Gladys's PoV
Ben, lelaki itu masih saja menghubungiku menggunakan nomor lain. Dia memintaku agar aku menahan diri untuk memberitahu tentang hubungan kami yang telah berakhir, karena ibunya sedang sakit saat ini. Dia berkali-kali berkirim pesan yang tak satu pun aku balas. Juga tak pernah merespon panggilan teleponnya. Dan Tari pun melakukan hal yang sama. Lucu. Tari juga menghubungiku menggunakan nomor lainnya, karena dia juga telah aku blokir. Tari juga memohon agar aku tak bicara kepada keluarganya Ben. Kesimpulannya, hubungan kedua orang itu masih tetap lanjut? Serius? Berarti, mereka sama sekali tak menyesal?
Dan Tari, bagaimana Tari bisa tahu jika ibunya Ben sedang sakit? Ben pasti bercerita padanya.
Aku tertawa sumbang. Tidak adil sekali rasanya. Hanya aku sendiri yang merasa kesakitan di sini, sementara kedua orang itu sepertinya santai saja. Benar-benar jahat. Setelahnya menyakitiku, bukannya mereka yang ditimpa kesialan, melainkan aku. Korban yang jadinya semakin sengsara. Ibarat luka yang masih berdarah, terkena benturan keras di area itu juga.
Melupakan Ben, mungkin akan mudah aku lakukan mengingat putusnya hubungan kami adalah karena kesalahannya yang sangat fatal. Yang mungkin sulit adalah, melupakan kenangannya. Terlalu banyak kenangan indah kami, sejak masih berteman hingga berganti status menjadi pacaran. Ben telah mengajariku banyak hal. Dia tak hanya sekedar pacar saja bagiku, tetapi juga seperti saudara dan teman. Kami berdua sama-sama tinggal di Jakarta ini tanpa orang tua dan sanak saudara. Jadi, apa pun itu kami sering berbagi satu sama lain. Tentunya dalam segi hal positif.
"Mbak Gladys?"
Aku tersentak dan mendapati Sherly, juniorku, sedang menatapku dengan kening berkerut.
"Lo lagi ada masalah ya, Mbak?" tanya perempuan itu. "Atau, lagi kurang sehat?"
Aku menggeleng, tersenyum tipis padanya. "Enggak."
"Beneran?"
"Iya. Gue enggak kenapa-napa, kok."
"Gue perhatiin akhir-akhir ini lo sering bengong, Mbak. Terus, kayak nggak semangat gitu juga. Emm... semisal lo ada masalah, boleh cerita ke gue, Mbak. Gue siap mendengar."
Sherly adalah junior yang paling dekat denganku. Usianya saat ini 25 tahun. Dia bergabung dengan Crowi sejak 2 tahun yang lalu, setelah sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan fintech. Hanya setahun, setelahnya dia resign karena keterima di sini.
"Apa lagi berantem sama pacarnya Mbak?"
Bukan berantem lagi, tapi udah putus malah.
Aku menghela napas. "Pacaran lama nggak jamin akan naik ke pelaminan ya, Sher."
"Wah, beneran lagi ada masalah sama cowok lo ya, Mbak?" Beberapa orang di kantor tahu jika aku telah memiliki seorang kekasih. Kadang, Ben menjemputku pulang kerja di saat aku tak membawa kendaraan. Itu sebelum Tari datang.
Kalau dipikir-pikir, aku salah juga. Aku yang tanpa sadar telah memberi celah kepada Tari, masuk ke dalam hubumgan kami. Tari yang aku pikir anak baik—sepolos itu, ternyata... sangat jauh di luar dugaan.
"Mbak?" Sherly telah menggeser kursinya ke dekatku sekarang. Di ruangan ini, banyak yang sedang ke luar kantor hari ini. Ada juga yang stay, beberapa junior yang duduknya cukup jauh dariku dan Sherly.
"Gue putus sama cowok gue, Sher."
"Serius? Kenapa emangnya? Apa nggak bisa dipertahankan lagi?" tanyanya beruntun. "Sayang banget, hubungan kalian udah lama. Mas Ben juga baik banget, adem gitu wajahnya. Coba dipikirkan lagi kalau masalahnya nggak begitu berat, Mbak. Eh, wait, siapa yang mutusin emangnya?"
