berapa?" tanya Mia dengan sangat peka, membuat Listya refleks nyengir melihat Mia sudah mengeluarkan dompet. Listya memang seharusnya bersyukur memiliki sahabat sebaik Mia.
"Dua ratus. Sori nih, kalau yang ini besok langsung bayar, kok. Biasanya kalau titip sesuatu, Mama langsung ganti uangnya pas gue sampai di rumah."
"Iya gue tahu. Nih…." Mia menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu.
Kalau saja Listya tidak memiliki cicilan motor, juga mampu menahan jempolnya untuk tidak mengetik PO pada banyak novel kemudian belanja ini dan itu yang jumlahnya tidak sedikit pada awal gajian, mungkin saat ini uangnya belum ludes. Listya berjanji akan mulai berhemat dan menabung saat gajian nanti.
"Makasih ya, Mia Mallen." Listya kemudian menyimpan uang itu ke dalam dompetnya. "Tuh si Jerapah dateng, eh maaf … maksud gue Novan."
Refleks Mia langsung menoleh ke arah Novan, pria itu sudah berdiri di depan mobilnya. "Bentar ya, Sayang!" Mia setengah berteriak melambaikan tangannya pada Novan.
"Lis, mungkin kemarin kutukan gue nggak mempan. Gue harap kutukan hari ini terwujud. Gue kutuk lo ketemu jodoh hari ini. Gue namain ini kutukan jilid dua."
"Miong, gue itu mau pergi ke toko bahan kue. Otomatis di sana ada cowok dong, dan yang pasti lebih dari satu. Ada juga tukang parkir, terus sepanjang jalan pasti ketemu banyak cowok yang lagi berkendara. Menurut lo, itu jodoh gue semua? Boleh ngakak nggak sih, masa jodoh gue sebanyak itu. Gue maruk banget dong. Bisa-bisa populasi jomlo makin menjamur di Indonesia."
"Ralat, maksud gue nggak semua, tapi salah satunya jodoh lo. Catat omongan gue baik-baik, kalau lo ngobrol lebih dari lima menit sama cowok … gue kutuk dia jodoh lo. Enggak peduli siapa dia, entah itu penjaga parkir, atau penjaga kuburan sekalipun intinya ngobrol lebih dari lima menit. Terserah ngobrol apa aja."
"Lama-lama omongan lo makin ngaco, deh. Udah ah, mendingan gue jalan sekarang. Lagian itu pacar lo kasihan kelamaan nunggu, nanti jamuran. Bye, Mia Mallen," pamit Listya kemudian mulai melanjukan motornya meninggalkan Mia.