Ruang Osis SMA Merdeka, 2009
Indra dan ketiga temannya sedang bicara mengenai persiapan hari kemerdekaan. Mereka memang sengaja meluangkan waktu sepulang sekolah. Ruang itu tidak sebesar ruangan kelas. Tetapi lima orang itu merasa di sanalah mereka bebas bergerak.
"Populeritasmu sepertinya menurun Ndra," kata Kalia.
"Udah kalah populer sama Edgar tuh," sahut Yanuar.
Indra tertawa.
Edgar yang menyelonjorkan kakinya tanpa sepatu di meja dan menutup wajahnya dengan buku. Ketika mendengat namanya disebut, dia membuka wajahnya. "Kenapa aku?"
Kalia hanya geleng-geleng kepala saja." Lihat artis kita! Bodoh!"
"Aku tidak bodoh. Aku ini pintar, makanya aku mau pindah sekolah ke Inggris."
"Pergi.. pergi sana!" kata Kalia ketus. "Kita cari makanan yuk, di belakang gedung ada yang jual nasi pecel murah," kata Kalia.
"Ketahuan dia sering bolos di sana," ejek Yanuar.
"Kamu perempuan nakal," ejek Edgar.
Kalia memukul dua temannya. "Diam kalian. Mau ikut nggak?"
Indra sudah berdiri. "Kalau begitu aku duluan, yang terakhir yang bayar ya!" Indra berjalan menuju ruang osis menuju gedung belakang sekolah.
Kalia berteriak. "Edgar aja yang bayar," sahut Kalia menyusul Indra. "Buat pesta perpisahan."
Yanuar segera ikut berlari. Edgar mengumpat karena harus memakai sepatu lebih dulu.
Mereka bertiga berlari kecil sambil tertawa ledek-ledekan. Sedangakan Indra sudah di depan mereka jauh. Indra merasa aneh mendengar suara anak berteriak-teriak di belakang sekolah. Dia berjalan di balik tembok dan ada seorang anak perempuan berjaga.
Indra merasa ada yang salah. Dia bergegas, anak perempuan itu sangat kaget ketika Indra muncul tiba-tiba.
"Apa-apaan ini?" teriak Indra.
Dia melihat sekelompok anak perempuan sedang merundung seorang. Gadis itu meringkuk menempel di tembok. Bajunya basah, dan rambutnya penuh tepung.
"Kenapa Ndra?" tanya Kalia. Dia terkesiap ketika melihat pemandangan itu. Begitu juga dengan Yanuar dan Edgar.
"Indra, kami cuma merayakan ulangtahunnya saja kok. Biasa kan, ritual seperti ini," kata Siska gugup. Dia merapat dengan Yuni. Yuni berbisik dengan cemas ke telinga Siska. "Bagaimana ini?"
Keempat orang itu menatap sat per satu mereka.
Kalia bergerak lebih dulu. Dia mendekati Edelweis yang meringkuk. Ketika melihat sesuatu terulur di belakang tubuh Edelweis, dia menjerit pelan. Dan langsung menarik Edelweis agar menyingkir dari sana.
"Ndra, ada kabel di sini. Bahay banget!" Seru Kalia.
Edelweis tetap menunduk. Dia hanya berdiri mematung. Kedua tangannya memeluk tasnya erat ke d**a. Rambutnya awut-awutan ke depan. Dia sudah tidak bisa berpikir jernih. Jadi dia hanya diam membisu saja.
Indra segera memeriksa dinding tempat Edelweis tadi. Dia merasa marah. Dia berbalik pada Siska dan Yuni.
"Kalian mau membunuh orang ya?" teriak Indra dengan suara yang menggelegar.
Yuni dan Siska saling berpandangan bingung. Anak-anak lain pada merapat dan ketakutan.
"Kami hanya ikut-ikutan Kak Indra, mereka berdua yang mengajak," kata seorang anak.
Yuni berbalik dan melototi mereka. Menyuruh mereka diam.
"Ndra, kita harus lapor guru," saran Yanuar.
Kalia menatap iba pada Edelweis. "Kita harus mengantarkan anak ini pulang Ndra," kata Kalia.
Siska dan Yuni merengek.
"Kak Indra, kami tuh hanya bercanda. Nggak ada yang serius," kata Siska.
"Kenapa harus lapor guru sih? Ini masalah sepele," tambah Yuni. "Nggak ada yang terluka juga."
Indra murka. Dia menatap kejam pada dua anak tersebut.
"Di belakang anak itu ada kabel, dan kalian menyiramnya dengan air. Bisa kesetrum mati. Tahu nggak kalian?" bentak Indra.
Yuni dan Siska terkesiap. Mereka bergerak gerak gelisah.
Indra mengegram. "Gar, tolong anter anak itu pulang."
"Oke," sahut Edgar. Dia menarik tangan Edelweis menjauh dari situasi kacau tersebut.
Indra mengangguk. "Selain mereka, kalian semua ikut ke kantor guru," kata Indra.
Beberapa anak mencoba kabur. Yanuar dan Kalia dengan sigap menghalangi mereka. Yanuar bertubuh besar. Kalia menatap wajah mereka satu per satu. Kalau mereka berhasil kabur, Kalia akan menemukannya.
"Kalian dari kelas berapa?" tanya Kalia ketus.
"Ke...kelas sepuluh c," jawab seorang anak.
"Kelas satu kelakuan kayak begini?" Kalia rasanya siap mencincang mereka semua.
Yuni dan Siska memang takut. Tetapi mereka tidak merasa bersalah sedikit pun. Mereka hanya merasa kesal, karena para Osis menganggap tindakan mereka berlebihan.
"Memangnya kita melakukan apa sampai kalian heboh begini?' bentak Yuni.
Kalia mendekat dan menatao tajam Yuni. Yuni membalas tajam.
"Kalian untuk melakukan bullying tahu," bentak Kalia.
Indra berdiam. Dia butuh waktu untuk berpikir.
"Bullying bullshit!" maki Yuni.
"Diam!" Suara dingin Indra membuat Yuni terdiam.
Mereka semua menjadi takut. Indra tak pernah bertetiak ataupun terlihat marah. Dia selalu menampakkan tampang konyol yang ganteng. Tetapi kali ini Indra terlihat berbeda. Dia sangat marah. Yuni dan Siska bahkan bisa melihat Indra gemetar terlihat ingin memukul mereka.
"Kalian semua pergi ke kantor guru, sekarang!" Indra memerintah dengan kejam.
Anak-anak itu berderap menuju kantor guru, Yanuar dan Kalia mengawal mereka. Yanuar membuka ruang guru dan menyuruh mereka semua masuk. Wajah mereka tampak takut kecuali dua orang, yaitu Siska dan Yuni.
Daripada takut, mereka terlihat kesal dan marah.
Indra menelpon guru kesiswaan dan melaporkan kejadian tersebut. Bu Mareta berjanji tiba di sekolah secepat mungkin.
Indra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dia menyembunyikan kedua tangannya yang mengepal kuat. Meskipun sudah berusaha meredam amarah, raut wajahnya keras dan gelap membuat anak-anak perempuan itu merasa takut.
"Jelaskan apa yang terjadi padaku. Dan tidak usah berbohong!" Indra menatap tajam pada Siska dan Yuni. "Kalian berdua diam. Aku tidak ingin kalian bicara mewakili mereka!"
Indra menunjuk seorang anak berkuncir kuda. Dia terlihat takut-takut menatap Yuni dan Siska.
"Yan, bawa dua siswi k*****t ini keluar dari ruangan ini," kata Indra.
Kalia menggerling pada Indra. Sebab Indra mengumpat mereka. Yanuar mencekal Yuni dan Siska agar terpisah dari yang lain.
***
Edgar mengantarkan Edelweis pulang ke rumah. Edgar sudah menyuruh Edelweis untuk membersihkan rambutnya yang penuh tepung. Dia memberikan jaketnya Indra pada Edelweis.
"Tuh pakai jaket Indra. Cuma dia yang bawa jaket. Bajumu basah semua," kata Edgar.
Edelweis hanya mengangguk. Dia tetap menunduk.
"Kamu nggak coba melawan? atau minta tolong orang lain diperlakukan begitu?" desak Edgar.
Edelweis tak menjawab.
Edgar sedikit kesal. Bagiamana anak ini bisa bertahan hidup bila ditindas terus. Ah tetapi itu bukan urusannya. Dia hanya perlu mengantar gadis ini pulang. Urusan perundungan ini akan diurus baik oleh Indra. Lagipula dia harus mempersiapkan diri. Dia akan segera berangkat ke Inggris dalam program pertukaran pelajar.
Edgar tak masuk ke rumah, sebab Edelweis menggeleng dan menyuruh Edgar pergi. Edgar pergi kembali ke sekolah.
Dia sangat kaget sebab tangan Indra berdarah.
"Ndra, tanganmu kenapa?" teriak Edgar.