Kembali ke masa sekarang
Edelweis mendapat pesan dari istri Editor akan ada pertandingan sepak bola daster sore ini. Jadi dia menaiki motor dan membawa kamera slrnya. Rumah editor memang berada di pinggiran kota Surabaya. dia sengaja berangkat lebih siang, untuk menghindari macet saat jam pulang kerja.
Edelweis mengamati lokasi yang dibagi oleh istri temannya itu. Sebah lapangan di kelurahan Sukasuka.
"Mbak Edel," panggil seornag ibu berjubah panjang dengan jilbab langsungan.
"Ibu masih mengenali saya?" tanya Edel dengan senyum.
"Masih lah. Yang paling muda, dan paling cantik. Mari..." Ibu itu mengajak Edel ke tempat panitia. Dia mengenalkan Edel sebagai jurnalis yang akan meliput pertandigan sore ini.
"Wah berarti kelurahan kita akan masuk tv ya Mbak?"
Edelweis hanya tersenyum. Dia mengajukan beberapa pertanyaan pada panitia, dan mencatatnya di note kecil.
"Ini minumnya Mbak Edel," kata istri Editor.
"Terima kasih."
"Mbak Edel, kerja jadi jurnalis itu capek ya, sore begini masih harus liputan."
Edelweis minum satu tegukan. "Setiap orang bekerja itu selalu capai Bu," kata Edelweis.
"Ya ndak begitu. Kalau kerja kantoran kan, Mbak Edelweis cuma duduk di meja dan mengurus dokumen. Kalau jurnalis harus ke sana ke mari. Bahkan sampai malam juga ada kan?"
"Gimana ya, saya memang suka sih pekerjaan ini."
Istri editor. "Sekarang saya lega, suami tidak liputan lagi di lapangan. Cukup mengedit saja di kantor. Risiko pekerjaan tidak besar."
"Memangnya kenapa Bu?" tanya Edelweis penasaran.
"Yah, dulu pernah jadi korban kekerasan Mbak, gigi patah juga saat meliput berita."
Edelweis terkesiap. "Berita apa Bu?"
"Sudah lupa Mbak. Sudah lama kejadiannya. Makanya Mbak Edel hati-hati ya."
Edelweis ingin bertanya lebih lanjut, tetapi istri editor beranjak pergi karena dipanggil oleh panita untuk persiapan pertandingan.
Edelweis juga menyiapkan kameranya. Dia berjalan pelan mengitari sisi lapangan. Mencari tempat yang cocok untuk mengambil gambar. Para peserta yang terdiri bapak-bapak itu mengenakan daster di luar baju santai mereka. Mereka menggulung daster sampai ke pinggang. Namun bagaimanapun, gerakan lari mereka tetap membuat sisi bawah daster turun sehingga menghambat lari mereka.
Musik diputar. Lagu dangdut yang lagi ngehits. Goyang Dumang.
Setiap lagu diputar, maka permainan bola dihentikan berganti para bapak itu akan berjoged ria. Dan kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Edelwesi, dia merekam bapak-bapak itu yangs edang asyik berjoged dari beberapa sisi lapangan.
Kemudian setelah lagu dihentikan, permainan bola dilanjutkan kembali.
Edelweis mengecek rekaman yang dia ambil tadi. Setelah dirasa cukup dia pergi menemui panitia untuk merekam wawancara.
***
"Bu, saya pamit ya." Edelweis menyapa istri editor untuk kembali ke kantor.
"Mbak Edel langsung pulang atau ke kantor dulu?"
"Ke kantor dulu Bu, masih ada yang perlu di urus," jawan Edelweis.
"Oh begitu, hati-hati ya Mbak Edel."
"Terima kasih bantuannya Bu. Kalau ada kegiatan menarik lagi bis amenghubungi saya," imbuh Edelweis.
"Oh ada, besok itu ada festival layangan di desa sebelah Mbak. Di sawah-sawah itu lho," kata Istri editor.
Edelweis mengeluarkan ponselnya. "Ada nomer yang bisa dihubungi nggak Bu?"
"Sebentar ya," istri editor mengecek ponselnya beberapa lama, kemudian dia mengirimkan nomer ke Edelweis. "Sudah saya kirim nomer Bu Retno, ketua pkk."
"Siap, terima kasih."
Edelweis pun berpamitan. Dia mengendarai motornya menuju kantor. Ketika motornya hendak memasuki halaman kantor, dia mengenali sebuah mobil yang berhenti di depan kantornya. Mobil yang dikendarai Edgar malam itu.
