Listya baru sampai di tempat kerja, tepatnya di parkiran. Baru saja turun dari motornya, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berteriak memanggil namanya.
"Neng..., Neng Listya, tunggu!"
Sontak Listya langsung menoleh. Ternyata yang memanggil adalah atasannya, Bu Astuti. Sebenarnya nama panggilannya adalah Tuti. Namun, wanita itu menolak dipanggil Bu Tuti. Alasannya sederhana, katanya panggilan itu seolah terdengar Bu-tut. Butut itu artinya rusak atau jelek.
"Selamat pagi Bu Ti," sapa Listya. Ya, atasannya itu lebih suka dipanggil Ti.
"Mau masuk ke ruangan ya, Neng?"
Satu lagi, wanita itu kerap memanggil Listya dengan sebutan Neng. Alasannya klasik, katanya Listya jauh lebih muda. Bagi Bu Astuti, 25 tahun masih tergolong sangat muda. Terlebih penampilan fisik Listya yang masih seperti anak SMA, sehingga tidak jarang ia mendengar orang-orang tampak tidak percaya pada usia sebenarnya. Kebanyakan orang mengira Listya masih 18 tahun. Alhasil, semua karyawan lain mengikuti jejak Bu Astuti dengan memanggilnya 'Neng' kecuali sahabatnya, Mia Mallen.
Baiklah, hal itu termasuk anugerah, bukan? Tidak masalah kalau single, asal kelihatan awet muda. Listya menyemangati dirinya sendiri.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Saya mau titip ini, tolong simpan ke meja saya," jawab Bu Astuti sambil memberikan sebuah kotak kecil, ukurannya seperti tempat cincin. "Lupa, malah kebawa. Takut hilang. Saya malas balik lagi, Neng."
"Baik, ke meja Bu Ti, ya." Listya memastikan sambil menerima kotak tersebut.
"Iya, Neng. Saya mau ke pulang kampung karena Bapak saya sakit," jelas Bu Astuti.
"Iya, Bu. Hati-hati di jalan, ya. Semoga Bapaknya lekas sembuh." Tentu saja sebagai bawahan yang baik tidak salah kalau memberi perhatian, apalagi selama ini Bu Astuti adalah atasan yang baik. Jadi, meski dulu waktu masih kuliah Listya sempat berharap saat kerja akan mendapatkan bos yang seperti Dewa Yunani, tapi kenyataannya Listya malah menjadi bawahan Bu Astuti. Meski begitu, ia tidak menyesal bekerja dengan bos wanita. Apalagi Bu Astuti cukup baik, meski terkadang sedikit bawel.
Setelah Bu Astuti pamit, Listya masih berdiri menatap punggung atasannya yang mulai menjauh. Ia kemudian bergegas ke ruangan Bu Astuti untuk menyimpan kotak kecil yang entah apa isinya. Setelah menyimpan kotak itu, Listya langsung keluar dan menutup pintu ruangan Bu Astuti. Ruangan yang menghubungkan langsung dengan ruangannya. Bukan, ini bukan ruangan Listya saja, melainkan ruangan beberapa staf lain termasuk Mia Mallen.
Tidak ada sekat dan kubikel, ruangan dengan konsep open office terdiri dari meja-meja kerja yang saling berdekatan. Hal ini bertujuan memudahkan kerja sama sesama staf meski kelemahannya jadi lebih sulit berkonsentrasi dan memudahkan untuk bergosip juga. Namun, tidak masalah bagi mereka, lagi pula mereka sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan konsep ruangan seperti itu sehingga akan terasa aneh jika posisinya diganti.
Meja Listya terletak paling ujung dekat jendela. Belum ada siapa-siapa di ruangan, kemungkinan para penghuni sedang sarapan di kantin atau bahkan belum berangkat. Dari jarak kurang lebih sepuluh langkah Listya menyadari ada benda asing di mejanya. Ia kemudian mendekat dan menajamkan penglihatannya barangkali salah lihat.
Semakin dekat, semakin sampai di mejanya. Listya kemudian meletakkan tasnya lalu beralih menatap sebuah amplop berwarna putih yang di atasnya terdapat setangkai bunga mawar merah. Listya juga menyadari ada secarik kertas yang dilipat kemudian diselipkan pada bunga itu.
Hampir tiga tahun bekerja di situ, untuk pertama kalinya Listya melihat ada benda-benda aneh yang rasanya mustahil berada di mejanya. Namun, ini nyata. Ya Tuhan, Listya jadi deg-degan. Ia bahkan belum berani membuka apa tulisan di kertas, juga ragu untuk membuka amplopnya.
Tempat kerja Listya adalah koperasi milik perorangan yang tidak terlalu besar, malah bisa dibilang kecil. Stafnya pun tidak lebih dari dua puluh orang. Dan Listya sangat mengenal seluruh staf. Tidak mungkin ada pria yang mengirimnya bunga dan amplop ini terlebih seluruh staf pria tidak ada yang berstatus lajang. Ya, semuanya sudah menikah! Lalu, siapa yang mengirim semua itu? Apa salah kirim?
Listya tidak akan menemukan jawaban kalau tidak membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisannya. Dengan pelan, ia menarik kursi lalu duduk dengan masih memegangi lipatan kertas itu. Tidak ada cara lain selain membuka dan membacanya sendiri.
Seperti waktu yang dihitung mundur, tiga-dua-satu, sedikit demi sedikit kertas itu terbuka. Membuat detak jantung Listya menjadi tidak beraturan. Setelah kertas itu terbuka sepenuhnya, Listya membaca pesan dalam surat tersebut yang isinya....
"Jangan baper, cuma nitip doang. Ini bunga milik gue. Biasa, calon suami dengan sangat romantis ngasih bunga pagi-pagi." -Mia Mallen-
Sialan.
Bersamaan dengan itu, suara gelak tawa memecah ruangan yang masih sepi. Tawa itu sangat familier, siapa lagi kalau bukan Mia Mallen? Astaga, sahabatnya memang selalu punya cara untuk mengejek statusnya yang masih sendiri. Mia pun menghampiri Listya.
Sedangkan Listya baru sadar kalau di meja Mia yang tepat di sebelah mejanya, sudah terpambang hand bag Mia. Ah, kenapa Listya sampai tidak menyadari kalau Mia sudah datang lebih dulu? Apa karena ia terlalu bersemangat saat melihat benda-benda asing di mejanya?
Listya kemudian mengambil mawar yang ia tutupi map, bermaksud membuangnya ke tong sampah terdekat, tapi Mia berhasil merebut mawar itu dari tangannya.
"Eits, enak aja bunga gue mau dibuang sembarangan!"
"Makanya jangan simpan di meja gue! Sengaja banget ya lo. Menuh-menuhin meja orang aja."
Mia terkekeh, sesekali ia mencium wangi mawar merah yang kini sudah ada dalam genggamannya. "Menuhin dari Hongkong? Gue mau nyimpen galon dua biji sama papan karambol juga masih muat kali."
"Saking aja sengaja bikin gue kesel, kan? Emang kamusnya orang punya pasangan gitu ya, selalu bikin kesal single?"
"Ini salah satu cara biar lo sadar betapa indahnya dicintai, betapa hidup lebih romantis kalau punya pasangan."
"Bulshit tahu nggak. Lagian lo sering banget bilang supaya gue sadar. Harus berapa kali gue jawab kalau gue nggak pingsan!"
Tanduk Mia sudah muncul seperempat kalau Listya sudah mulai ngeyel dan mendebat setiap ucapannya. Padahal, tujuan Mia hanyalah agar Listya mengerti bahwa tidak selamanya ia akan hidup sendiri.
"Mingkem kan lo, Miong!" ucap Listya meninggikan nada bicaranya. "Nih, nih, nih ... amplopnya sekalian, pasti isinya surat lebay dari si Jerapah itu!"
"Please deh, lo kenapa selalu manggil cowok gue dengan sebutan jerapah, sih?" protes Mia kesal. "Tapi abaikan masalah jerapah, yang lebih penting adalah amplop. Sebenarnya itu amplop emang buat lo."
"What? Kenapa buat gue?"
"Iya. Lis. Buat lo," jawab Mia sambil mengerlingkan mata.
"Gue mau minimal lima ratus ribu isinya. Kalau nggak, ogah banget gue nerimanya."
"Lis, lo itu satu-satunya jomlo mata duitan yang gue kenal. Serius deh, isinya lebih penting dari duit, spesial pakai telor kambing!"
"Apaan sih?" Listya kemudian berusaha membuka amplop itu. Ternyata foto pria. Listya rasa dirinya tidak mungkin mengenal pria dalam foto itu. Ia bahkan tidak berminat memperhatikannya secara intens, hanya melihat foto yang paling atas.
"Ini foto siapa?"
"Jadi tadi malam gue minta Novan buat cetak foto teman-temannya yang masih single."
"Buat apa, Miong?"
"Yakali buat PDKT sama lo. Lo, kan, katanya banyak banget undangan. Siapa tahu salah satu dari mereka mau nemenin lo kondangan. Lebih bagus kalau bergilir."
"Astaga, Enggak!" jawab Listya tegas. Ia bahkan setengah membanting foto itu di meja.
"Lihat dulu dong, soalnya ganteng semua. Perutnya kotak-kotak tahu. Anu-nya juga gede loh."
"Sinting lo! Anu apa? Pikiran lo itu parah banget, ya."
"Lo yang ngeres, Lis. Anu itu maksud gue dompetnya yang gede, isinya banyak, saldo ATM-nya juga tumpah-tumpah. Kurang apa lagi?"
"Pokoknya gue nggak mau! Lagian gantengan juga Park Seo-Joon. Oh ya, tadi lo bilang ini foto teman-temannya Novan. Memangnya Novan itu siapa, sih?"
"Sumpah lo jahat banget nggak tahu Novan yang gantengnya luar biasa. Dia calon suami gue, Lis. Pakai acara pura-pura amnesia segala ya lo."
"Oh, jadi Novan itu pacar lo? Si Jerapah itu?"
"Mulut lo tuh ya, gue nggak mau lo manggil jerapah lagi ke Novan!"
Listya malah terkekeh.
Mia lalu berkata lagi, "Lo simpan tiga foto itu, kali aja minat tinggal chat."
"Kenapa jadi kaya online shop? Minat, chat!"
"Serius ih, lo tinggal chat aja. Ada kontaknya di belakang foto, Lis. Lihat coba!"
Refleks Listya membalik salah satu dari foto-foto itu.
Adam Rich
Jakarta, 29 Februari 1988
Hobi : Membahagiakan Wanita
Tinggi 183 senti meter
Sudah kaya dan kece dari lahir
Pewaris tunggal The Rich Company
Ada pertanyaan hubungi Adamrich.kayaraya-kecebadai@gmail.com
Minat? Chat aja!
Listya langsung tercengang saat melihat identitas Adam Rich, Apa data itu real? Astaga, baru melihat kontak pria yang fotonya berada di paling atas saja sudah membuat Listya malas. Ini pasti pembohongan publik!
Tanpa berminat melihat kontak lainnya, Listya langsung menyimpan foto-foto itu tepat di meja Mia. "Gue nggak butuh!"
"Lis … simpan dulu, gih. Barangkali pas di rumah lo berubah pikiran."
"No!" tolak Listya.
"Udah jangan gengsi." Mia kemudian bangkit dari kursinya. "Gue simpan di tas lo, ya," lanjutnya sambil memasukkan foto-foto itu ke tas Listya.
Tentu Listya tidak bisa menolak karena tasnya sudah diambil dan kini ada pada genggaman Mia.
"Sekarang nggak apa-apa abaikan aja fotonya, nanti sampai rumah kalau berubah pikiran baru buka. Oke?" Mia pun meletakkan kembali tas itu di meja Listya.
"Bodo amat lo nyimpen foto-foto itu di tas gue, Miong. Enggak bakal gue buka dan lihat. Enggak penting!"
"Oh ya?" tanya Mia dengan nada meledek.
"Aduh … Mia sama Neng pagi-pagi udah berisik aja, sih. Saya jadi nggak bisa konsen nih," gerutu Anggun dengan layar monitor yang sudah menyala. Listya dan Mia terlalu sibuk membahas foto-foto teman Novan sehingga tidak sadar sudah ada karyawan lain yang datang.
"Lo sih ngeyel aja. Mbak Anggun jadi ngomel, kan?" bisik Listya pada Mia.
"Gue rasa lo yang ngomongnya ngotot, Lis. Dari tadi gue kalem aja. Lagian kenapa Mbak Anggun tiba-tiba udah datang aja, ya?"
"Mana gue tahu," balas Listya yang sekaligus mengakhiri pembicaraan mereka.