Sesi wawancara berlangsung lancar. Edelweis tidak menyangka bahwa walikota bisa menjawab dengan lancar. Oliver pun tampak puas dengan hasil wawancara tersebut. Tetapi Edelweis tetap tak nyaman. Dia merasa tatapan Edgar terus mengarah padanya.
Padahal dia datang kemari bukan karena Edgar, melainkan ingin berbincang dengan jurnalis Banyu Mili, Oliver.
Para tamu diminta untuk menuju ruang makan, Edgar telah menyiapkan jamuan khusus. Mereka semua tanpa menolak untuk hadir. Awalnya Oliver ingin menolak, namun Edgar memaksa.
"Mas Oliver, jangan anggap jamuan saya ini sebagai sogokan. Tolong dianggap sebagai keramahan warga kota," kata Edgar.
Oliver tertawa. Hadirin yang ada di ruangan itu juga tertawa. Edelweis memaksa tersenyum.
Edelweis menanti kesempatan bisa bicara dengan Oliver. Dia bahkan sudah membujuk Awan untuk bisa datang ke sini. Jadi tidak boleh di sia-siakan kesempatannya.
"Mas, aku ke sana ya," kata Edelweis berpamitan dengan Awan.
"Jangan jauh-jauh. Terus ilang, ntar aku dicariin bapakmu," tegur Awan.
Edelweis menyeringai. Dia segera menyelinap mencari di mana Oliver duduk.
"Mas, boleh duduk di sini?" Tanya Edelweis bertanya pada Oliver yang sedang makan.
"Silahkan," kata Oliver.
"Mas, saya Edelweis. Dari tv lokal," kata Edelweis memperkenalkan diri. Dia bertukar kartu nama dengan Oliver.
"Jurnalis juga? Saya kira asisten walikota tadi," kata Oliver.
Edelweis tersenyum ganjil. "Bukan kok. Saya jurnalis," kata Edelweis.
Oliver hanya mengangguk.
"Kamu ikutan liputan pencemaran pabrik pelangi?" Tanya Oliver.
Edelweis menggigit jari. "Ehmm tidak mas. Beda kebijakan," kata Edelweis.
"Ooh. Sayang sekali ya."
"Boleh bergabung?" Tanya seorang lelaki di belakang Edelweis duduk.
Begitu Edelweis menoleh, yang berdiri di sana adalah Walikota.
Edelweis mengumpat dalam hati.
"Sepertinya obrolan seru," kata Edgar langsung bergabung tanpa disuruh. Seolah-olah dia sangat diharapkan. Padahal Edelweis berharap sebaliknya.
"Mbak Edelweis ini jurnalis dari Tv Lokal, dia jrunalis yang berbakat," puji Edgar.
Oliver milirik Edelweis.
"Ah itu bohong, saya ini pemula. Belum layak untuk ikut tes kerjurnalisan," kata Edelweis merendah.
Oliver berdeham. Dia menyadari bahwa walikota sepertinya memiliki hubungan spesial dengan Edelweis.
"Mbak Edel, pernah baca Banyu Mili?" tanya Oliver.
"Semalam saya baca. Saya sangat menyukainya. Gaya cerianya, pilihan berita yang ditayangkan," kata Edelweis menggebu-gebu.
Oliver tertawa kecil. "Tertarik bergabung dengan Banyu Mili?" tanya Oliver.
Edelweis menjawab malu-malu. "Saya belum pede Mas. Masih belum layak," kata Edelweis.
"Tetapi kantornya bukan di kota ini ya, Banyu Mili? Apakah para jurnalisnya harus pindah ke sana atau bagaimana?" tanya Edgar.
"Kantornya memang di Jakarta. Tetapi kami juga merekrut jurnalis daerah," jawab Oliver.
"Oh baguslah kalau tetap di kota ini," kata Edgar.
Edelweis melirik dengan aneh kepada Edgar. Oliver tersenyum misterius.
Edelweis menjadi sebal. Apa sih orang ini!
"Bapak Edgar, dicari tamu yang lain," kata ajudan mendekati Edgar.
Edgar bangkit dari duduknya. Sebelum pergi dia menoleh pada Edelweis," Mbak Edel, nanti tunggu saya ya, jangan pulang dulu. Ada yang mau saya bicarakan!"
"Iya Pak," jawab Edelweis. Tentu saja Edelweis akan pulang. Ngapain dia menungg walikota yang aneh ini. Bodoh amat!
"Sepertinya kalian memiliki hubungan spesial," kata Oliver.
"Spesial pakai telur? Nggaklah Mas. Saya ini cuma buruh pena. Dia pejabat publik," kata Edelweis.
"Jabatan kan hanya nama. Cinta menjembatani setiap perbedaan di dunia," kata Oliver.
"Perlu tepuk tangan Mas?" sindir Edelweis.
Oliver tertawa. "Eg, tapi kamu beneran tertarik untuk bergabung dengan Banyu Mili?"
"Saya belum punya kemampuan yang layak. Masih sering dimarahi sama editor dan juga pimpinan redaksi. Pimred saya galak Mas, tuh" Edelweis menunuk Awan yang sedang berbicara dengan beberapa orang.
"Awan kan memang strike dari dulu. Tapi kurasa dia pimpinan yang lumayan. Bisa menganyomi anak buah," kata Oliver.
"Mas kenal sama pimred saya?"
"Yah, teman lama. Saya asli kan sini juga. Tetapi pergi merantau. Mungkin sebentar lagi balik ke sini," kata Oliver.
"Oh begitu ya. Saya boleh belajar dari Mas Oliver nanti ya, biar bisa menjadi jurnalis keren seperti Mas."
"Kamu sering-sering baca berita Banyu Mili saja, jadi nanti tahu bagaimana gaya penulisan Banyu Mili. Apa -apa saja yang selalu ditonjolkan oleh Banyu Mili," kata Oliver.
"Siap Mas."
Awan memanggil Edelewis. "Edel, ayo pulang!"
"Loh kamu disuruh nunggu sama walikota," kata Oliver mengingatkan Edelweis.
"Bapak Walikotanya sedang sibuk. Saya sudah mengantuk," kata Edelweis dengan senyum jahil. "Saya pamit dulu Mas."
Oliver mengangguk.
***
"Oliver masih single Del," kata Awan sambil menyetir mobil mengantarkan Edelweis pulang.
"Terus?" tanya Edelweis.
"Kalau kamu suka, nanti saya jodohin," kata Awan. "Dia orang baik, sabar dan peyanyang."
Edelweis mengumpat dalam hati.
"Gimana Del, kok diam saja?" tanya Awan.
"Nggak usah, Pak. Makasih," jawab Edelweis.
Awan mengehentikan mobil ketika sudah sampai di kos Edelweis. Dia pergi. Dan Edelweis masuk ke dalam kos.
Belum sempat Edelweis membuka pintu, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Kamu di mana?
Edelweis langsung mengetik balasan, tidak mengamati siapa pengirimnya.
Aku di kos.
Oke.
Begitu Edelweis masuk ke dalam kos dan menyalakan lampu kamar, dia baru sadar siapa yang mengirim pesan tadi. Edelweis meraih ponsel dan mengecek ulang.
Nomer itu nomer pribadi walikota Edgar Madheva.
"Ngapain dia tanya-tanya?" Edelweis sangat heran dengan sikap walikota tersebut. Daripada memikirkan walikota, mending dia membaca berita Bany Mili seperti yang disarankan oleh Oliver. Edelweis sangat fokus membaca, dan tidak mendengar ada beberapa pesan yang masuk.
Ponselnya kini berdering kencang.
"Eh apa?" kata Edelweis kaget. Dia melihat walikota menelpon.
"Ya Pak, ada apa?" tanya Edelweis berusaha sopan. Padahal dia ingin sekali mengabaikan telepon itu.
"Aku ada di luar kos mu," kata Edgar.
"Hah?Ngapain Pak? Ini sudah malam. Bapak pulang saja." Edelweis mengintip dari jendelanya. Memang sebuah mobil hitam parkir di depan kosnya.
"Tadi, aku minta kamu untuk menunggu, kamunya sudah pulang. Jadi aku pikir sebaiknya aku nyusul ke sini," kata Edgar.
"Gila!" maki Edelweis.
Edgar tertawa. "Ya makanya, keluar. Aku cuma mau memberikan hadiah saja," kata Edgar.
"Besok saja ya Pak," pinta Edelweis.
"Sekarang, Edelweis. Atau besok aku ke kantormu."
Mati aku, pikir Edelweis. "Saya keluar Pak." Edelweis menyambar jaket dan celana training. Dia keluar seperti pencuri karena mengendap-endap. Dia tidak mau ada penghuni kos lain yang tahu, ada walikota di depan kos mereka, dan sedang menemui Edelweis. Bisa viral nanti.
Edgar tersenyum cerah ketika melihat Edelweis berjalan ke arahnya.
Dia menyodorkan sebuah kotak pada Edelweis.
"Apa ini Pak?" tanya Edelweis.
"Hadiah untukmu, bukan barang mahal."
"Tapi Pak..." kata Edelweis.
"Diterima ya," kata Edgar. "Kamu masuk sana, sudah malam."
Edelweis menerima benda itu dengan bingung. Dia berjalan masuk sambil berpikir, kenapa walikota itu bersikap seperti ini padanya.
Kalau hanya naksir, itu nggak mungkin. Edelweis pasti bukan kriteria Walikota. Apalagi bisa menjadi istri pejabat. Membayangkannya saja sudah geli.
Edgar baru masuk mobil, ketika dilihatnya Edelweis sudah masuk ke kos.
Dia pergi. Senyumnya terkembang lebar.