Edelweis memiliki firasat buruk. Dia tidak bisa membiarkan Edgar datang ke kantornya. Jadi dia berhenti di dekat mobil dan mengetuk kaca sopir.
Dugaan Edelweis benar, Edgar sedang duduk di sana mengenakan topi dan kacamata. Memangnya dia artis korea?
Kaca mobil diturunkan.
"Kenapa kamu baru pulang?" tanya Edgar.
"Walikota senang makan gaji buta ya," sindir Edelweis.
"Aku baru saja menyelesaikan segudang pekerjaan. Sore sampai malam, memang aku mengosongkan jadwal. Kaliandra ingin bertemu denganmu. Kalian kenal di mana?" tanya Edgar.
Edelweis mengabaikan pertanyaan Edgar. "Mau ketemu di mana?"
Edgar nampak kesal karena Edelweis tak menjawabnya. "Di restoran DekatSini, tahu tempatnya?"
Edelweis mengangguk. "Pak, tolong lain kali jangan berada di kantor orang lain bila tidak ada urusan penting. Anda bisa disebut sebagai stalker," kata Edelweis sinis.
Dia meninggalkan Edgar dan melangkah masuk kantor. Tidak peduli ekspresi macam apa yang dibuat oleh Walikota itu.
Dia menggertu sepanjang jalan menuju meja. Editor sebelah sudah pulang. Dia tidak memiliki teman bicara, hanya...
"Kenapa wajahmu begitu Beb?" tanya Hanif muncul tiba-tiba.
"Malas mengurus penguntit," jawab Edelweis kesal.
Mata Hanif berubah waspada. "Di mana? Kita lapor polisi."
Edelweis tersentak dengan ide Hanif, dia panik. "Tidak... tidak perlu. Dia sudah pergi," kata Edelweis. Dia tidak bisa membiarkan kasus dimulai dengan sebuah berita Walikota Edgar Madeva adalah seorang pengutit?
Bisa gila rasanya.
"Kalau butuh bantuan, bilang Del," kata Hanif menawarkan bantuan.
Edelweis mengangkat jempolnya. Kemudian mengusir Hanif dari meja kerjanya.
Kali ini dia sibuk menyusun laporan untuk beritanya.
***
Kaliandra mengenakan celemek dan memasak mi instan di dapur apartemen pribadi Edgar. Dia nampak santai dan tidak ada rasa canggung sedikit pun di sana.
"Kau seperti nyonya besar, di rumahku," sindir Edgar.
"Bukannya sudah? Ortumu sudah setuju," kata Kaliandra.
"Aku belum."
"Walikota yang terhormat, seleramu berubah menjadi seperti apa?" tanya Kaliandra menghela napas.
"Kau temanku, mana mungkin aku menikah denganmu," kata Edgar. Dia masih merasa bahwa tindakan perjodohan orangtua mereka inis angat konyol.
"Kau mau mencari cinta sejati, begitu, tuan politikus?"
Edgar membuang muka. "Berhentilah memanggilku politikus."
"Baiklah walikota," kata Kaliandra.
Edgar tertawa masam. "Kau tahu, kalau kau yang mengucapkan, aku merasa seperti dikutuk," kata Edgar.
"Kalau Edelweis yang bilang?" pancing Kaliandra.
"Ah gadis itu sangat susah ditangani. Dia selalu memanggil aku Bapak. Meski kami cuma berdua," kata Edgar ketus.
"Dia berbeda dengan gadis-gadis lainnya, begitu?" tanya Kaliandra. Kali ini mie yang dia masak sudah matang. Dia membawanya ke meja makan dan menyantapnya.
"Kau tidak membuatkanku?" tanya Edgar.
Kaliandra tidak menjawab melainkan menunjuk dapru sebagai gantinya. Edgar, walikota , disuruh masak mie instan sendiri.
"Justru kau, perempuan yang lebih sulit ditangani," ejek Edgar.
"Baguslah. Untuk menghadapi orang narsis sepertimu," balas Kaliandra.
Edgar nampak iri saat melihat Kaliandra dengan asyik menyantap mie di depannya. Tetapi ada yang menganggu pikriannya. Bagaimana Kaliandra mengenal Edelweis?
"Kal, darimana kamu mengenal Edelweis?" tanya Edgar.
"Kau tidak ingat?"
"Soal apa?"
"Soal Edelweis," jawab Kaliandra. "Apakah Edelweis mengatakan sesuatu tentang aku?"
"Aku bertanya juga padanya, tetapi dia tidak menjawab."
Kaliandra mengangguk-angguk. "Dia adalah teman faforitku, setelah kau dan Indra," kata Kaliandra dengan mata berbinar-binar.