Bab Dua: Perempuan Bernama Luka

458 Words
Sore hari. Udara di sekitar pub kecil di pinggiran Soho beraroma hujan dan asap rokok yang samar. Lampu-lampu jalan baru saja menyala, memberi pantulan hangat pada jalanan basah. Di sinilah tempatnya: The Copper Oak, sebuah pub kecil yang tidak terlalu ramai, tapi cukup nyaman untuk larut dalam kebisingan tanpa dikenal siapa pun. Adrian masuk ke dalam dengan langkah tenang. Topi rajut dan scarf menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak ingin dikenali. Menjadi seorang McAllen selalu berarti hidup dalam sorotan. Ia duduk di kursi bar, memesan satu gelas bourbon. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, membuat suasana semakin sendu. Dan di sanalah dia melihatnya. Perempuan itu duduk di pojok ruangan, ditemani segelas red wine dan ekspresi kosong. Rambutnya panjang terurai, hitam dengan kilau merah marun di ujungnya. Mata yang tajam namun redup, seolah menyimpan sesuatu yang tak seorang pun mampu mengerti. Alexandra Phillips. Bukan nama yang ia ketahui saat itu, tentu. Baginya, perempuan itu hanyalah "dia yang tenggelam di antara cahaya bar." Tanpa alasan yang jelas, Adrian merasa tertarik. Ada sesuatu pada sosok perempuan itu yang terasa familiar. Bukan wajahnya—karena jelas ia belum pernah melihatnya. Tapi luka di matanya, itu... terasa seperti cermin. Ia mendekat, berdiri di samping meja perempuan itu. "Mind if I sit here?" tanyanya ringan. Alex menoleh sebentar. Tatapannya tajam, tapi tak ada penolakan. "Asal kau bukan pemabuk cerewet, silakan saja," jawabnya, datar. Adrian tertawa kecil. Ia menarik kursi dan duduk. Tidak ada perkenalan. Tidak ada basa-basi. Mereka hanya duduk, dalam diam, ditemani dua minuman dan alunan piano dari sudut ruangan. "Aku suka tempat ini," ucap Adrian akhirnya. "Karena kau bisa menyembunyikan siapa dirimu?" balas Alex dengan senyum setengah mengejek. Adrian menoleh, sedikit terkejut. "Apa aku terlihat seperti orang yang menyembunyikan sesuatu?" Alex menatapnya dalam, lalu mengangkat bahu. "Semua orang di tempat ini menyembunyikan sesuatu. Kau bukan pengecualian." Adrian tidak menjawab. Perempuan itu benar. Tapi dia juga tahu, seseorang tidak bisa berkata begitu jika dia sendiri tidak terbiasa menyembunyikan banyak hal. Dari situ, obrolan mulai mengalir—pelan tapi pasti. Tentang musik, tentang kenapa seseorang memilih duduk sendiri di bar, tentang hidup yang tidak selalu seperti yang terlihat di luar. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Adrian merasa menjadi dirinya sendiri. Bukan Adrian McAllen. Bukan anak bungsu keluarga penguasa. Hanya pria biasa yang tenggelam dalam percakapan dengan perempuan asing. Mereka tidak bertukar nama. Tidak perlu. Karena terkadang, misteri adalah candu yang paling manis. Tapi takdir tidak membiarkan sesuatu tetap tersembunyi selamanya. Karena besok pagi, saat Adrian membuka koran digital sambil menikmati kopinya, sebuah foto mengejutkannya. Wajah perempuan itu terpampang jelas di layar tablet-nya, dengan headline besar: "CEO Muda Alexandra Phillips Resmi Mengambil Alih Perusahaan Ayahnya." Adrian membeku. Dan untuk pertama kalinya, sebuah nama yang baru ia kenal semalam... mulai mengubah hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD