Arsen's PoV
"Akkhhh... sakit!"
"Tahan sebentar, Sayang. Sakitnya cuma di awal aja." Aku tersenyum, berhenti sejenak mendorong masuk milikku di bawah sana. "Ini demi kebaikan hubungan kita... semoga setelah ini menjadi semakin lengket karena telah menyatu. Dan orang tua kita akan segera menimang cucu."
Aku menggelengkan kepala. Rekaman itu terus saja berputar di benakku setiap harinya. Masih tak menyangka jika yang aku perawani bukan lah istriku sendiri, melainkan tetangga depan rumahku dulu yang pernah mengejar-ngejarku?
Hari itu aku mencoba terus mengingat apa yang telah aku lewati semalaman, hingga puing-puing itu muncul walau samar-samar. Aku yang mungkin saja saat itu mengira jika melakukan hubungan intim dengan istriku sendiri? Karena pusing? Mabuk sekaligus galau mengingat hubunganku dan istriku? Mungkin saja sudah ada rasa cinta untuk Sania tanpa aku sadari, entah lah.
Gara-gara minuman itu, pasti itu lah penyebab yang membuat hasratku tak tertahankan. Biasanya, aku masih sanggup menahan diri meski kadang Sania berkeliaran di depanku menggunakan piyama one set di atas paha. Mungkin karena kami yang tak pernah tidur di kamar yang sama. Tentunya beda dengan malam itu saat aku mabuk dengan pengaruh obat juga.
Sampai saat ini, aku masih bungkam. Tak bisa menceritakan kejadian yang telah aku lalui kepada Sania. Dan tetap mengusahakan hubungan kami menjadi lebih baik. Semoga saja lama-kelamaan Sania bisa berubah. Meski pagi itu Sania tampak kesal saat menjawab teleponku, aku tak ikut emosi. Sore hari aku sudah pulang dan Sania tiba di rumah saat maghrib. Setelah dia mandi, aku mengajaknya berbicara baik-baik. Dan setelah hari ini, kami tak ada lagi berdebat.
Malam ini, aku sedang makan malam di sebuah restoran dalam sebuah mall ternama. Aku tadi menjemput Sania ke kantor dan mengajaknya ke mall. Sania berbelanja dan setelahnya baru kami menuju sebuah restoran.
"Kamu mau pesan apa, Mas?"
"Samain aja kayak kamu."
"Oke."
Saat aku beralih dari Sania ke arah sekitar, mataku tak sengaja menangkap sosok Gladys yang berbalik badan. Apa karena dia melihatku di dalam sini?
Gladys, perempuan itu tak membalas pesanku sejak pagi itu. Hingga siang hari aku kembali berkirim pesan padanya, tapi tak dibaca. Aku ingin memastikan, apa kah dia sudah meminum pil pencegah kehamilan?
Bukan berarti aku tak mau bertanggung jawab jika dia benar-benar hamil. Tapi, setidaknya bisa meminimalisir tidak terjadi kehamilan. Aku memang bersalah, tapi kan aku tak mungkin juga meninggalkan istriku karena telah meniduri perempuan lain. Ibuku akan syok, dan dariku sendiri juga ingin mempertahankan pernikahan kami. Aku akan bertanggung jawab dengan caraku nanti, semisal Gladys hamil.
"Mama minta kita datang ke acara keluarga di Bogor hari Sabtu nanti, Mas," ujar Sania membuatku kembali menoleh padanya. "Kamu bisa?"
"Aku usahain, ya! Nanti kalau aku ada operasi dadakan, aku akan menyusul."
"Oke, Mas."
Selesai makan, saat baru melangkah tak jauh dari restoran, aku kembali melihat Gladys. Aku merasa tak tenang belum mendapatkan jawaban darinya apa kah hari itu dia sudah meminum pil atau belum. Aku harus kembali berbicara dengannya. Bagaimana caranya? Aku berpikir sejenak. Karena sepertinya menghubungi via telepon, chat atau akun media sosialnya, tak digubris.
Aku mengeluarkan ponsel dari celanaku. Dan tanganku bergulir di atas layar ponsel, pura-pura sedang mengetikkan sesuatu di sana.
"San, aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu... maaf, kamu naik taksi aja pulangnya, ya? Aku akan pulang nanti, kamu tidur dulu aja enggak usah nungguin." Maafin aku, San. Aku harus memastikan bahwa nggak akan ada yang mengganggu hubungan kita suatu saat nanti.
Dan Gladys, seharusnya tak ada masalah jika tak ada jejakku yang tertinggal dan berkembang di dalam rahimnya, bukan? Zaman sekarang, banyak lelaki yang mau-mau saja menikah—menerima perempuan menjadi istrinya walau perempuan itu sudah tidak suci lagi. Karena tujuan sebenarnya menikah itu bukan hanya sekedar berhubungan di atas ranjang saja.
"Oke, Mas."
Kami memang belum tidur di ranjang yang sama. Tak apa, mungkin sebentar lagi. Setidaknya Sania tak lagi berbicara ketus. Dan kami sepakat untuk tak lagi membahas perihal mantan kekasihnya yang beberapa kali membuat kami adu mulut, meski intonasi suaraku tak pernah benar-benar meninggi kepadanya.
