7.

2040 Words
Dan obrolan masih terus berlanjut bahkan sampai langit cerah berubah menjadi kekuningan. Agam kembali ke apartemennya saat hari berubah gelap. Ia meletakkan makanan yang dibelinya di atas meja bar sebelum memilih untuk membersihkan diri dan melakukan kewajibannya yang sudah tertunda cukup lama. Setelah selesai mandi dan sholat magrib. Agam kembali menuju pantry dan memindahkan makanan yang ada dalam box ke dalam piring. Makanan yang tadi panas kini sudah menjadi dingin. Sedikit menghilangkan nafsu makan, tapi Agam masih harus memakannya supaya ia tidak berakhir dengan sakit maag. Mendengar kata perjodohan, dan mengingat pertemuan yang terjadi dengan gadis yang disukainya di bandara entah mengapa membuat Agam berandai-andai. Seandainya ia menikah apa yang akan terjadi dengannya. Apa yang akan terjadi dengan apartemen ini? Agam melirik ke piring yang ada di tangannya. Mungkinkah ia akan menikahi seseorang yang pandai memasak dan akan menyediakannya makanan hangat setiap kali ia pulang bekerja. Membayangkan sosok Carina berada di dapurnya, mengenakan celemek dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi membuat Agam tersenyum sendiri. Tunggu, apakah Carina bisa memasak? Tanyanya dalam hati. Tak apa, jika seorang Carina tidak bisa memasak, mereka bisa menyewa asisten rumah tangga. Lantas bagaimana jika nanti mereka punya anak. Akan seperti siapa anak itu. Akankah menjadi Agam kecil, atau Carina kecil. Tapi, apakah Carina bisa mengasuh anak? Tak apa, Agam bisa menyewakan seorang baby sitter untuk mengasuh anak mereka. Dia lebih dari mampu untuk itu. Tapi kemudian sebuah ingatan membangunkan khayalannya. Ia sudah dijodohkan. Meskipun ia tidak tahu siapa gadis yang akan dijodohkan dengannya. Seperti apa gadis yang ayahnya jodohkan padanya? Kenapa juga tadi ia tidak meminta foto gadis itu pada Pak Kaka? Mereka terlalu larut dalam obrolan sampai masing-masing lupa untuk menanyakannya. Lantas seperti apa gadis yang ayahnya sendiri sebut pembangkang itu? jika mengikuti garis wajah ayahnya, bisa saja gadis itu memiliki postur tubuh yang tinggi dan berwajah cantik. Tapi bagaimana jika gadis yang dijodohkan padanya itu memiliki wajah seperti ibunya, sementara Agam sendiri tak tahu seperti apa wajah istri pak Kaka itu? Iya. Bagaimana jika gadis itu jelek, gendut dan sudah itu pembangkang pula. Agam jadi berpikiran yang macam-macam. Ia lantas menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ya Allah, maafkan hamba karena telah berburuk sangka. Ucapnya dalam hati. Agam memilih untuk bangkit, membawa piring kotor ke bak cuci. Membersihkannya sebelum kemudian kembali ke kamar. Mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini. Agam membuka ponselnya dan melihat banyaknya pesan yang masuk. Ia mengusap pelipisnya yang berdenyut seketika. Bagaimana ini, proyeknya jelas tak bisa ditinggalkan begitu saja. Tapi ayahnya juga pasti tidak akan memberikannya ijin untuk kembali ke Kalimantan saat ini. Sementara mandornya sudah menghubunginya dan meminta kejelasan. Alhasil ia mencoba mencari jalan tengah. Ia menghubungi ayahnya saat itu juga. "Assalamualaikum." Ucap Ayahnya dalam deringan ketiga. "Waalaikumsalam. Abah udah tidur?" Agam berbasa-basi. "Belum, kenapa?" "Agam mau ijin. Proyek Agam tidak bisa Agam tinggalkan. Agam harus kembali ke Kalimantan secepatnya." Jawabnya langsung pada intinya. Ia merasakan keheningan sejenak sebelum ayahnya memberikan jawaban. "Kapan?" "Kalau Abah ngasih ijin, besok Agam pergi pake penerbangan pertama. Lagipula Agam tetap harus balik kesana karena mobil Agam dan semua barang Agam masih ada disana." Ayahnya kembali memberikan keheningan. "Itu bukan hal yang susah. Kirim semua hasil kerja kamu sama Pak Wiki, biar dia yang berangkat besok buat ngurusin pekerjaan kamu. Dan masalah mobil sama barang kamu, Abah bisa minta Pak Wiki yang ngatur supaya semuanya bisa sampai ke Jakarta dalam keadaan utuh dan selamat." Ayahnya mengucap salam dan kemudian menutup teleponnya. Agam hanya bisa menyugar rambutnya. Kalau saja ia tidak takut durhaka. Gumamnya dalam hati. Esok Hari Di tempat lain. Carina sedang mengontrol café yang selama Sembilan tahun ini dia dan Syaquilla jalankan. Beruntung baginya karena sampai saat ini café itu tidak pernah sepi pengunjung. Meskipun harus diakui bahwa masalah tidak pernah berhenti datang. Tapi sampai sejauh ini mereka masih bertahan. Carina tak keberatan saat Syaquilla mengatakan bahwa dia akan berhenti bekerja dan mengurusi café setelah ia menikah. Bukan karena Carina rakus dan ingin menguasai semuanya sendiri. Tidak seperti itu. Tapi dengan adanya café ini, Carina memiliki kesibukan lain disela kegiatan pemotretannya. Dan kesibukan itu sejenak membuatnya lupa akan masalah pribadinya. Meskipun mau tak mau ia akui, ketika ia sampai ke tempat tidur, semua masalah itu kembali bermunculan dan meneror kepalanya. Ia sedang dihadapkan dengan cetak biru baru café. Desain itu sebenarnya dibuat oleh Syaquilla yang sengaja Carina minta untuk membuat konsep baru café mereka. Ya, meskipun memilih menjadi ibu rumah tangga, sahabatnya itu memang cakap dalam hal desain seperti ini. Bagaimana tidak, keluarganya memiliki usaha konstruksi dan juga desain interior yang ternama di kota Bandung. Dan nilai plus nya, Syaquilla memahami keinginan Carina, dan plus plus lainnya, Carina bisa meminta desain secara gratis. Carina terkekeh sendiri. Mereka kembali berencana pindah ke lahan sendiri dengan area yang lebih besar dari tempat yang saat ini mereka tempati. Empat tahun yang lalu, mereka terpaksa pindah ke gedung yang mereka tempati sekarang karena café mereka ada yang dengan sengaja membakarnya. Meskipun sampai saat ini polisi masih belum bisa menangkap pelaku. Tapi ya, mereka bersyukur karena dengan insiden itu, usaha mereka semakin berkembang dan maju. "Udah ada siapa yang akan kerja?" tanya Syaquilla. Sahabatnya itu sedang menimang Ayla yang hampir tertidur. "Belum. Mungkin nanti aku tanya ke Om Adskhan." Ucap Carina lagi. Syaquilla hanya mengangguk. Sahabatnya itu akhirnya membaringkan Ayla di tempat tidur yang memang tersedia di café itu. Ruangan yang khusus mereka buat untuk diri mereka sendiri dulu. "Bahan bakunya?" Tanya wanita berhijab itu lagi. Carina mengedikkan bahu. "Mungkin aku bisa ngobrol sama Ayah. Ya siapa tahu dapat diskonan." Kekehnya lagi. Syaquilla hanya ikut tersenyum. "Kalo diskonannya diganti sama resepsi?" godanya. Carina hanya mendelik ke arahnya. Dan sore itu, Carina benar-benar berkunjung ke tempat ayahnya bekerja. Ayahnya adalah satu-satunya dalam keluarga yang meneruskan usaha mendiang kakek Carina. Dulu, kakek Carina mendirikan usaha pembuatan semen. Setelah ayahnya berkecimpung, usaha kemudian dikembangkan menjadi pembuatan bata merah. Dan setelah beliau meninggal, ayah Carina semakin membuat usaha kakeknya semakin berhasil. Yang Carina tahu, saat ini ayahnya juga merupakan produsen bahan bangunan lain seperti batako, asbes dan beberapa material lain yang sedang tren. Satpam menyapanya hangat saat ia membuka kaca jendela mobilnya. Cuaca panas menyapa Carina saat ia turun dari mobilnya. Ya. Untuk membuat barang-barang itu bertahan lama, mereka harus mendiamkannya di area yang terkena cahaya matahari atau di ruangan dengan suhu cukup tinggi. Karena kalau tidak, benda-benda itu akan rapuh sementara semen-semen itu akan berakhir membeku. Carina langsung naik ke lantai dua dimana kantor ayahnya berada. Beberapa karyawan ayahnya tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang sibuk dengan telepon, ada yang sibuk dengan catatan. Dan ada juga yang sibuk dengan menaik turunkan barang. Carina mengetuk meja sekretaris ayahnya. Pria berusia empat puluh tahun itu mendongak dan tersenyum