Ikut Arus

1063 Words
Pikiran Edelweis sangat penuh. Jadi dia memutuskan untuk pulang ke rumah kakaknya lagi. Dia ingin menjernihkan pikiran dan mengobrol dengan kakaknya. Syifa sama sekali tak pernah keberatan menerima Edelweis menginap. Dia senang karena adik iparnya tidak canggung. Dia memang berharap bisa dekat dengan Edelweis, seperti adik kandung sendiri.  "Mbak, aku menginap ya," kata Edelweis meminta izin. "Tentu saja boleh. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," jawab Syifa. "Mana? Tadi tertutup. Aku harus mengetuk pintu," goda Edelweis. Syifa menatap geli pada Edelweis. "Iyalah, udah malam. Kamu pikir jam berapa ini?" kata Syifa dengan nada geli.  Edelweis hanya cengengesan. "Mas, di mana Mbak?"  "Masih keluar sebentar sama Amrita. Beli martabak. Kamu mandi dulu aja, biar kecutnya hilang," saran Syifa. Edelweis mengendus ketiaknya. "Nggak kok. Masih wangi, kan pakai deodoran." Syifa menatap sebal pada Edelweis. "Mandi sendiri atau kumandiin?" Edelweis langsung beranjak ke kamar mandi.  Syifa hanya geleng-geleng kepala.  Setengah jam kemudian, Galih dan Amrita pulang. Begitu melihat sepeda motor Edelweis yang terparkis di halaman, Amrita bersorak girang. "Asyik, ada tante di sini,"jerit Amrita. "Cuci kaki dulu Ta," kata Galih yang sudah berada di dekat keran air di depan rumah.  "Kenapa harus cuci kaki sih Yah? Kaki Amrita bersih lho. Kan pakai sandal," kata Amrita dengan eksresi cemberut.  "Biar kuman-kuman yang menempel di tangan dan kaki nggak ada yang masuk rumah. Memangnya kuman bisa dilihat dengan mata?" tanya Galih. "Dengan mikroskop ya Yah?"  "Iya dengan alat itu. Cepat sini, cuci tangan dan kaki. Pakai sabun ya," pesan Galih kemudian menunggu di teras. Amrita segera mencuci tangan dan kakinya. Menggosok seluruh permukaan kedua jari tangannya, seperti yang diajarkan di sekolah. Dia mencuci sambil menyanyi.  "Amrita, nanti martabaknya dingin," kata Galih mengingatkan. Dia sering heran dengan anaknya. Kalau disuruh cuci tangan dan kaki itu malas, padahal kalau sudah tersentuh air, dia malah asyik main air.  Amrita menutup keran, dia berbalik memandang ayahnya dengan senyum. Dan berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti Galih. "Wah, mana nih martabaknya?" tanya Edelweis di ruang tengah begitu melihat Galih. "Tante..." seru Amrita berhambur ke pelukan Edelweis. "Hai, anak cantik," kata Edelweis membalas pelukan keponakannya. "Tante, menginap kan? Tidur sama Amrita lagi ya?" pinta Amrita. "Iya, nanti kita baca dongeng lagi ya?" "Hore...!" "Hai Del," sapa Galih.  "Hai big bro..." Galih menyerahkan martabak pada Syifa dan duduk di sebelah Edelweis. Sedangkan Amrita mengikuti ibunya ke dapur mengambil piring.  "Ada masalah?" tanya Galih melihat ekspresi tidak menyenangkan di wajah adiknya. "Ini dan itu," jawan Edelweis. "Perlu bantuan?" tanya Galih. "Aku heran aja, kenapa berita soal pencemaran bisa tergeser dengan mudahnya dan sepertinya dilupakan begitu," kata Edelweis kesal.  Galih memahami betapa seringnya Edelweis emosional yang berlebihan terhadap kasus yang dia kenal.  "Terus mau kamu apa?"  "Yah harusnya kasus itu diusut tuntas. Bukan berbalik arah ke berita walikota," kata Edelweis. "Kan katanya kamu lagi dekat dengan Pak Walikota," sindir Galih. "Mas Galih juga dengar? Ya ampun, nggak tahu deh. Uh pasti semua jurnalis juga sudah mendengar. Ishh, malu aku sumpah." Galih terkekeh. "Tenang donk Del. Banyak yang bilang ini hanya pengalihan isu." "Pengalihan isu? Cuk ah. Karena mereka nggak ngalamin sih!" "Walikota tidak melakukan hal aneh kan? Maksudku tindakan pelecehan atau..." Edelweis langsung memotong. "Nggak. Dia nggak melakukan itu. Hanya ajakan makan siang. Dan obrolan ringan. Aku juga ngajak Hanif tadi." Galih lega. "Baguslah. Tinjuku masih kusimpan." "Tinju apaan. Mas," Edelweis tertawa," Sok jagoan." "Jagoan membela yang lemah," kata Galih.  Amrita membawa piring berisi martabak dan meletakkan di meja. Sedangkan Syifa membuatkan jus jambu untuk mereka semua.  "Di sini memang yang terbaik," kata Edelweis melihat camilan tersaji di meja. "Lha kamu disuruh tinggal di sini tidak mau," kata Syifa masuk membawa seteko jus dan empat gelas.  "Yah enakan kos. Kadang aku pulang malam, lembur dan sebagainya, kasihan Mbak Syifa kalau menuruti jam pulangku." "Kalau tinggal di sini, makan tinggal makan, nggak perlu repot," balas Syifa.  Galih menyela perdebatan kecil mereka. "Ayo kita serbu martabaknya!" Amrita dengan antusias mengambil satu potong. Begitu juga yang lainnya. Mereka asyik menikmati martabak dan jus jambu, tanpa membahas soal kos Edelweis lagi.  *** Amrita dan Syifa pamit tidur duluan. Amrita cemberut ketika Edelweis tidak menepati janjinya untuk mendongeng. Namun Syifa membujuknya untuk segera tidur, sebab besok sekolah. Edelweis meminta maaf, sebab harus mengobrol dengan Galih.  Syifa dengan hati lapang, menggantikan Edelweis untuk mendongeng di kamar anaknya. Setelah anaknya tidur, dia juga pindah ke kamar utama untuk tidur. Dia tidak sanggup kalau harus menemani kakak adik itu mengobrol. Mereka sering mengobrol sampai larut malam. Dia tidak mau kesiangan besoknya.  "Kamu nggak perlu pusing-pusing, kasus itu tetap dilanjutkan kok," kata Galih menenangkan. "Tetapi kan publik harusnya ikut mengawal," kata Edelweis teguh. Galih tersenyum. "Sayangnya tidak berjalan sesuai keinginanmu kan? Karena kamu berjuang sendiri. Masyarakat yang tidak berpekepentingan juga lelah kalau harus mengikuti berita itu. Mereka butuh hiburan." "Walikota ganteng. Dia narsis banget," kata Edelweis.  "Kamu naksir ya?"  Edelweis merengut karena Galih meledeknya.  "Ini gimanaa?" tanya Edelweis. "Aku butuh saran." "Kantormu gimana?" "Mereka mengikuti arus lah. Katanya pabrik itu juga sudah menyewa buzer, atau apalah itu." Galih mengangguk. "Saranku, kamu tetap ikuti keputusan kantor." "Mas!" seru Edelweis. "Memangnya apalagi? Kamu mau bergerak sendiri? Kamu bisa apa?" "Buat petisi atau semacamnya," jawab Edelweis asal. "Seberapa siap kamu menghadapi risikonya? Kantormu pasti lepas tangan." "Mas nggak mau dukung aku?" "Aku selalu cita-citamu. Tetapi tetap saja, harus rasional. Aku ini pns, harus mengikuti keputusan pemerintah. Belum lagi, menurutku pabrik itu selain menyewa buzer. Mereka pasti sudah memiliki rencana untuk menyelesaikan kasus ini. Mereka juga rugi lho." "Tapi tetap saja, lebih baik cari aman. Kamu nggak akan siap kalau tiba-tiba ada ornag dari pabrik mencarimu ke rumah sini atau kos kan? Mereka akan menanyakan setiap tindakanmu, kalau kamu bergerak tanpa izin kantor. Apa kamu nggak takut?" Edelweis terdiam. Dia tidak pernah memikirkan dari sisi itu. "Jujur aku bingung. Aku ingin jadi jurnalis karena untuk mengungkap kebenaran. Tetapi kenyataannya, semua harus izin kantor." "Yang melindungimu siapa nanti? Pekerjaan ini memang banyak risikonya. Kan kamu yang memilih." "Awan dan Hanif juga. Mereka lebih memilih ikut apa kantor. Tidak ada gitu yang membela rakyat terdampak?" Galih membuka ponselnya, berseluncur di internet.  "Ada nih, situs media yang masih konsisten mengawal kasus itu. Tanpa terdistraksi oleh walikota ganteng." "Oh ya? Mana?" "Nih.." Galih menyodokan ponselnya. "Media itu memang terkenal unik. Dia bergerak berbeda dengan media lainnya. Tanpa klik bait, tanpa mengulas berita tidak penting seperti walikota ganteng. Kolom berita menariknya, diisi dengan budaya, seni, sejarah, atau resensi film." "Iya ya, kok aku baru tahu..."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD