Gladys's PoV
Aku masih punya hati dan menahan diri untuk tidak membocorkan bagaimana kelakuan brengsekk Ben. Tapi suatu saat, aku pasti akan cerita, setidaknya kepada ayah dari lelaki itu setelah memastikan ibunya telah keluar dari rumah sakit. Entah bagaimana nanti respon ayahnya, bukan lagi urusanku. Biar Ben yang menanggung resiko atas kelakuannya sendiri.
Sebelum berbuat, tidak kah dia memikirkan resikonya? Sebusuk-busuknya bangkai, pasti akan tercium juga. Dia atau pun Tari pasti tak akan menyangka jika aku akan ada di apartemen kala itu. Syukur lah aku tak memberitahu Tari jika akan pulang hari itu juga. Mungkin sudah waktunya kebusukan mereka berdua terbongkar.
Ben tak ada menggangguku lagi, tepatnya sejak malam itu. Mungkin dia kaget karena aku tahu jika dia masih tetap jalan bersama Tari. Hmm... mungkin Ben menyukai perempuan yang bisa memberikannya 'service'? Benar kata Sherly, banyak lelaki yang terlihat kalem, aslinya sangat luar biasa bajingannya.
"Ini terakhir kalinya aku bicara sama orang tua kamu ya, Ben," ujarku setelah kami duduk di sofa lobi. “Aku akan bilang jika ingin segera tidur karena besok ada pagi sekali ada agenda.” Setelah melihat Kak Arsen pergi, tentunya aku tak ingin berlama-lama di dekat Ben.
Aku barusan sekilas melihat Ben sumringah sebelum aku berbisik di dekat telinganya. "Jangan ge-er atas sikapku barusan. Aku hanya sedang menghindari orang nggak jelas yang tiba-tiba datang menyapa."
"Siapa emangnya dia?"
"Nggak tahu. Dah, buru, telepon ibumu sekarang!" Ben memang tak tahu Kak Arsen. Sejak dulu waktu kami masih kuliah dan aku suka cerita, aku tak pernah menunjukkan foto Kak Arsen. Aku memberitahu namanya saja.
"Dys, terlalu banyak kenangan di antara kita. Apa kamu—
"Jangan bahas apa pun tentang yang udah-udah, aku nggak sudi dengarnya." Tentu tak mudah bagiku melupakan kenangan di antara kami, tapi aku akan berusaha menguburnya sedalam mungkin. Tapi, aku tak boleh terlihat lemah di hadapan lelaki brengsekk ini.
"Maaf. Aku benar-benar menyesal. Tari yang deketin aku terus-terusan dan bisa-bisanya aku tergoda. Aku khilaf, Dys, ternyata dia emang sengaja pengen miliki apa yang kamu punya. Dia manfaatin aku."
"Nggak usah banyak omong, Ben. Aku tahu semuanya, sejak kapannya kalian jadian dan sampai sekarang masih berhubungan. Bahkan, kamu juga sewain rumah untuk dia, 'kan? Luar biasa sekali, Ben yang sangat royal kepada pasangannya. Biar dikasih yang enak-enak ya, Ben?” Hatiku masih saja sakit mengingat malam itu, sakit bertanya seperti ini.
"Tari cerita sama kamu? Jangan percaya, dia— "
"Buruan telepon ibu kamu sekarang! Atau nggak sama sekali?!"
"Kamu udah benci banget sama aku kayaknya ya, Dys?"
Sungguh, itu pertanyaan yang tak perlu dijawab. Yang harusnya dia sendiri sudah tahu jawabannya. Mungkin rasa cinta itu masih ada, mengingat hubungan kami yang sudah terjalin lama—banyak suka duka yang kami lalui berdua, dan juga sudah ada rencana menikah pada tahun depan. Namun, aku harus mengikhlaskan itu semua. Tak akan ada kata 'kami' di antara aku dan Ben.
Aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalaku pada kursi dan memejamkan mata. Sudah seminggu berlalu, bayang-bayang akan Ben masih saja datang menghampiri. Kenangan manis yang terpaksa harus aku kubur. Aku yang harus mengingat hal buruk tentangnya untuk menghapus kenangan manisnya.
"Mbak, Dys... "
Aku membuka mataku ketika merasakan tepukan pelan pada bahuku. Ada Aura, juniorku yang telah berdiri di dekat kubikelku. "Kenapa, Ra? Sorry, gue ngantuk banget." Aku memijit-mijit keningku.
"Mau ikut makan siang bareng nggak, Mbak?"
"Mau ke mana emangnya?"
"Belum tahu, tapi mentok di foodcourt bawah, sih."
"Gue mau nitip aja, boleh?"
"Kenapa nggak ikut aja, Mbak? Gue berdua doang sama Sherly, dia lagi ke toilet dulu barusan."
"Gue masih ada yang harus dikerjain nih, Ra. Habis jam makan siang, mau kasih ke Bu Tri. Udah ditungguin."
"Oke-oke. Mau nitip apa?"
"Mau soto ayam, kayak biasa sambel dipisah. Nasinya sedikit aja." Biasanya aku membawa bekal, hanya sesekali saja beli jika sedang tak sempat memasak. Aku bisa mengumpulkan banyak uang hingga saat ini, karena kehidupan sehari-hariku yang cukup hemat. Hingga kemarin ini sanggup membeli hadiah jam tangan untuk Ben juga, harga 10 juta yang bagiku sudah sangat mahal. Jam tersebut nantinya akan aku berikan pada adik bontotku saat dia sudah kuliah. Saat ini, aku akan menyimpannya saja. Adikku masih sekolah dan tak boleh menggunakan barang mahal, tak sesuai dengan kehidupan keluarga kami.
Aku melanjutkan kembali kerjaanku setelah Aura dan Sherly pergi makan siang. Aku sendiri nanti sepertinya akan makan siang sambil mengetik. Ada limpahin berkas dari client sesama senior denganku yang harus aku selesaikan sesuai permintaan atasanku. Itu karena rekanku itu mendadak cuti karena lahiran. Harusnya lusa dirinya baru cuti, namun tiba-tiba mengalami kontraksi.
Aura dan Sherly kembali pukul 12:45, dan aku tak bisa langsung makan karena atasanku menelepon dari ruangannya. Ada yang hendak dibahasnya denganku dan beberapa orang lainnya juga. Aku menuju lift sambil membawa file yang sudah aku selesaikan dan print sekitar 10 menit yang lalu, sekalian memberikannya kepada atasanku tersebut.
"Lama banget lift-nya. Kenapa deh?" gumamku sambil menekan tombol di dekat lift berkaitan. "Gue naik tangga aja kali, ya?"
Aku akhirnya memutuskan untuk naik tanggak saja ke lantai di mana ruangan meeting berada, berjarak 2 lantai dari lantai di mana ruanganku berada.
"Gladys masih jadi target gue, sih.”
Aku menghentikan langkahku yang hendak menaiki tangga ketika mendengar suara yang menyebut namaku. Aku mundur perlahan dan bersembunyi di balik tembok. Sepertinya kedua orang itu duduk atau berdiri di tangga pas belokan, makanya suara itu masih terdengar olehku yang baru beberapa langkah naik.
"Gila lo! Pacar orang itu."
"Justru itu, tantangan bagi gue. Gue pengen nyicip pacar orang!" Terdengar kekehan lelaki itu. Aku mengenal siapa pemiliki suara itu. "Sialann banget waktu itu gue diusir, kalau nggak, malam itu sabi lah gue tidurin dia. Penasaran, gimana bentuk badannya di balik baju kerjanya yang nggak pernah kelihatan seksi itu. Sopan, tapi menggoda jadi pengen tahu isi dalamnya."
Kedua tanganku mengepal dan deru napasku naik turun mendengar kata-kata tak bermoral itu.
"Gimana dia malam itu, ya? Apa dia tidur sama pacarnya? Gue yakin, dia kelihatan baik-baik di sini aja. Kan kita nggak tahu gimana gayanya pacaran, apa lagi udah 3 tahun. Duh, kesel banget gue! Udah masukin obat ke minumannya, malah cewek gue telepon."
Lelucon macam apa ini? Kenapa orang-orang di sekitarku begini?
Setelah Ben dan Tari, sekarang ada Mas Bima??
Aku mulai berkeringat dingin. Mas Bima yang aku kenal sebagai lelaki dewasa dan soft spoken, ternyata...
Tak kusangka jika Mas Bima memiliki niat jahat padaku. Andai malam itu aku tak mengusirnya, bisa jadi dia lah yang merenggut kehormatanku? Di dalam minumanku telah dicampur obat, jadi aku tak sekedar mabuk saja? Obat jenis apa yang dia berikan pada minumanku? Kenapa aku tak menyadarinya?
Ponselku bergetar dan aku segera menekan layar agar senyap. Atasanku mengirimkan pesan agar segera menuju ruangan meeting. Tak jadi lewat tangga yang akan menghambat waktuku, aku kembali menuju llit dan tiba di sana pintu lift langsung terbuka.
Bagaimana aku akan tenang di kantor ini jika ada seseorang yang berniat jahat padaku?
Ya Tuhan, kenapa tak henti-hentinya cobaan datang kepadaku?
***
Dua minggu kemudian...
Aku legah karena Mas Bima tiba-tiba dimutasi ke kantor cabang di Surabaya. Entah apa alasannya, aku senang mendengarnya. Aku tak berkata apa pun padanya sejak mengetahui niat jahatnya itu, karena takut dia akan semakin berani. Aku hanya cerita kepada Sherly.
Namun, rasa senangku hanya sesaat ketika Aura uring-uringan karena datang tamu bulanan lebih awal dari masa seharusnya, sedangkan dia lupa membawa celana ganti. Aku menegang karena baru menyadari jika bulan ini aku belum haid. Aku buru-buru mengecek kalender, ternyata sudah lewat 10 hari. Aku pucat seketika.
Seharusnya semua baik-baik saja, bukan?
Aku sudah minum pil pencegah kehamilan kala itu. Aku menggelengkan kepala. Yang tenang, Dys... tenang.
Aku tahu aku salah, telah datang ke tempat seperti itu dan berakhir mabuk. Hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Aku yang merasa sedih—hancur karena pengkhianatan kekasih dan seseorang yang telah aku anggap sebagai saudara, hanya ingin menghibur diri sejenak kala itu. Aku tak menduga jika akan terjadi hal yang tak diinginkan. Mana aku mengira jika seorang lelaki bisa menyelinap masuk begitu saja ke ruangan yang sudah aku booking?
Apa jejaknya Kak Arsen tertinggal dan tumbuh di dalam perutku sini? Berapa kali kami melakukannya malam itu? Mengingat ucapan Mas Bima yang bilang jika dalam minumanku telah diberi obat, apa aku malam itu dibuat b*******h karena minuman itu? Aku sama sekali tak ingat. Yang aku ingat sekilas, Kak samar-samar bayangan Kak Arsen menciumku ketika aku menghampirinya. Tidak terlalu jelas.
"Mbak, lo pucat banget. Sakit kah?" tanya Sherly yang baru membawa helaian kertas di tangannya. "Ini, Mbak, yang lo pinta udah selesai."
"Nggak, kok. Cuma nggak lagi pakai lipstik aja." Aku tersenyum tipis. "Makasih ya, Sher. Gue akan koreksi."
Aku tak tenang hingga waktu pulang kerja. Sebelum kembali ke apartemen, aku mampir di apotik terlebih dahulu. Aku menggigit bibir bawahku, gelisah hendak membeli alat yang tadi aku telah browsing.
"Mau beli apa, Mbak?" tanya pegawai apotik itu ramah.
"Ada test pack nggak, Mbak? Yang paling bagus mereknya."
"Baik, sebentar."
Perempuan itu kembali dengan membawa dua jenis test pack padaku. “Ada beberapa jenis sebenarnya, Mbak. Ada jenis test pack strip, pregnancy cassette test, dan test pack digital.”
“Bedanya apa? Boleh dijelasin?”
Perempuan itu menunjukkan salah satu test pack di tangannya mulai menjelaskan jenis alat test kehamilan yang disebutnya barusan kepadaku.
"Boleh, Mbak. Saya mau semua jenis test pack yang ada di sini, ada 4 merek, ‘kan?”
"Oke.”
“Sebaiknya digunakan pada waktu pagi hari saat bangun tidur, Mbak. Karena kadar hCG lebih tinggi pada pagi hari. Jadi, biasanya hasil itu jarang yang meleset.”
***
Semalaman aku tak henti-hentinya berdo’a memohon ampunan atas segala hal tidak baik yang pernah aku lakukan tanpa sengaja aku lakukan. Tidak… bukan hari-hari ini saja aku memanjatkan do’a. Sebelumnya juga aku sering berdo’a agar diberikan hal-hal yang baik dalam hidupku. Memang ibadahku tak sempurna meski sudah 6 tahun berpindah keyakinan. Kesibukan dalam urusan mengejar dunia, kadang membuatku suka lupa. Ada banyak hal yang aku inginkan, ada adikku yang aku ingin mendapatkan kehidupan yang baik, kuliah dan bisa bekerja di tempat yang benefit. Dan banyak hal lainnya, salah satunya menabung untuk biaya menikah juga karena aku tak ingin menyusahkan Ben sendiri. Aku yang ingin biaya pernikahan kami ditanggung berdua. Semua hanya sebatas harapku saja, telah pupus karena mungkin Ben tak sungguh-sungguh ingin menikah denganku.
Benar, ‘kan?
Kalau Ben serius, seharusnya dia tak selingkuh. Godaan apa pun itu, harusnya dia bisa membentengi dirinya.
Entah jam berapa aku tertidur semalam, pagi ini aku aku bangun lebih siang biasanya. Untung saja hari ini adalah hari Sabtu. Mengingat apa yang sudah aku beli semalam, aku pun meraih salah satu benda dari dalam plastik kecil berlogo apotik itu.
“Jangan… jangan sampe… “ Aku memejamkan mataku mencoba alat pertama. Dan menampung juga sedikit di wadah untuk mencoba alat kedua setelahnya. Aku setiap buang air kecil pada pagi hari bangun tidur, sangat lah banyak setiap harinya.
Aku tak langsung membuka mata. Hingga beberapa saat, dengan tangan gemetaran, aku memberanikan diri melihat hasil tersebut. Dua garis merah di sana dan aku telah mengetahui apa artinya.
“Nggak… nggak mungkin. Gue kan udah minum pil. Belum 24 jam seharusnya masih berlaku!! Ah, ini pasti ada yang salah. Ngaco ini test pack-nya!” Aku melempar asal benda tersebut. Aku bergegas keluar kamar mandi dan menuju ke meja di mana plasti apotik berisi test pack jenis lainnya. “Nah, yang ini kayaknya benar karena mahal juga,” ujarku terkekeh.
Aku mencelupkan benda tersebut pada wadah yang telah berisi urine-ku. Pastinya wadah tersebut bersih dan tak tercampur dengan air biasa. Aku keluar kamar mandi sambil membawa alat tersebut mondar-mandir, mulutku komat-kamit memohon agar hasilnya berbeda dari yang tadi.
Dan tubuhku merosot di lantai ketika mendapati hasil yang sama, indikasi yang sama-sama menunjukkan bahwa aku positif hamil.
“Ma, aku harus gimana?”
Aku terkekeh pelan. “Kenapa cobaannya berat banget?” Aku mengusap air mataku. Lalu, tanganku beralih menyentuh perutku yang datar. Benar kah telah ada kehidupan lain di dalam sini?
Masih tak percaya rasanya. Setelah lama terduduk di lantai kamar tanpa melakukan apa pun, aku bangkit berdiri menuju kamar mandi. Aku akan ke rumah sakit hari ini juga. Bisa saja, semua alat yang tadi aku coba tak ada yang berfungsi? Mana tahu…
Aku tiba di rumah sakit pada pukul 10. Karena aku tak tahu jika harus membuat janji dulu, aku dapat nomor antrian ke-8.
“Gladys Anastasya… “
Aku mendongak. Sudah waktunya aku masuk? Rasanya begitu cepat atau aku yang melamun hingga tak menyadari waktu yang terus berjalan? Benar, saat ini sudah menunjukkan pukul setengah 12 siang.
“Sudah mencoba pakai test pack sebelumnya?”
Aku mengangguk. “Sudah, Dok.”
Tadi di luar saat di data untuk catatan medis pasien, aku ditanya oleh perawat mengenai Hari Pertama Haid Tarakhir, timbang juga di sana. Berat badanku turun 4 kg pada dalam sebulan ini. Mungkin karena aku stress dan pola makan juga mulai tak teratur—sering tak nafsu makan? Dari saat pulang kerja kemarin saja, aku belum menyentuh makanan apa pun selain minum air putih.
Aku diminta berbaring di ranjang pasien. Bagian perutku diolesi gel dan dokter menggerakkan sebuah alat pada bagian yang telah diberi gel tersebut. Dan aku diminta melihat ke arah monitor, ada titik kecil di sana dan sang dokter menjelaskan banyak yang tak mampu aku tangkap semuanya karena kepalaku terasa begitu berat. Benar-benar ada nyawa lain dalam perutku. Air mataku menetes begitu saja dan aku segera menyekanya.
“Ada mual?”
Aku menggelengkan kepala.
“Tapi kandungan Ibu agak lemah. Nggak apa-apa, bukan sesuatu yang serius. Nanti saya kasih vitamin dan asam folat. Selain itu, ibu juga harus rajin makan putih telur, daging—dan dibantu s**u hamil juga boleh.”
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Sedangkan isi kepalaku berisik, memikirkan akan bagaimana aku ke depannya menjalani ini. Aku harus memikirkan cara agar tetap bekerja.
Setelah selesai diperiksa dan diberi resep obat untuk ditebus, aku berjalan lemas keluar ruangan hendak menyerahkan resep obat. Baru saja membuka pintu, mataku membola melihat seseorang yang hendak memasuki ruangan ini. Kak Arsen dengan jas dokternya. Aku sungguh tak tahu jika lelaki itu praktek di rumah sakit ini juga.
“Dys, kamu— “
Mataku berkunang-kunang dan semua mulai menggelap.