Salah-5

1059 Words
"Apa kamu bisa pulang sekarang? Aku mau ngerjain tugas. Banyak tugas hari ini," tanya Ana dengan nada yang sudah tidak terlalu ketus lagi. "Kamu ngusir aku?" tanya Alex. "Aku nggak ngundang kamu, kan?! Kamu yang masuk sendiri tanpa aku ajak dan aku undang." "Ck, kaku banget, sih, kamu. Aku tebak, kamu pasti nggak punya teman di sekolah." "Sok tahu! Yang jelas, temanku anak baik-baik bukan kaya kamu." "Makanya, temenan sama aku, biar punya teman kayak aku." Ana tersenyum yang langsung mem-buat Alex semakin ingin dekat dengannya. "Ada ya, orang seperti kamu." Alex pun ikut menyunggingkan senyum. "Makanya, jadilah temanku. Ya!" Ana diam tampak berpikir, sebelum akhirnya ia menjawab, "Oke, aku terima kamu jadi teman aku." Mulut Alex ternganga, akhirnya perjuangannya selama beberapa jam terakhir tidak sia-sia. "Terima kasih...." "Udah, ya ... sekarang kamu pulang. Aku benar-benar banyak tugas." "Sebenarnya aku malas pulang, karena orang tuaku yang katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini pun belum sampai. Tapi, oke, aku akan pulang. Dengan syarat, besok aku jemput kamu ya, please!" "Kok ngancam?" "Bukan mengancam, tapi itu sebuah tawaran." "Aku berangkatnya pagi. Dan aku paling anti terlambat." "Aku tidak akan terlambat. Aku janji, jam enam pagi aku sudah sampai di gerbang rumah kamu." Ana tersenyum lagi. "Terserah kamu, tapi kalau kamu terlambat jemput, aku akan berangkat sendiri." "Siap!" jawab Alex penuh semangat sambil bergaya hormat, meletakkan tangan di pelipisnya. Setelah itu, Alex benar-benar pulang meninggalkan rumah Ana. *** Esoknya, sesuai janji, Alex sudah berada di depan gerbang rumah Ana saat jam baru saja menunjukkan pukul 06.05. Ia turun dari mobil, kemudian memencet bel yang berada di tembok samping gerbang bagian atas. Bik Tinah lari tergopoh lalu membuka gerbang. "Ana-nya ada, Bik?" tanya Alex sopan. "Ada, Mas. Lagi siap-siap biasanya jam segini, Mas." "Oh. Boleh aku masuk, Bik?" "Oh, iya. Silakan." Bik Tinah melebarkan gerbang sementara Alex masuk ke mobil untuk membawanya ke dalam. "Masuk aja, Mas." "Iya, Bik." Alex dan Bik Tinah masuk ke rumah. Bik Tinah ke dapur, sedangkan Alex duduk di ruang tamu. Sepuluh menit menunggu, Ana tampak berjalan menuruni tangga. Ia terlihat terkejut melihat keberadaan Alex. "Kamu?!" "Hai, aku tepat waktu, kan?" ucap Alex disertai dengan senyumnya. "Sudah sarapan?" tanya Ana. "Belum. Aku nggak biasa sarapan." "Kalau begitu, mulai hari ini kamu harus sarapan. Meskipun ditinggal orang tua, bukan berarti kita harus mengabaikan kesehatan. Untuk memulai pertemanan kita, kamu harus menemaniku sarapan!" ajak Ana. Alex senang, karena Ana sudah tidak bersikap seperti kemarin lagi. "Dengan senang hati!" jawab Alex bersemangat. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan, kemudian duduk bersebelahan. Bik Tinah mengambilkan alat makan untuk Alex. Setelah itu Alex dan Ana makan bersama. Sesekali mereka menye-lipkan candaan. Bik Tinah senang melihat keceriaan Ana pagi ini. Karena selama ini, Ana jarang sekali mengajak temannya ke rumah. Pulang sekolah, waktu hanya Ana habiskan di dalam kamar. *** Keluar dari rumah Ana, Alex segera membukakan pintu mobil untuk Ana. "Silakan masuk ...," ucap Alex. Ia ingin Ana merasa nyaman di dekatnya. "Terima kasih ...." Sepanjang perjalanan, waktu mereka habiskan untuk mengobrol. Fakta yang Alex dapat, ternyata Ana bukanlah sosok yang kaku seperti apa yang kemarin Ana tunjukkan. Begitupun Alex, Ana menemukan sisi berbeda dalam diri Alex. *** Makin hari, Ana dan Alex kian dekat. Setiap hari mereka berangkat dan pulang sekolah bersama. Tidak jarang juga mereka belajar bersama. Kadang di rumah Alex, kadang juga di rumah Ana. Ana membuat Alex sedikit berubah. Dari yang tidak pernah mau belajar, jadi mau belajar. Dari yang tidak suka sarapan, jadi rutin sarapan. Begitu juga dengan Ana, yang kini jadi memiliki teman yang senasib dengannya. Alex benar, tidak ada salahnya mereka berteman. Dengan begitu mereka bisa mengobati kesepian mereka satu sama lain. Hari ini, mereka belajar di rumah Alex. Setelah mengantar Ana pulang untuk mengganti baju, Alex membawa Ana ke rumahnya. Sebenarnya tidak ada tugas apa pun hari ini, tapi mereka sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama setelah pulang sekolah. "Kita ke kamar aku aja, yuk! Aku minta Bik Asih untuk membuatkan minum dulu." "Kenapa harus di kamar?" tanya Ana bingung. Karena mereka biasanya belajar di ruang keluarga. "Pengin ganti suasana aja." "Oh ... oke," jawab Ana, kemudian ia berjalan menuju kamar Alex. Di dapur, Alex sedang meminta Bik Asih untuk membuatkan minuman dingin untuk dirinya dan Ana. "Buatin aku minum dua ya, Bik," pinta Alex. "Ada Non Ana ya, Den?" "Iya. Dia cantik ya, Bik?" tanya Alex meminta pendapat Bik Asih. "Cantik, Den," jawab Bik Asih singkat. Sebenarnya ia ingin sekali menasehati putra majikannya itu untuk tidak mempermainkan perempuan, tapi ia sadar, ia tidak berhak untuk itu. Setelah dua gelas minuman dingin jadi, Alex membawanya sendiri ke kamar menggunakan nampan. Di kamar, terlihat Ana sedang berdiri di balkon kamar Alex yang memang selalu dibiarkan terbuka bila siang hari. "Seger ya, udaranya," ucap Ana ketika menyadari Alex sedang berjalan ke arahnya. "Iya ... apalagi kalau malam." "Kalau malam mah bukan seger, tapi dingin." "Aku peluk kamu kalau dingin." "Apaan sih ...," pipi Ana merona. Tentu saja ia salah tingkah dengan ucapan Alex. Karena di usianya yang memasuki 18 tahun, belum sekali pun ia berpacaran. "Kanapa pipi kamu jadi merah gini, sih...." Alex semakin menggoda Ana. Namun, hanya melalui ucapan. Ia belum berani menyentuh Ana sedikit pun. "Udah, ah ... mana minumnya?" Ana mengalihkan topik pembicaraan. Kakinya sudah melangkah ke dalam kamar. "Tuh di meja ...," ucap Alex sambil menunjuk meja di mana ia tadi meletakkan minuman yang dibawanya. Ana duduk di kursi, kemudian mengambil minuman lalu meminumnya. Alex duduk di samping Ana. "Enaknya ngapain ya kita?" tanya Alex. "Ehm ...." Ana memperhatikan seluruh isi kamar Alex. Sampai pandangannya terhenti pada gitar yang menggantung di salah satu sisi dinding kamar. "Kamu bisa main gitar?" "Bisa dong, mau aku ajarin?" "Boleh," jawab Ana antusias. Alex berdiri kemudian berjalan ke arah di mana gitar itu berada. Setelah menyetel senar gitar pada kunci yang seharusnya, Alex menyerahkan gitar itu pada Ana. Alex mengambil posisi duduk di samping Ana dengan kedua tangannya ia menunjukkan bagaimana posisi tangan yang seharusnya ketika memainkan gitar. Ana adalah gadis yang cerdas. Hal itu juga terbukti karena baru setengah jam Ana belajar, ia sudah bisa meletakkan jari-jarinya di beberapa posisi kunci dasar dengan sangat luwes ketika berpindah-pindah kunci. "Hebat kamu ...," puji Alex. "Terima kasih ...," jawab Ana. Mata mereka begitu dekat saling pandang. Tidak ada satu dari mereka yang mampu mengedipkan mata. "Bukan hanya senyum kamu yang indah, mata kamu juga indah ...." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD