Banyu Mili

1032 Words
Nama media itu Banyu Mili. Sebuah media online yang bergerak secara independen. Edelweis sangat tertarik dengan media itu. Semalaman dia tidak bisa tidur. Dia sibuk membaca berita-berita kelas tinggi yang disajikan oleh situs itu.  "Gila, gila, gila. Ini media keren!" Puji Edelweis yang entah sudah berapa kali.  Saking antusiasnya, dia menelpon seniornya, Hanif.  "Kau nggak punya jam?" tanya Hanif di telepon. "Eh, jam?" Edelweis meilirik jam dinding. Dia tersenyum kaku. "Maaf ternyata sudah malam ya?" Tut tut tut. Telepon langsung ditutup. Edelweis merasa tidak enak hati. Dia tahu Hanif tidak marah, namun dia sedikit khawatir reaksi istrinya Hanif. Apa mereka akan bertengkar gegara dirinya? Duh Edelweis malah banyak memikirkan hal lain. Dia baru bangun ketika Syifa membuka tirai. Sinar matahari menusuk mata Edelweis.  "Hmm, jam berapa Mbak?" "Jam tujuh. Kamu tidur atau pingsan, dibangunin dari subuh nggak berhasil," gerutu Syifa.  "Aku baru tidur jam empat Mbak, banyak hal yang harus dipikirkan." Syifa menatap iba pada adik iparnya. "Kamu nggak mau nyoba jadi guru saja, Del?" "Jadi guru?" tanya Edelweis tak percaya. "Iya, beban kerjanya tidak seberat jurnalis," kata Syifa.  "Tapi laporannya segunung. Sama saja sih. Setiap pekerjaan pasti ada risikonya. Tinggal kita bisa meminimalisir risiko tersebut saja," kata Edelweis. "Aku nggak apa kok Mbak. Jangan khawatir ya," pinta Edelweis. "Gimana nggak khawatir. Dulu temannya temanku, ada yang meninggal ketika menjadi jurnalis. Kematiannya janggal. Tetapi tidak ada yang berani mengusut," kata Syifa. "Ah Mbak, nakutin aja. Doain aja Edel ya. Supaya selalu sehat dan aman," kata Edelweis.  "Jangan melakukan hal yang berbahaya ya Del. Ambil liputan yang aman-aman saja," saran Syifa. "Siap Mbak," jawab Edelweis. "Oh iya, kamu sudah pernah ketemu sama Walikota ya? Orangnya beneran ganteng seperti di televisi nggak sih? Edelweis memutar bola matanya. "Naksir?" "Buat cuci mata aja Del. Kamu kayak nggak tahu ibu-ibu aja," bantah Syifa.  Edelweis terus menggoda kakak iparnya. Bahkan pura-pura mengancam akan melaporkan pada Galih. Syifa sampai mencubit Edelweis karena dia kesal dipermainkan adiknya.  Drrrt! Drrrt! Ponsel Edelweis bergetar.  "Siapa ya?" sapa Edelweis. Sepagi ini siapa yang menelponnya tanpa nama. "Selamat pagi Mbak Edelweis, ini Edgar." Edelweis terperanjat. "Ya, ada apa Pak?" tanya Edelweis. Syifa bertanya dengan mimik mulutnya bergerak 'siapa'. Edelweis hanya tersenyum dan meminta izin menelpon di luar. "Malam ini ada acara?" tanya Edgar. "Sepertinya ada Pak," jawab Edelweis berbohong. "Wah sayang sekali, padahal saya ingin mengajak Mbak Edelweis untuk menemani saya. Nanti malam ada jurnalis dari Banyu Mili  mau mewancarai saya," kata Edgar. "Banyu mili, situs berita yang oke itu?" suara Edelweis terdengar riang.  "Kebetulan saya punya teman di sana. Dan mereka mengirim salah satu jurnalisnya untuk mewancarai saya." "Soal apa Pak?" "Belum tahu. Bagaimana tertarik?" "Lihat nanti ya Pak." *** Edelweis merasa canggung ketika bertemu Hanif. Namun Hanif sama sekali tidak begitu. Dia masih bersikap biasa saja. Dia duduk di meja kubikelnya. Sedangkan Kubikel Hanif ada di belakang mejanya.  "Istrimu nggak marah kan?" tanya Edelweis hati-hati.  "Marah kenapa?" "Aku telepon malam-malam." "Oh, enggak kok," jawab Hanif.  Editor yang duduk di sebelah Edelweis menyaut percakapan tersebut.  "Istrinya lagi mudik Del. Mau melahirkan," kata editor.  "Wah mau punya anak lagi Nif?" goda Edelweis. "Hooh. Bapak dua anak sekarang," jawabnya riang. "Bapak muda yang keren. Beda sama kamu." "Aku kenapa?" tanya Edelweis. "Jomblo sejati," ejek Hanif. Edelweis manyun.  Hanif dan editor yang mendengar tertawa melihat reaksi Edelweis. "Bro, tahu Banyu Mili?" "Tahu. Kenapa? Tadi malam kamu juga tanya hal itu kan?" Edelweis meletakkan tasnya, dan merapatkan kursinya ke meja Hanif. "Aku semalam baca beritanya. Keren-keren." "Hari ini ada jurnalis Banyu Mili yang ke mari," kata Hanif. "Acara apa?" "Minta mereka nemenin untuk wawancara Walikota." Edelweis langsung menyambar. "Apakah mereka juga akan menanyangkan sosok kegantengan wali kota?" Edelweis langsung merasa muak.  "Enggak lah. Buat apa mereka meliput itu? Pasti mereka akan meliput kebijakan walikota terhadap pencemaran pabrik Pelangi." "Siapa yang akan datang?" "Awan lah. Dia yang punya kuasa penuh." "Aku boleh ikut nggak ya?" Hanif menunjuk ruangan Awan. "Tanya sendiri sana." Edelweis akan melakukannya.  *** Edgar sangat senang ketika melihat Edelweis datang ke rumahnya. Meskipun mereka dalam suasana resmi, Edgar merasa Edelweis memberikan kesempatan untuk mendekatinya.  Edgar menatap Edelweis dari ujung kaki sampai kepala. Edelweis memakai celana levis panjang, dipadu dengan blouse putih yang simple. Rambut panjangnya digelung cantik. Edgar bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.  Sejak pertama bertemu, dia tahu, gadis itu mencuri perhatian dan juga hatinya. Sayangnya gadis itu sangat keras, dan susah didekati. Meskipun terlihat ramah, namun dia dingin bila sudah bicara kehidupan pribadinya. Edgat sangat iri melihat Edelweis bisa berbicara sesukanya dengan rekan kerjanya. Berbeda saat bicara dengan Edgar, Edelweis selalu bersikap sopan. Namun terkesan dingin.  Edgar ingin mengupas selapis demi selapis pertahanan Edelweis. Dia ingin mengetahui semua tentang Edelweis. "Selamat malam Pak," sapa Oliver pada Edgar.  Oliver sampai harus mengulang salamnya karena perhatian Edgar teralihkan. "Oh ya, selamat malam. Kamu yang dari Banyu Mili itu ya? Masih muda ternyata," kata Edgar. "Lebih canggih Pak Edgar, masih muda sudah jadi walikota," puji Oliver. "Ah itu tim sukses saya yang berhasil," kata Edgar ramah. Oliver tertawa kecil.  "Saya sekilas membaca situs Banyu Mili. Karakteristiknya beda dengan media online lainnya. Biasanya media online itu kan mengejar kecepatan informasi kepada pembaca. Sehingga isi beritanya hanya beberapa kalimat pokok saja. Tetapi Banyu Mili tidak demikian," kata Edgar. "Benar Pak. Banyu Mili memang tidak selalu mengejar kecepatan. Tetapi lebih menonjolkan data, dan dengan tutur bahasa yang baik. Mirip-mirip cetak lah," kata Oliver.  "Mas sudah lama di Banyu Mili?" tanya Edgar. "Belum Pak, saya masih tergolong baru," kata Oliver merendah.  "Bohong itu Pak Edgar, Mas Oliver ini meski muda, tetapi pengalamannya banyak. Bahkan sudah sering meliput di luar nergei," kata Awan.  "Ah itu berita bohong. Saya hanya jalan-jalan saja, liburan di sana." Edelweis langsung mengetik nama Oliver dan Banyu Mili. Oliver memang pernah mendapat beasiswa liputan di Inggris untuk isu lingkungan. Dan sekarang Edelweis yakin Oliver juga akan mececar Edgar terkait kasus pencemaran yang ada di kota ini.  Ketika Edelweis menatap mereka, Edgar jga sedang melihat ke arahnya. Edgar tersenyum manis, sampai orang-orang di sekitarnya paham, termasuk Oliver yang juga menoleh pada Edelweis. Edelweis meronta dalam hati. Ngapain sih orang itu! "Ngomong-ngomong kita akan membahas soal apa Mas Oliver?" tanya Edgar. "Tentang kebijakan Walikota terkait kasus pencemaran di Pabrik pelangi." Edelweis yakin senyum Edgar berubah kecut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD