Dinner

1003 Words
Edelweis mengenakan gaun batik tanpa lengan. Baju tersebut didominasi warna biru laut dan putih. Motifnya adalah burung merak yang terlihat jelas di potongan bagian bawah. Panjang gaun tersebut hanya sampai betis dengan model mermaid. Gaun batik itu pun dengan sempurna membungkus badan Edelweis layaknya model catwalk.  Edelweis mengenakan sepatu flat shoes warna silver milik Syifa. Beruntungnya ukuran mereka sama, 37. Edelweis tidak ada niat untuk berpenampilan istimewa. Namun ketika kakak iparnya mengetahui dia akan makan malam dengan seorang pejabat, dan itu adalah Walikota. Mendadak Syifa histeris dan mengeluarkan koleksi baju dan sepatunya.  Dia juga yang memilihkan baju, sepatu dan menata rambut Edelweis. Syifa memang menyukai hal itu.  "Kamu itu cantik Del. Dan malam ini aku akan membuat Walikota tak bisa memalingkan pandangannya darimu," kata Syifa berapi-api.  "Bukan kencan," kata Edelweis meralatucapan Syifa. "Kami akan ketemu dengan teman lama. Teman SMA ku."  Begitu menyebut SMA, kenangan Edelweis akan Indra datang tanpa diminta. Kenangan manis, bagaimana konyolnya Indra, bagaimana mereka menjalani kehidupan sekolah yang menyenangkan. Setelah bertemu Indra, Edelweis tak lagi malas ke sekolah.  "Teman SMA, ada Indra juga?" tanya Syifa. "Nggak ada. Dia kan masih di luar negeri," kata Edelweis. Jantungnya masih berdegup tidak normal ketika mengingat lelaki itu. Diam-diam Edelwesi masih memantau media sosial Indra. "Ya ampun, dia masih aja betah di sana," kata Syifa. Matanya tak lepas dari menatap cermin. Dia menyisir dan menata rambut Edelweis sedemikian rupa. Ramburnya agak bergelombang di bawah. "Nanti dijemput kan Del?" tanya Syifa. "Aku menolak. Aku naik motor aja," sahut Edelweis. Syifa menjerit pelan."Hah? Kok gitu sih? Nggak bisa. Kamu harus naik mobil. Aku akan anterin kamu. Kalau naik motor, rambutmu nanti rusak," keluh Syifa.  Edelweis hanya menyeringai. Dia menurut apa saja yang diperintahkan oleh kakak ipar kesayangannya.  Syifa menuntut suami untuk menjaga rumah, sedangkan dia pergi  mengantarkan Edelweis ke restoran. Edelweis menolak, tapi Syifa bersikukuh. Edelweis kalah dengan power of ibu-ibu. *** Edelweis berjalan pelan. Dia jarang menggunakan sepatu model selop lancip. Jari kakinya, terutama kelingking agak tersiksa. Namun demi penampilan sempurna yang digagas oleh Syifa maka Edelweis harus menahannya.  Edelweis memegang dompet tangan warna putih, alih-alih ransel seperti biasanya. Saat di rumah tadi, Syifa histeris melihat Edelweis sudah mengenakan gaun dan sepatu cantik tetapi malah membawa ransel di punggung. Syifa mengubek-ubek kembali, lemarinya dan mengeluarkan dompet tangan, berukuran satu novel untuk dipegang oleh Edelweis. Dompet itu hanya muat untuk ponsel dan beberapa kartu juga uang.  Edelweis menyebutkan namanya, dan diarahkan ke sebuah ruangan pribadi. Ketika pelayan itu membuka matanya, Edelweis pertama kali melihat seorang wanita dewasa, dengan pesona yang luar biasa. Sesama wanita, Edelweis sadar, wanita yang ada di depannya memiliki kharisma yang kuat. Wanita itu melihat Edelweis masuk. Wajahnya berbinar-binar. Dia berdiri dan mendekati Edelweis. Senyumnya merekah. "Edel," panggil Kaliandra. "Ya mbak, gimana kabarnya?" tanya Edelweis. "Aku baik. Edel, kamu seperti bunga yang sedang mekar. Cantik sekali," puji Kaliandra.  Mereka masih saling berpandangan, ketika Edgar menyela.  "Kalian ayo duduk. Dan pesan makanan, kata Edgar. "Ah ya," kata Kaliandra. Dia tak henti-hentinya menatap Edelweis. Edelweis sampai salah tingkah. "Kamu mau pesan apa Del?" tanya Kaliandra. Edgar menatap heran pada Kaliandra. "Kal, kau jadi orang yang berbeda," sindir Edgar. "Mbak Kalia memang selalu berlebihan perhatiannya kalau sama aku, Pak," kata Edelweis dengan senyum tak hilang dari wajahnya. Edgar tentu saja senang melihat Edelweis tersenyum. Berbeda sekali dengan sikap Edel sebelumnya, yang dingind an tegas. Kali ini Edelweis lebih terlihat santai dengan adanya Kaliandra. Justru karena itu Edgar merasa kesal, malah Kaliandra yang membuat Edelweis nyaman, dan bukan dia.  Dia masih penasaran, bagaimana Kaliandra dan Edelweis bisa mengenal. Dia harus mendapatkan jawabannya malam ini. Atau dia tidak bisa tidur malam nanti. Edgar hanya terdiam ketika mereka berdua membicarakan masa lalu dengan tertawa-tawa. Dia ingin menyela, namun keduanya memancarkan aura yang melarang Edgar. Jadi Edgar hanya mendengarkan saja.  "Mbak Kalia, sekarang kerja di mana?" tanya Edelweis. "Aku kerja sebagai buruh di Jakarta. Hari ini ke Surabaya karena temanku ini trending di semua berita," ejek Kaliandra.  "Apak Edgar memang selebriti," puji Edelweis.  "Selebriti hanya karena tampan? Aku heran. Apa nggak ada berita yang lebih bermutu, begitu ya?" Kaliandra meledek Edgar. Edgar hanya tersenyum menawan.  "Edel, mau pesan apa? Biar sekalian aku pesankan. Sepertinya kalian asyik mengobrol berdua," kata Edgar. "Lah, kamu belum ngeh juga Gar?"  tanya Kaliandra. Edgar menoleh dengan bingung. "Kita semua kan satu pernah satu SMA," kata Kaliandra. Edelweis dan Edgar kaget.  Edgar yang mulanya berdiri, kini duduk kembali. "SMA Merdeka?" ulang Edgar. "Bukannya Pak Edgar lulus dari SMA Luar negeri ya?" Edelweis bertanya. Kaliandra terkikik. "Edgar memang lulus dari sana. Tapi kelas satu dan duanya ada di SMA Merdeka. Tidak tercantum ya?" Edelweis masih berusaha mencerna informasi tersebut.  Kaliandra meneruskan,"Dia memang dipindahkan ke luar, karena ortunya. Yah sultan mah bebas mau ngapain aja. Padahal katanya pertukaran, ternyata malah dipindahkan." "Oh, siswa yang itu..." "Kamu kenal aku?" tanya Edgar pada Edelweis. "Aku pernah dengar, tetapi aku nggak ingat apakah kita kenal atau tidak," kata Edelweis. Kaliandra memecahkan suasana yang canggung. Mereka memesan makanan dan menyantapnya. Edelweis memesan nasi goreng seafood. Sedangkan Kaliandra memesan soto, Edgar memesan nasi ayam bakar. Mereka membicarakan hal lain, terutama masa Edgar menjadi pejabat.  Kaliandra sedikit mencelos, dia memahami karakter Edgar. Lelaki itu tertarik dengan Edelweis. Dia bisa melihat bagaimana tatapan memuja terpancar dari mata Edgar.  Kaliandra tidak menampik pesona Edelweis malam ini. Sejauh yang dia ingat, Edelweis memang sudah cantik dari dulu. Namun ketika bertemu lagi setelah sepuluh tahun, pesona Edelweis terpancar sebagai wanita yang matang. Seperti bunga yang sedang mekar, seperti buah yang ranum. Ibarat lukisan, Edelweis sangat memikat. Mampu melunturkan tembok yang dibangun oleh Edgar.  Tetapi yang tidak diketahui Edgar adalah, hati Edelweis sudah dimiliki orang lain. Dan Kaliandra tahu. Dia sengaja tak menyebutkan nama itu di sini.  Ketika sudah mulai larut, Edelweis pamit. Kaliandra menyerahkan kartu nama pada Edelweis.  "Hubungi aku ya," pesan Kaliandra.  Edelweis tersenyum.  "Aku antar Del, tetapi aku ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini dulu," kata Edgar pergi.  Begitu hanya berdua, Kaliandra bisa menanyakannya. Sebuah nama yang tak bisa dihapus begitu saja dari hidup Edelweis.  "Del, kamu masih menunggu dia? Menunggu Indra?" tanya Kaliandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD