Suara hujan masih menghantam atap kaca pub yang mulai sepi. Musik jazz pelan telah berganti menjadi alunan cello, menciptakan suasana yang hampir hening. Di sudut ruangan itu, dua gelas kosong kini telah menjadi empat. Adrian masih duduk di depan Alexandra. Waktu seolah ragu menyela, membiarkan keduanya larut dalam percakapan dan diam yang tidak membuat jengah.
"Sejak kapan kau suka bourbon?" Alex memecah keheningan, matanya tertuju pada gelas di tangannya, jari-jarinya yang ramping memutar pelan minuman itu. Seolah sedang membaca nasib dari warna amber yang berkilau.
"Sejak aku tahu whisky bisa lebih jujur daripada manusia," jawab Adrian, suaranya rendah dan tenang. Ia memainkan cincin kecil di jarinya—bukan simbol ikatan, melainkan peninggalan yang terus mengikatnya pada masa lalu.
Tawa kecil keluar dari bibir Alex. Bukan tawa bahagia, lebih seperti pelepasan napas lelah yang dibungkus dalam bunyi.
"Kau suka menyembunyikan kepedihan dalam kalimat tenang. Seperti seseorang yang tak ingin dikasihani."
"Kau kira aku pantas dikasihani?"
Tatapan Alex terangkat. "Semua orang pantas dikasihani. Hanya saja, sebagian dari kita memilih menutupinya dengan parfum mahal dan senyum yang tidak menyentuh mata."
Untuk sesaat, tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya detak waktu dan suara hujan. Lalu Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit, bukan karena ingin mendekat, tetapi karena kalimat Alex barusan terasa seperti pecahan cermin yang menyentuh luka lamanya.
"Kau bicara seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak hal."
Alex tak langsung menjawab. Ia mengangkat gelasnya, menatap cairan di dalamnya sebelum meneguk perlahan. "Siapa yang tidak?"
"Kau tahu maksudku."
Tatapan mereka bertemu, lama, diam-diam mengukur kedalaman yang bahkan mereka sendiri belum sanggup selami.
"Aku bahkan tak yakin aku ini siapa," ucap Alex, hampir seperti gumaman. Suaranya terdengar jauh, seakan berkata kepada dirinya sendiri, bukan pada Adrian.
Adrian meresapi kata-kata itu. Ia mengenali rasa itu—ketika identitas menjadi topeng yang begitu lama dipakai hingga wajah asli pun terlupakan.
"Kau masih punya nama."
Alex menoleh padanya. "Nama tidak membuat seseorang utuh."
Kali ini, Adrian yang terdiam.
Waktu kembali berjalan, ditandai oleh Alex yang perlahan berdiri, mengambil mantel hitam dari sandaran kursi. "Terima kasih untuk malam ini."
Adrian ikut berdiri. "Apa aku akan melihatmu lagi?"
Alex mengulas senyum tipis. "Jika dunia cukup kejam untuk mempertemukan kita dua kali."
Ia melangkah pergi, tubuhnya menghilang dalam bayangan pintu. Payung hitam membentang di atas kepalanya saat ia menyatu kembali dengan hujan yang belum berhenti.
Adrian tetap berdiri, tidak mengejar.
Tapi hatinya... tertinggal di meja itu, bersama sepasang mata yang menyimpan begitu banyak luka, dan nama yang akhirnya ia tahu artinya: pengalih, penyamar, pelarian.
***
Langit di luar jendela apartemen Adrian berubah dari kelabu menjadi hampir hitam. Angin membawa aroma tanah basah dan lampu kota yang mulai menyalakan cahayanya satu per satu. Adrian berdiri di balkon, memandangi Manhattan dari lantai atas.
Di tangannya, layar tablet menyala terang. Di sana terpampang wajah yang tak asing—perempuan dengan mata yang tak pernah benar-benar tersenyum.
"CEO Muda Alexandra Phillips Resmi Mengambil Alih Perusahaan Ayahnya."
Gelar, jabatan, dan sejarah keluarga dijabarkan panjang lebar di bawah foto itu. Tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mencerminkan perempuan yang duduk bersamanya di pub tempo hari. Perempuan itu tidak tersenyum seperti di foto. Seakan perempuan yang ia temui dan perempuan yang ada di foto tesebut adalah dua orang yang berbeda.
Adrian menutup layar. Ada dorongan aneh di dalam dadanya—bukan hanya penasaran. Tapi semacam ikatan yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang menuntut untuk dilihat lebih dalam.
Ia mengambil ponsel dan menelepon seseorang yang ia tahu bisa dipercaya: Henry.
"Cari semua tentang Alexandra Phillips. Lengkap. Secepatnya."
"Maksud anda, Alexandra Phillips Perwakilan Phillips & Co.?"
"Ya. Dan jangan beri tahu Sebastian."
Tidak butuh waktu lama bagi Henry untuk kembali dengan dokumen dan laporan digital.
Anak tunggal Charles Phillips.
Ibunya bunuh diri di apartemen mereka saat Alex berusia tiga belas tahun.
Memulai bisnis sebagai konsultan investasi kecil, lalu mewarisi kerajaan ayahnya di usia dua puluh dua.
Tidak pernah terlihat di publik bersama pasangan. Tidak ada skandal. Tidak ada rumor.
Hidupnya seperti file yang terlalu rapi untuk orang yang seharusnya memiliki luka.
Adrian meletakkan berkas itu di meja. Pandangannya kosong. Ia tidak tahu apakah informasi itu menjawab pertanyaannya... atau justru membuka lebih banyak pertanyaan.
***
Hari-hari berlalu. Pertemuan bisnis kembali menyita waktunya. Kali ini bersama Sebastian, seperti biasa, penuh ketegangan yang tersamar di balik formalitas.
Di ruang konferensi kaca di lantai delapan, Sebastian tengah berbicara panjang lebar tentang ekspansi distrik Soho—sebuah proyek besar yang melibatkan beberapa perusahaan investasi, termasuk Phillips & Co.
Pintu ruang rapat terbuka.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar menapaki lantai kayu. Henry masuk terlebih dulu, membukakan jalan bagi seorang wanita di belakangnya.
"Ini perwakilan dari Phillips & Co. yang akan membahas draft kerja sama," ujar Henry.
Adrian membeku bahkan sebelum sempat menoleh.
Dan ketika akhirnya ia mengangkat pandangannya, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Perempuan itu berdiri di sana, mengenakan blazer hitam dan celana panjang high-waist dengan sepatu hak minimalis. Rambutnya digulung rapi, dan ekspresi wajahnya... kosong.
"Senang bertemu Anda, Miss...?" tanya Sebastian, berdiri sambil mengulurkan tangan.
Perempuan itu membalas dengan senyum tipis dan nada yang tidak menyisakan celah untuk emosi.
"Alexandra Phillips."
Tatapan mereka bertemu sejenak.
Singkat.
Namun cukup untuk membakar seluruh sisa napas di paru-paru Adrian.