Eve membuka matanya. Menatap langit-langit, dinding, dan kain yang serba putih. Satu yang Eve dapat: rumah sakit. Tapi, rasanya bagai seribu yang Eve cemaskan. “Anak aku?” Eve meraba-raba perutnya. Masih buncit, sedikit lega tapi kilasan tetes darah itu terngiang menakutkan. Akhirnya Eve menuntut jawaban kepada sosok Willis yang duduk di sisi ranjang. “Aku nangis tadi.” Willis mengadu. Eve panik. Kenapa Willis nangis? Tapi telapak tangan besar Willis mengusap sayang sisi wajah Eve diiringi senyum menenangkan. “Aku pikir hal buruk terjadi sama kalian. Tahu segimana paniknya aku?” Willis beralih menuju tangan Eve, mengusapnya dan membawanya ke bibir. Willis kecup sekali. “Aku sempet berpikir buat mati konyol aja, kalau-kalau kalian pergi.” Eve terdiam. Willis lebay. “Abisnya, suami mana