“Gue yang mutusin.”
“Bo-leh gue tahu alasannya?” Sherly bertanya pelan, tampak hati-hati sekali. “Tapi kalau nggak mau cerita, enggak apa-apa. Mungkin berat terasa?”
“Cowok gue selingkuh,” ujarku cepat. “Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Selingkuh di apartemen gue pula, dengan seseorang yang udah gue anggap kayak saudara.”
“Serius, Mbak?”
Aku mengangguk lemah. Mengingat kejadian malam itu, rasanya masih sesak hingga saat ini. Aku jarang cerita masalah pribadiku kepada siapa pun. Kali ini, aku bercerita pada Sherly. Mungkin dengan berbagi cerita, sedikit banyaknya bisa mengurangi sedikit bebanku. Walau tak akan hilang begitu saja rasa sakitnya.
“Mbak, sini pelukkkk!!” Sherly merentangkan kedua tangannya memelukku. “Gue emang belum pernah pacaran, tapi gue juga pernah ngerasain patah hati. Pasti sakit banget ya, Mbak? Lo pasti kuat… gue yakin, lo pasti bisa ngelewatin masa-masa berat ini.”
“Makasihh, Sher.”
“Mau ke mall nggak hari ini nggak? Gue akan traktir makan, nonton atau mau main playground yang bisa untuk orang dewasa itu? Ayo… gue enggak bisa bantu apa-apa, tapi gue pengen hibur elo. Gue tahu, lo pasti nggak lagi baik-baik aja walau masih bisa tersenyum di luar. Izinkan junior lo sesekali traktir, meski gaji gue jauh di bawah elo, Mbak.”
”Boleh deh!”
***
Aku menyetujui ajakin Sherly untuk mendatangi salah satu mall ternama. Tiba di sana, kami langsuny menuju area playground seperti yang Sherly katakan tadi. It’s so much fun! Aku bisa tertawa lepas saat berada di tempat itu.
Kenapa waktu itu aku tidak kepikiran untuk ke sini saja? Malah karoekean yang berujung jadi malapetaka.
“Mbak Gladys?” Sherly menepuk lenganku. “Jangan bengong dong!”
Aku tersenyum tipis.
“Lupakan si b******k itu! Nanti dia pasti akan menyesal. Akan ada balasan dari apa yang dilakukan, mari kita lihat nanti. Mungkin sekarang dia masih bisa tertawa senang, tapi itu nggak akan lama. Semisalkan dia nggak mendapatkan balasan di dunia, di akhirat nanti pasti akan dapat. Duh, udah kayak Bu Ustadzah gue, ya? Maklum, kadang-kadang si mama suka maksa gue ikut pengajian.”
Aku terkekeh pelan. “Iya.”
“Nail trampolin yuk, Mbak? Seru banget loh! Gue suka ke sini juga sama adi gue kalau lagi bete.”
“Yang loncat-loncat itu?”
“Iya. Yuk!” Sherly menarik tanganku.
“Malu, Sher.”
“Ye santai aja. Enggak bakalan ada yang ketawain, kok. Di sini area orang-orang yang masa kecilnya kurang bahagia, ada yang lagi galau pengen ketawa lepas tanpa beban, ada juga yang lagi pengen nggak mikirin apa pun selain kesenangan bermain.”
Aku menikmati permainan di tempat ini. Hingga tak terasa 2 jam lebih kami bermain. Kalau Sherly tak mengeluh lapar, aku masih ketagihan di sana. Naik perosotan, trampolin dan banyak lain lainnya.
“Sher, gue pengen ke toilet bentar. Mau ikut?” ujarku setelah kami memesan makanan. “Mules. Mungkin karena tadi makan rujak? Kebanyakan makan mangga dan kedondong gue tadi.”
“Wah, sepertinya iya, Mbak. Efek rujak. Untung gue nggak cuma makan pepayanya aja. Ya udah, gih sana, Mbak! Gue entaran aja habis makan, lapar. Ini cemilan gue datang lebih awal kayaknya.” Sherly menyengir.
“Oke.”
Aku menuju toilet dan segera memasuki bilik toilet yang kosong ketika tiba di sana. Tak begitu ramai, tak antri. Aku duduk di salah satu toilet, perutku begitu mules.
“Wah, ini dibeliin Mas Ben? Serius?”
Aku mengernyit mendengar suara dari balik salah satu bilik itu. Kenapa mendengar nama mantanku itu, jantungnya berpacu dengan cepat? Padahal, belum tentu Ben yang dimaksud orang di luar itu adalah orang yang sama. Ingat akan malam itu ketika Tari mendesahkan nama Ben…
“Lo udah berapa lama pacaran sama dia, sih? Gercep amat. Setahu gue, waktu itu dia kayaknya punya pacar.”
“Emang waktu itu punya pacar.”
Jantungku berdegup. Aku mengenal suara itu, yang tak lain adalah Tari.
“Tapi udah putus, ya? Alasannya karena ceweknya itu sibuk kerja mulu, jarang ada waktu. Terus gitu, kayak tipe alpha gitu, lebih dominan. Jadi Mas Ben merasa harga dirinya sering diinjak sama itu cewek. Mungkin karena merasa pendapatannya per bulan juga besar. Beuuhh dia nggak tahu aja kalau Mas Ben itu uangnya banyak. Sekelas manajer loh, masa spek begitu disia-siain. Ya udah, Mas Ben lama-kelamaan jengah.”
Apa tertawa sumbang. Apa benar Ben bilang seperti itu kepada Tari? Aku dibilang perempuan alpha? Aku memang mandiri melakukan apa pun sendiri selagi aku bisa. Minta tolong kepada Ben untuk hal yang memang tak bisa aku lakukan sendiri. Maksudku, aku tak mau sering menyusahkan Ben. Dia juga merantau di sini. Bagiku, kami cukup berbagi cerita mengenai kegiatan sehari-hari atau rencana masa depan. Atau semisal aku ada kendala di tempat kerja, Ben suka memberikan solusi.
“Belum lama gue jadiannya, tapi gue ngerasa dimanja banget sama Mas Ben. Dia perlakuin gue kayak ratu. Gue nggak lagi tinggal di apartemen sama teman gue, tapi Mas Ben sewain satu rumah buat gue. Perhatian banget dia itu, nggak mau gue bergantungan sama teman gue yang merasa ngerasa udah bantu segalanya buat gue itu.”
“Ya, sih, kadang laki-laki butuh tipe cewek yang manja-manja juga. Nggak yang mandiri merasa bisa segalanya, jadi dia laki-laki itu ngerasa nggak dibutuhin.”
“Betul. Do’ain ya, gue segera sampai ke jenjang pernikahan sama Mas Ben. Nggak perlu pacaran bertahun-tahun. Kalau udah jodoh, nggak perlu harus mengenal lama.”
Tari berharap menikah dengan Ben? Aku ingin sekali menertawainya. Dia tahu sesayang apa orang tuanya Ben padaku. Dan Ben yang melarangku mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang tuanya, Tari juga pasti tahu.
Tak lama suara-suara itu menghilang perlahan. Aku baru keluar dari bilik setelah merasa perutku lebih enakan. Aku mencuci tangan di wastafel, kemudian kembali ke tempat makan.
Namun, baru saja hendak memasuki resto itu, mataku menangkap sosok lelaki yang sangat ingin aku hindari. Yang sudah merenggut mahkotaku. Arsen, lelaki itu terlihat sedang berbicara dengan seorang perempuan di depannya yang sedang memegang buku menu. Mungkin itu istrinya? Aku memang tak tahu bagaimana wajah istrinya. Di bandara waktu itu, hanya terlihat sekilas saja.
Setelah barusan ada Tari yang entah di mana saat ini, lalu sekarang ada Arsen juga? Aku sangat tidak ingin bertemu dengan mereka.
Aku mengurungkan niatku untuk masuk dan mengirimkan pesan kepada Sherly, meminta makananku untuk d take away saja karena aku masih mules dan sepertinya akan lama di toilet. Aku kembali ke arah toilet dan duduk di dalam sana, sambil menunggu Sherly selesai makan. Aku baru keluar toilet saat Sherly bilang telah selesai makan. Kami bertemu di dekat lift. Sherly memberikan makananku yang sudah dibungkus.
“Mau langsung pulang aja, Mbak?”
“Lo mau ke mana-mana dulu nggak?”
“Nggak ada, sih. Nggak boleh pulang terlalu malam sama mama gue, Mbak. Maklumin, anak perempuan satu-satunya.” Alasan Sherly belum punya pacar hingga saat ini, karena orang tua dan kedua saudaranya yang protektif. Lelaki yang ingin bersama Sherly, harus mendapatkan persetujuan dari saudaranya dulu. Dia memiliki abang yang telah menikah yang seumuran denganku, satu lagi adiknya yang masih kuliah. Yang suka mengawasinya ke mana-mana. Tadi saja, Sherly ditelepon dan aku sempat berbicara dengan adiknya itu.
“Oke, mari kita pulang.” Aku mengantarkan Sherly pulang terlebih dahulu. Awalnya dia hendak dijemput, tapi aku bilang akan mengantarkannya karena dia pergi bersamaku.
***
Begitu keluar dari mobil di parkiran basement apartemen dengan menenteng plastik berisi box makananku, ada Ben yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Ben berdiri di depanku dengan raut wajah itu, terlihat kalem seperti lelaki baik-baik namun brengsekk aslinya. Benar kata Sherly, yang seperti itu justru kebanyakan berbahaya. Diam-diam, bergerak di dalam keheningan mencari mangsa. Aku tak tahu, apa sebelumnya dia seperti itu di belakangku? Hanya saja, baru ketahuan sekarang. Masa iya dia tiba-tiba pro begitu bersama Tari? Keduanya tak jauh berbeda.
Malam yang sunyi, seolah waktu sengaja melambat untuk menyiksa hatiku yang masih terasa perih. Apa lagi ketika berhadapan dengan tersangka pembuat luka. Setelah beberapa detik, aku terdiam. Aku menatap wajahnya datar, menahan amarah yang rasanya ingin meledak. Ingin rasanya aku menampar, memukul, mencakar hingga mengumpatinya, tapi apa gunanya itu semua? Tak akan mengubah sesuatu yang telah terjadi. Kata maaf darinya pun, tak akan mengubah gelas yang sudah pecah. Tak akan bisa utuh dalam bentuk yang sama.
Ben menunduk wajahnya. Sesaat kemudian, lelaki itu baru menatapku. Menatap perempuan yang baru setengah tahun lalu dimintanya untuk menjadi istrinya. Kalau belum siap berkomitmen karena masih ingin main-main, kenapa melamarku?
“Gladys... boleh aku bicara sebentar?" tanya Ben dengan nada bicara lembut. Tapi, aku sama sekali tak tersentuh lagi dengan tutur kata lembut lelaki itu.
"Apa lagi sih, Ben?" tanyaku mendesah lelah. "Masih mau nyakitin aku lagi?" Ben sempat menyalahkanku juga kemarin ini. Dia bilang, dia kurang kasih sayang dariku. Aku terlalu sibuk katanya belakangan ini. Padahal, di sela kesibukanku, aku terus berusaha untuk tetap menjaga komunikasi dengannya. Lalu, aku teringa kata-kata Tari yang aku dengar dari bilik toilet tadi.
Ben menggeleng. "Aku cuma mau mastiin kalau kamu nggak bicara apa pun dulu sama orang tuaku, Dys. Kamu nggak respon chat dan teleponku soalnya. Makanya, aku datang ke sini. Aku tahu kamu marah banget sama aku, tapi aku mohon— "
"Sudah berapa lama kamu mengenal aku, Ben? Apa aku akan sejahat itu?”
“Aku nggak tahu. Karena kamu sedang marah saat ini, biasa aja kamu dendam dan cerita semuanya.”
”Apa dari kemarin-kemarin aku ada cerita?” Aku memejamkan mataku, menghela napas berkali-kali.
Lelaki itu menggelengkan kepala.
"Aku nggak datang untuk membela diri.” Suara Ben terdengar serak. Aku tak tahu dia benar-benar merasa sedih atau hanya sekedar akting semata. Aku tak bisa membedakannya sekarang mana yang asli dan palsu, kepercayaanku padanya telah hilang sejak malam itu. "Aku nggak akan nyari alasan buat apa yang udah aku lakuin. Aku tahu... aku hancurin semuanya. Kita. Kamu."
Aku diam. Mataku menatapnya dengan tatapan lelah. Tak ada energi untuk marah.
"A-aku... aku selingkuh. Dan itu salahku, aku tak membenarkan apa yang telah aku lakukan. Aku khianatin kamu, dan aku terima semua akibatnya," lanjut Ben. Tangannya terlihat mengepal di sisi tubuhnya. "Tapi aku datang ke sini karena satu hal... satu permintaan terakhir."
Ben menatapku lekat dan matanya tampak berkaca-kaca. Terlihat pada cahaya yang minim di parkiran ini. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku tak iba, aku hanya… terlalu kecewa.
"Tolong... jangan bilang ke orang tuaku bahwa kita sudah berakhir.” Ben meraih kedua tanganku. “Tolong, Dys… aku mohon banget.”
Aku melepaskan kedua tangannya itu, tak sudi disentuh. Seketika ingat, bagaimana lelaki itu b******u dengan Tari. Aku jijik mengingatnya. Aku juga melakukan hal menjijikkan dengan Arsen, aku pun juga jijik melihat tubuhku sendiri yang terjamah sebelum ikatan pernikahan. Aku memegangi kepalaku, kembali terasa nyeri mengingat apa yang telah aku lakukan bersama suami orang. Apa bedanya aku dengan Ben? Kami sama-sama melakukan hal hina sebelum menikah. Bahkan, aku lebih parah darinya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau istrinya Arsen dan Tante Hanifah tahu. Tante Hanifah, ibu dari Arsen itu begitu dekat denganku dulu sebelum aku pindah. Dia pasti akan kecewa sekali.
Lo jalang, Dys! Lebih jalang dari Tari yang melakukan itu sama laki-laki single.
“Pergi!!” Kepalaku semakin berdenyut. Kehilangan keperawanan mungkin bagi kebanyakan perempuan saat ini sudah tabu, tapi tidak bagiku. Bayangan bangun di pagi hari di ranjang yang sama dengan suami orang tanpa pakaian, ranjang yang berantakan dengan noda darah di sprei… hal itu terus membayangi hari-hariku. Juga ketakutan akan image pelakor semisal istrinya Arsen tahu. Aku harus bagaimana?
“Ibu baru masuk rumah sakit, Dys. Jantungnya makin lemah. Ayah juga masih dalam masa pemulihan. Mereka semuanya sakit... dan kamu tahu kalau mereka sayang banget sama kamu. Kamu tahu itu.”
“Aku bilang, pergi!!” Aku bersandar pada mobilku. Ben terus saja mengoceh membuat kepalaku semakin sakit. Dia yang salah, kenapa menekanku begini? Tapi aku terlalu malas menyahut, selain isi kepalaku sudah sangat berisik.
“Mereka percaya kamu akan jadi bagian dari keluarga. Mereka bicara soal pernikahan kita hampir setiap saat, nyiapin ini itu—Ibu yang udah nggak sabar banget kamu jadi menantunya. Kamu tega nyakitin hati ibu aku yang udah anggap kamu kayak anaknya sendiri?”
“Udah, Ben… jangan ngomong apa-apa lagi.” Aku memijit-mijit kepalaku. Rasa kecewa pada Ben bercampur dengan bayangan kebodohanku malam itu. Tempat yang tak seharusnya aku datangi.
"Kalau mereka tahu aku yang menghancurkan semuanya karena pengkhianatan bodoh ini—aku nggak yakin mereka sanggup nerimanya. Mereka bisa patah, Gladys. Dan a-aku... aku nggak bisa biarin itu terjadi."
“Cukup, Ben.” Aku mengangkat satu tanganku memintanya untuk berhenti berbicara. Tidak kah dia mengerti? Tidak kah dia melihat aku sedang tak baik-baik saja diajak berbicara?
"Aku bukan minta kita balikan. Aku tahu aku udah lewati batas. Aku cuma minta... jaga ini sementara. Jangan dulu kasih tahu mereka. Biarkan mereka percaya... sebentar saja... biarkan dulu mereka menganggap bahwa kita masih bersama, masih baik-baik saja."
“Iya, oke.” Aku menyahut singkat, mendebat juga tak ada tenaga. Aku ingin segera ke unitku, merebahkan diri.
“Terima kasih ya, Dys. Kamu— “
“Stop ya, Ben. Kamu nggak usah banyak bacot lagi. Minggir, aku mau lewat.”
Aku legah ketika Ben tak menghalangi jalanku. Sebelum menuju unitku, aku ke lobi terlebih dahulu. Aku akan mengambil paket yang dititipkan di sana. Aku belanja online dan mengirimkan ke alamat apartemen, tidak ke kantor. Karena aku sering tak berada di kantor, kadang usai ada meeting langsung balik pulang ke apartemen.
“Terima kasih ya, Mas,” ujarku pada resepsionis yang apartemen yang berjaga saat mengambil paketku.
Saat berbalik badan, mataku membola melihat seseorang yang berdiri tak jauh dariku. Ngapain dia ke sini? Dari mana tau tempat kalau aku tinggal di apartemen ini?
Aku memutus kontak mata kami, melangkah ke arah samping menuju lift. Kenapa harus bertemu dengan orang-orang yang ingin aku hindari selamanya? Baru saja bersenang-senang, tertawa lepas bersama Sherly, namun kesenangan itu hanya sesaat saja. Aku kembali dihadapkan oleh kedua orang dari masa laluku.
“Gladys, tunggu!”
Aku tetap melangkah—mengabaikan suara itu. Hingga pergelangan tanganku dicekal.
“Kenapa lagi sih, Kak?” Aku menghempas cekalan tangan lelaki itu pada pergelangan tanganku. “Tahu di mana kalau aku tinggal di sini? Kamu ngikutin aku? Maksud kamu apa? Sadar, kamu itu udah punya istri,” ujarku mencicit di akhir kalimat. Tak ingin ada yang mendengar meski aku tak mengenal penghuni di sini. Tak enak saja didengar orang hal seperti itu.
“Kamu nggak balas chat saya, makanya saya ke sini. Mudah bagi saya hanya untuk sekedar tahu alamat kamu saja.”
Aku terkekeh sini. “Apa gunanya, Kak?”
“Urusan kita belum selesai, Dys.” Lelaki itu mengedarkan pandangam ke arah sekitar. “Ayo ikut saya! Kita harus bicara, nggak bisa di sini. Atau mau di unit kamu? Ada di lantai berapa? Nomor berapa?”
“Apa lagi sih, Kak?” tanyaku jengah. “Kita nggak ada urusan apa-apa lagi.”
“Chat saya waktu itu, kamu udah lakuin? Kamu udah minum morning-after pill?”
Aku memang mengabaikan pesan dari Arsen kala itu, dia yang chat memintaku menyimpan nomornya. Hingga saat ini, aku tak pernah membuka chat darinya. Tak memperhatikan pesan yang masuk, chat-nya mungkin ada di bagian bawah.
Pada hari itu, pulang dari sana, aku langsung menuju apartemen untuk mandi lagi dan berganti pakaian. Setelahnya buru-buru ke kantor karena dapat telepon, client meminta segera mengerjakan laporan yang aku audit bersama kedua juniorku pada minggu lalu. Juniorku tentunya tak menguasai semuanya, aku yang bertanggung jawab penuh. Kala itu, aku pulang malam dan baru ingat untuk membeli pill setelah berhubungan badan. Aku tak ingat jam berapa aku melakukan hubungan badan dengan Arsen malam itu. Seharusnya pil itu masih berfungsi sebelum 24 jam, bukan?
Aku tak tahu persis. Hanya sekedar membaca beberapa artikel.
“Kamu minum kan, Dys? Kamu tahu kan, kalau bisa minum pil pencegah kehamilan setelah berhubungan badan?”
“Nggak usah ngurusin aku, Kak! Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”