Mata Ana dan Alex masih saling tatap setelah Alex memuji Ana. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Hingga akhirnya Alex lah yang membuka suara kembali.
"Jadilah pacarku!" bisik Alex. Namun, Ana masih saja diam. "Jadilah pacarku, aku akan menghapus semua kesepianmu."
"Aku–aku–" Ana terbata. Memang, Alex bukanlah orang pertama yang menginginkannya menjadi kekasihnya. Tapi Alex-lah orang pertama yang membuatnya bisa sedekat ini dengan lawan jenis.
"Kenapa?"
"Aku belum pernah pacaran," jawab Ana malu-malu. Wajahnya pun sudah menunduk.
Alex meraih dagu Ana dengan telunjuknya agar Ana kembali menatapnya. "Aku tidak menanyakannya. Aku hanya memintamu untuk jadi pacarku. Tidak mau pun, aku akan memaksa."
"Curang!" ucap Ana sambil memanyunkan bibirnya. "Apa kamu selalu seperti ini kepada setiap perempuan?"
"Nggak juga. Mereka nggak perlu dipaksa. Aku ajak jalan aja, tanpa aku ajak jadian, mereka udah mengeklaimku sebagai pacarnya. Beda sama kamu yang penuh perjuangan. Jadi, karena aku udah berjuang, aku harus memaksamu."
"Apa kamu tidak akan mnyakitiku?"
"Tidak akan. Kita akan saling mengisi, tidak mungkin aku menyakiti sesuatu yang sudah aku perjuangkan," ucap Alex sungguh-sungguh.
Ana menghela napas kemudian mengembuskannya. "Oke, aku mau jadi pacar kamu. Dengan catatan, kamu harus menepati janjimu. Jangan sakiti aku!"
"Iya, Sayang ...," jawab Alex sambil mengacak rambut Ana dengan tangannya. Ana sudah tersipu malu mendengar Alex yang memanggilnya sayang.
Alex mencondongkan tubuhnya. Satu kecupan mendarat di pipi Ana. "Kita jadian," bisiknya.
***
Esoknya, seperti biasa mereka berangkat sekolah bersama. Semenjak mereka dekat, mereka belum pernah bertemu dengan orang tua masing-masing. Jika orang tua Alex di rumah, maka mereka di rumah Ana. Jika orang tua Ana di rumah, mereka akan di rumah Alex. Jika orang tua keduanya di rumah, mereka akan meng-habiskan waktu bersama untuk berjalan-jalan.
"Kamu udah jadian sama Alex, An?" tanya Alya saat Ana sudah duduk di bangkunya. Karena Alya melihat hal berbeda yang Alex lakukan. Sebelum pergi, ia mengacak rambut Ana sambil memper-lihatkan senyum termanisnya. Sebelumnya, menggandeng Ana saja tidak pernah.
Ana tersenyum malu-malu, kemudian mengangguk pelan.
"Selamat, ya ... aku ikut seneng. Akhirnya temanku yang satu ini mau membuka hatinya juga ...."
"Jangan lebay, ah ... aku malu."
"Ngapain malu ... kalian kan sama-sama most wanted di sekolah ini. Pasti banyak yang patah hati nih, kalau udah pada tahu."
"Lebay banget sih kamu, Al."
"Biarin, aku seneng banget soalnya."
***
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah satu bulan Ana dan Alex jadian. Seperti biasa, pulang sekolah mereka menghabiskan waktu bersama.
"Nggak terasa ya, udah satu bulan ...," ucap Ana. Saat ini Ana sedang tiduran di sofa di kamar Alex dengan paha Alex sebagai bantalnya.
Alex mengusap lembut kepala Ana. "Iya, nggak berasa. Karena kita happy jadi rasanya waktu berjalan cepat."
"Ehm, nonton, yuk!" ajak Ana. Nonton yang dimaksud adalah menonton film melalui laptop. Alex memiliki banyak koleksi film yang sering mereka tonton bersama.
"Oke, aku ambil laptop dulu." Ana bangun dari rebahannya. Sementara Alex berdiri mengambil laptop yang ada di meja belajar. Setelah itu, Alex kembali duduk di sebelah Ana.
"Mau nonton apa?" tanya Alex.
"Terserah kamu!"
Akhirnya pilihan jatuh kepada salah satu film fantasi, di mana seorang manusia saling jatuh cinta dengan vampir. Mereka duduk bersisian memperhatikan adegan demi adegan yang ada pada film itu. Awalnya biasa saja. Namun, ketika ada adegan dewasa yang menjadi salah satu adegannya, Ana mulai merasa berbeda. Apalagi wajah Alex begitu dekat dengan wajahnya. Posisi Alex kini duduk di belakang Ana, tangannya memeluk perut Ana. Embusan napas Alex menerpa leher Ana membuat bulu kuduk Ana berdiri. Bukan hanya itu, Ana juga merasa ada yang menggelitik di dalam perutnya.
"Lex...," bisik Ana sambil memejamkan mata.
"Iya, Sayang?" jawab Alex dengan berbisik pula. Bahkan ia mulai berani mencium leher Ana.
"Aku–aku–"
"Aku apa?" bibir Alex berpindah dari sebelah kiri ke sebelah kanan leher Ana. Gadis itu mulai merasakan sensasi yang berbeda. Sensasi yang sama sekali belum pernah ia rasakan. Mata Ana makin memejam kuat. Sekuat tenaga ia menahan suara yang ingin keluar dari mulutnya. Namun, pada akhirnya suara itu keluar juga.
"Emh...." Mendengar suara itu membuat Alex makin bersemangat mengecupi leher Ana.
"Lex ... aku ... aku ingin ke toilet!" sekuat tenaga Ana berusaha untuk mengucapkan kalimat itu. Ia segera berdiri kemudian berlari menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Di dalam kamar mandi, Ana mengatur napasnya yang memburu. Ia benar-benar asing dengan perasaan yang tengah ia rasakan. Jantungnya pun berdetak tak normal. Ada rasa aneh di perutnya. Ada juga yang berkedut di bawah sana.
Sementara di sofa, Alex tengah tersenyum. Ia sedang menikmati rasa yang sudah beberapa bulan ini tidak ia rasakan, karena ia bersikap sebagai lelaki baik-baik di depan Ana. Alex bangkit, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk menunggu Ana di depan pintu.
Pintu terbuka, tampaklah Ana yang terlihat canggung.
"Apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?" tanya Alex. Ana menggeleng diiringi dengan senyum canggungnya.
"Aku ... aku ingin pulang, Lex."
"Baru jam segini, apa yang terjadi? Ngomong sama aku."
"Nggak ada, Lex ...."
Alex mendekat. Kedua tangannya merangkum pipi Ana. "Kamu kenapa? Tamu bulanan kamu datang? Nggak bawa pembalut?"
"Nggak, Lex. Nggak ada apa-apa."
"Tapi baru jam segini, dan tadi sebelum ke kamar mandi, kamu tidak apa-apa." Alex memeluk tubuh Ana, menghapus jarak di antara mereka. Matanya menatap mata Ana.
"Lex...," bisik Ana.
"Hem? Ada apa?"
"Apa ... apa yang terjadi, Lex? Aku ... aku ...." Napas Ana makin memburu saat merasakan embusan napas Alex di wajahnya.
"Aku apa?" tanya Alex berbisik.
"Aku–mmphhh." Tidak tahan melihat bibir Ana, Alex mempertemukan bibir mereka. Hal yang baru pertama kali ia lakukan terhadap kekasihnya itu. Ana menegang, tetapi Alex mengusap punggung Ana hingga Ana merasakan kenyamanan. Alex masih membiarkan bibirnya hanya menempel, memberikan kecupan-kecupan kecil. Hingga akhirnya dia yang sudah lama tertidur, mampu terbangun kembali.
Ana tidak tahu, jika apa yang ia dapatkan hari ini, akan berpengaruh besar pada masa depannya.
***