"Ya udah, Mas, aku turun pakai eskalator aja. Turun satu lantai doang ke lobi, enggak usah di antar. Kamu turun pakai lift aja ke parkiran, biar cepat.”
"Oke. Sekali lagi, maafin aku, ya... "
"It's okay, Mas. Aku mengerti profesimu itu."
Aku tersenyum tipis. Tanganku terulur mengusap rambutnya sebelum berpisah. Aku melambaikan tangan pada Sania saat perempuan itu akan melangkah menuruni lift. Dan senyumku langsung luntur ketika tak lagi tampak sosok istriku itu. Saat aku berbalik badan, aku melihat Gladys berjalan ke arah lift. Aku menundukkan kepala, lalu meraih masker yang kebetulan ada di dalam celanaku. Masker medis. Aku melangkah dengan cepat ke arah lift juga. Aku berdiri di sebelahnya persis saat tiba di depan lift.
Terdengar suara Gladys berbicara dengan temannya di dekatku. Mereka memasuki lift dan aku pun juga. Aku keluar di lantai yang sama dengannya. Aku mengikuti mereka hingga keduanya memasuki sebuah mobil, Gladys yang mengendarai mobil tersebut.
***
Aku mengikuti mobilnya Gladys hingga mobil itu berhenti di depan sebuah rumah. Ternyata Gladys hanya drop temannya di sana, dan kembali melajukan mobilnya. Aku mengikuti hingga perempuan itu memasuki sebuah apartemen. Sayangnya, aku tak bisa masuk ke dalam karena tak punya kartu akses dan hanya bisa parkir di parkiran bagian depan apartemen. Baik lah, aku akan bertanya nanti kepada resepsionis. Pokoknya, malam ini aku harus bisa bicara dengan Gladys. Aku tak tenang karena belum menemukan jawaban dari pertanyaanku.
Setelah memarkirkan mobil dan membuka sabuk pengaman, aku menepuk jidatku karena lupa bertanya kabar Sania apa kah dia sudah tiba di rumah atau belum. Aku tentu merasa bersalah telah membohonginya. Tapi ini aku lakukan juga demi mempertahankan hubungan kami.
Panggilan kedua, teleponku baru diangkat oleh Sania.
"Kamu udah sampe di rumah? Aku baru sampe rumah sakit," ucapku yang terpaksa berbohong.
"Belum, Mas. Aku mampir mau beli kopi, baru setelah itu pulang."
"Ooh ya udah. Kamu hati-hati."
"Iya, kamu juga, Mas. Hati-hati nanti bawa mobilnya.”
Aku menuju lobi apartemen setelah menghubungi Sania. Baru saja masuk ke dalam lobi, aku mendapati Gladys di sana. Jadi, tak perlu lagi bertanya kepada resepsionis. Dan masih saja, Gladys tak menjawab pertanyaanku.
"Tinggal jawab doang, apa susahnya sih, Dys? Minum apa enggak? Saya kan juga mau mastiin akan bagaimana ke depannya. Keras kepala banget."
Gladys seperti bukan Gladys yang aku kenal dulu. Dia tampak berbeda. Gladys yang dulu adalah seorang perempuan yang ceria, bawel. Mau gimana pun dulu aku berkata yang mungkin menyinggung perasaannya, dia tak pernah marah. Mungkin berbeda saat ini karena apa yang telah kami lakukan malam itu? Aku mengaku salah, meski tanpa disengaja. Tapi, apa dia tak bisa bekerja sama agar segalanya menjadi lebih mudah?
“Kak, aku bukan anak kemarin sore. Aku ngerti apa yang mesti aku lakukan. Udah ya, aku capek nggak mau debat. Cukup ini yang terakhir kita ketemu lagi. Semisal enggak sengaja bertemu di jalan, anggap aja kita nggak saling mengenal satu sama lain.”
“Oke. Tapi tetap harus kita bahas, gimana kalau malam itu menghasilkan sesuatu tanpa bisa dicegah? Saya nggak mau jadi orang brengsekk yang pura-pura nggak tahu apa-apa. Kita harus bikin kesepakatan kalau—
“Gladys… “
Aku menoleh dan mendapati seorang lelaki berjalan mendekat ke arah kami.
“Ada apa, Ben?” Aku memperhatikan raut wajah Gladys yang langsung tampak sumringah menyahut sapaan orang itu. Siapa lelaki itu?
“Ibu mau ngomong katanya sama kamu. Bisa ditelepon sekarang?”
“Ooh… boleh. Aku juga kangen sama Ibu. Ayo! Kota ngobrol di sofa sana aja.” Gladys menggamit lengan lelaki itu menuju sofa tanpa menoleh lagi padaku.
Aku mengusap wajahku kasar. Kapan ada waktu bisa berbicara dengan benar?
Dan lelaki barusan… apa dia kekasihnya Gladys?
Apa nanti semisal Gladys hamil dan melahirkan, darah dagingku itu akan memanggil orang lain sebagai ayah?
Aku menggeleng. Aku telah memikirkan berbagai macam cara untuk bertanggung jawab, kalau kemungkinan buruk terjadi. Tentunya dengan tetap bersama Sania juga. Aku butuh waktu untuk jujur, mungkin suatu saat nanti pada waktu yang tepat. Aku tak sengaja malam itu, benar-benar bukan berniat meniduri perempuan lain.