"Lo nggak makan?" tanya Anya saat Bara memberikan omelete yang berada di piring.
"Nanti aja. Aku nggak biasa sarapan. Paling cuma kopi."
"Kena maag baru tahu rasa, lo!"
"Kok suaminya didoain buruk, sih...."
"Ya, elo, bikin sarapan buat gue, elonya malah nggak bikin buat diri lo sendiri!"
"Pagi-pagi jangan galak-galak dong, Sayang...."
"Nih...." Anya menyodorkan sepotong omelete ke depan mulut Bara dengan garpu. Bara tersenyum. Dengan bersemangat, pria itu menerima suapan itu.
"Makasih, Sayang...."
Anya memakan dan menyuapkan omelete hingga habis. Saat Bara akan membawa nampan berisi gelas dan piring kotor, Anya mencegahnya.
"Biar gue aja."
Bara pun menurut. Anya turun dari ranjang, berjalan menuju dapur. Saat gadis itu sedang mencuci piring dan gelas, tiba-tiba tangan Bara melingkar di perutnya.
"Lo mau apa, sih?!" seru Anya dengan jutek.
"Pengin meluk kamu. Udah ... cuma meluk ini."
Hanya memeluk. Itu yang Bara ucapkan. Namun, tentu saja bukan hanya hal itu yang pria dewasa seumuran Bara itu lakukan. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia memberikan kemesraan untuk sang istri. Saat Bara sedang dengan agresifnya mengecupi leher Anya, gadis itu menginjak jempol kaki suaminya itu hingga pria itu berteriak.
"Sakit, Nya...."
"Salah lo sendiri, macam-macam sama gue."
"Aku suami kamu, Nya."
"Suami tukang paksa. Memaksakan keadaan. Gue mau pulang. Terserah lo, lo mau nganterin atau enggak. Enggak pun, gue bisa pulang sendiri."
Akhirnya, Bara mengantar istri kecilnya ke rumah sang mertua. Ia juga harus berangkat ke kantor.
***
Sementara di rumah bunda Anya, pagi-pagi sekali papa Bara sudah datang untuk menjemput wanita bernama Yeni itu.
“Mas ... Mas ... mau ngapain pagi-pagi ke sini?””
“Mau jemput kamu, mau aku antar ke kantor. Mumpung nggak ada anak-anak juga.”
“Memangnya kenapa kalau ada anak-anak?””
“Kamu ini ... jangan pura-pura polos kamu. Kita udah sama-sama dewasa. Sama-sama kesepian. Jadi tahu, lah ... arah omonganku. Pria yang sudah berumur itu memang humoris.
“Ih ... Mas, ya, yang kesepian. Aku, sih enggak.””
Yeni sudah melangkah setelah menutup pintu. Namun, Ardi menahan tangannya. Sepasang lawan jenis yang memiliki hubungan besan itu saling tatap untuk beberapa detik. Tangan Ardi berpindah ke pinggang wanita di depannya, sementara tangan Yeni ada di d**a Ardi.
“Mas....””
“Menikahlah denganku, temani masa tuaku, kita dampingi anak-anak kita sama-sama.””
“Mas ... kita punya keluarga, Mas punya keluarga yang belum tentu bisa menerimaku. Kita juga punya Anya dan Bara, bagaimana tanggapan mereka nanti.
“Kalau keluargaku, mereka tidak ada alasan untuk mengaturku. Kalau Bara dan Anya, aku juga yakin mereka akan mendukung apa pun yang terbaik untuk kita.””
Tidak ingin terus membahas, Yeni mengajak Ardi untuk sarapan. Ehm, Mas sudah sarapan? Kalau belum, yuk sarapan! Aku buat nasi goreng tadi.””
“Tuh, kan ... mengalihkan pembicaraan, protes Ardi, tangannya masih bertengger nyaman di pinggang Yeni.
“Bukannya bermaksud mengalihkan, hari semakin siang, nanti aku terlambat.””
“Makanya, jadilah istriku. Kamu tidak perlu bekerja, kamu hanya cukup menemaniku.”
Aku bukan wanita matre, Mas.
“Siapa juga yang bilang kamu matre.””
“Lepasin tangan kamu, ayo sarapan!
Ardi memindahkan tangan ke pundak Yeni. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan.
Ardi dan Yeni memang dekat dari dulu. Saat Bara di luar negeri, kedua orang itu yang menjadi perantara untuk saling memberi kabar. Karena itulah, papa Bara mendapatkan kenyamanan saat bersama bunda Anya.
***
Anya sudah mulai sibuk kuliah. Ia menolak saat Bara akan mengantarnya. Gadis itu berdalih, ia ingin merasakan menjadi mahasiswi pada umumnya. Tidak ingin juga, Bara terlalu protektif padanya.
"Pulang kuliah ke mana, Nya?" tanya Faiz saat mereka sedang makan di kantin.
"Nggak ke mana-mana. Kenapa memangnya?"
"Jalan, yuk ... nonton atau ke mana," tawar lelaki itu.
Anya tampak berpikir. Jalan dengan Faiz? Bukan hal buruk. Lagi pula, jarang sekali gadis itu keluar setelah pulang kuliah.
"Boleh ... tapi lo yang traktir, ya."
"Pasti, dong ... masa cowok ngajak cewek jalan, nggak dibayarin."
"Oke, kalau gitu."
Pulang kuliah, akhirnya Anya dan Faiz menonton di bioskop yang terletak di pusat perbelanjaan.
***
Anya dan Faiz semakin dekat. Memang belum ada status pacaran di antara mereka, tetapi jika ada yang melihat, pasti mereka menganggap sepasang manusia lawan jenis itu ada hubungan spesial.
Bara dan Bunda tidak tahu dengan kedekatan Anya dan Faiz. Meskipun tidak mencintai suaminya, gadis itu mencoba menjaga perasaan sang suami. Lebih ke perasaan bundanya sebenarnya. Jika sampai Bara tahu dirinya dekat dengan pria lain, bukan hal mustahil jika pria itu akan menceritakan pada sang bunda. Dan wanita berusia 40 tahun itu, pasti juga akan kepikiran.
Sekarang, Anya sudah tidak terlalu jutek dan galak pada Bara. Peluk dan cium sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Hanya saja, sampai sekarang Anya masih gadis karena ia belum mau menyerahkan mahkotanya untuk suaminya. Mereka tinggal berdua di apartemen saat ini.
"Sayang ... besok aku antar kamu kuliah, ya?" Bara menawarkan diri. Semenjak kuliah, Anya memang selalu melarang.
"Enggak usah. Gue nggak mau ngerepotin lo," tolak Anya.
"Aku suami kamu, Nya ... kewajiban aku. Masa merepotkan."
"Kalau pas lo nggak masuk kantor aja, deh."
"Ck."
Teman kuliah Anya memang tidak ada satu pun yang tahu jika ia sudah menikah. Termasuk Faiz. Ia masih ingin bebas, ingin bergaul dengan siapa pun tanpa teman-temannya harus merasa sungkan karena status gadis itu.
"Kamu nggak ada niatan gitu, buat panggilan sayang buat aku?"
"Panggilan sayang buat lo? Gue belum sayang sama lo. Gimana, dong?" Anya mengucapkannya dengan santai.
"Jahat banget, sih, kamu."
"Daripada gue harus pura-pura sama lo."
"Setidaknya, panggil Mas, Abang, Ayah, Papi, atau apa, kek...."
Tawa Anya pecah. Tanpa memikirkan kesopanan, Anya memencet hidung mancung sang suami. "Geli gue ngebayangin gue manggil lo papi."
"Ya ... apa, kek."
Anya berpikir.
"Ehm, gimana kalau ... gue manggil lo Mi?"
"Mi?!"
"Iya ... singkatan dari suami."
"Kayak kamu manggil mami, dong?!"
"Lo banyak protes, ah ... ya udah kalau nggak mau," Anya merajuk.
"Iya, iya ... oke. Terserah kamu."
Bara menarik si istri kecil ke dalam pelukan. Diciuminya kepala gadis itu.
"Kapan, ya, kita punya anak?" Bara bertanya dengan sangat hati-hati.
"Jangan bahas lagi, deh ... gue belum siap. Lo beneran nanya kapan kita punya anak, atau tujuannya lo mau nanya kapan kita mulai proses bikin anak?"
Bara tersenyum. Istrinya sekarang memang banyak berubah. Sudah tidak sekaku dulu. Meskipun selalu blak-blakan, tetapi juga banyak bercanda.
"Bikinnya juga belum siap?"
"Cukup bibir dan tubuh gue yang gue biarin nggak perawan lagi sebelum gue cinta sama lo. Buat yang satu itu, gue pengin jaga sampai gue bener-bener cinta."
Bara mencium pipi Anya. "Iya ... lima belas tahun aku berhasil nunggu untuk sampai di titik ini. Tidak akan jadi masalah, kalaupun aku harus nunggu lima belas tahun lagi."
"Makasih...."
Sebagai ucapan terima kasihnya, Anya mencium bibir sang suami. Jujur saja, gadis itu memang sudah terbiasa dengan sentuhan bibir tipis milik pria itu. Hanya saja, ia masih gamang dengan isi hatinya.
***
"Mi ... gue boleh nanya, enggak?"
"Nanya apa, hem?"
"Boleh, nggak, gue pacaran?"
"Hah?! Kamu lupa? Kita suami-istri. Dengan mudahnya kamu minta izin suami kamu buat pacaran?! Nggak masuk akal!"
"Hhh, lo curang! Lo enak, nikahin gue pas udah lulus SMA. Pasti lo udah ngerasain pacaran beberapa kali. Lha, gue?! Lo nikahin pas gue masih piyik. Bunda ngelarang gue buat pacaran. Nggak adil, dong!" Anya masih tidak percaya dengan pernyataan Bara. Baginya, tidak mungkin pria sepertinya tidak pernah berpacaran semasa sekolah dan kuliah.
"Ya udah ... kita bisa pacaran. Udah halal juga."
"Tapi gue pengin ngerasain pacaran sama orang lain. Masa iya, seumur hidup gue, gue cuma deket sama cowok kayak lo."
"Terserah!"
Siang tadi di kampus, Faiz menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tentu saja ia merasa berbunga-bunga. Apalagi Faiz melakukannya dengan cara yang romantis. Ia berpikir, pasti menyenangkan bisa memiliki kekasih romantis seperti lelaki yang sudah menjadi temannya sejak SMA. Anya tidak sadar, jika Bara juga pria yang sangat romantis.
Hal itulah yang membuat Anya menunggu kepulangan sang suami, untuk meminta izin berpacaran dengan pria lain.
oOo