padanya. Bagaimana tidak, sejak Carina kecil pria itu sudah bekerja pada ayahnya. Pria yang penuh loyalitas. Puji Carina dalam hati. "Ayah ada?" tanya Carina. Pria itu mengangguk. "Boleh masuk?" tanyanya lagi. "Boleh, tapi di dalam lagi ada tamunya bapak." Jawabnya. Carina hanya mengangguk kemudian mengetuk pintu. "Masuk!" perintah seseorang dari dalam. Carina membuka pintunya perlahan. Seorang pria yang usianya mungkin hampir sama dengan ayahnya tengah duduk di sofa. Pria itu menatap Carina dengan mata berbinar. "Carin?" tanya ayahnya. Carina hanya mengangguk. Ia mendekat dan mencium punggung tangan ayahnya. Begitu pula pada pria yang sedang bersama ayahnya. "Duduk." perintah ayahnya. Carina lantas duduk, berhadapan langsung dengan tamu ayahnya. "Jadi ini yang namanya Carina. Kalo dilihat dekat seperti ini, kelihatan sekali cantiknya." Puji pria paruh baya itu. Carina hanya bisa tersenyum tipis. "Carin, ini temen Ayah. Namanya Om Riswan." Ucap ayahnya. Carina hanya mengangguk. "Ada apa? Tumben ke kantor Ayah?" tanya ayahnya penasaran. Carina mengeluarkan hasil print out denah yang ia cetak di café dan memberikannya pada ayahnya. "Syaquilla udah buat gambarannya. Carin kesini buat konsultasi masalah bahan. Sekalian berhitung jumlah." Ucapnya. Ayahnya menerima map berisi beberapa lembar kertas yang berisi gambar hitam putih. "Kebetulan, Om Wahid ini punya usaha di bidang konstruksi juga." Ucap Ayahnya. Ia kemudian menunjukkan gambar tersebut pada temannya. Om Wahid kemudian melihat gambar itu dengan seksama. Dia tampak mengerutkan dahi dan memperhitungkan semuanya. Setelahnya pria paruh baya itu mengatakan jumlah yang dibutuhkan Carina. Carina hanya mengangguk saja. Sementara itu ayahnya mulai berhitung dan menjumlah nominal yang perlu Carina keluarkan. "Harga bisnis, Ayah juga gak mau rugi." Ucap ayahnya yang membuat temannya terkekeh. "Kamu udah punya kontraktor nya?" tanya ayahnya lagi. "Belum, mungkin Carin akan minta bantuan Om Adskhan." Jawab Carina lagi. "Adskhan? Adskhan Levent?" tanya teman ayahnya. Carina mengangguk. "Kamu kenal beliau?" Carina lagi-lagi mengangguk. "Wah, hebat." Pujinya. "Om sendiri sedikit kesulitan mau kerjasama sama beliau." "Kebetulan, sahabat saya itu putrinya Om Adshkan." Jawab Carina jujur. "Yang kebetulannya putri Adskhan sekarang adalah adik ipar saya.." Ayahnya turut menanggapi. Pria itu terbelalak kemudian tertawa. "Ya ampun, sempitnya dunia." Ujarnya berdecak kagum dan kaget disaat bersamaan. "Tapi Carin, kalau misalkan kamu mau, kita bisa kerja sama. Om kasih kamu harga anak deh, Om gak pelit kayak ayah kamu." Tawar pria dengan gaya menggoda. Carina melirik ke arah ayahnya. Ayahnya hanya tersenyum dan mengangguk. "Itu bukan ide yang buruk. Hasil kerja perusahaan Om Wahid juga sangat baik. Perusahaannya sudah berdiri lebih dari tiga puluh tahun. Gak kalah sama Adskhan." Jawab ayahnya. Carin berpikir sejena, lalu kemudian mengangguk. "Carin ngikut aja deh." Jawab Carina pada akhirnya. Ia juga sedikitnya merasa malu jika harus terus meminta bantuan pada Adskhan. "Ya udah, kasih nomor telepon kamu sama Om. Nanti Om hubungi kamu bagaimana kelanjutannya." Ucap teman ayahnya itu. Carina memberikan nomor teleponnya pada pria paruh baya itu. Pria itu juga meminta cetakan gambar Syaquilla dan mengatakan akan membicarakannya pada tim nya. "Ini namanya iseng-iseng berhadiah , ya Ka. Niatan mampir malah berujung orderan." Pria itu terlihat mengedipkan sebelah mata pada ayahnya. Hal itu membuat Carina mengerutkan dahi. Namun ia memilih berpura-pura tak melihatnya. Tak lama Carina memilih untuk undur diri. Di tempat Agam. Seperti yang sudah ayahnya katakan sebelumnya. Semua pekerjaan Agam kini berpindah pada Pak Wiki. Sementara Agam sendiri? "Kalau kamu pusing karena gak ada kerjaan. Ayah ada pekerjaan buat kamu." Ujar ayahnya di telepon. Agam bukannya tidak ada pekerjaan. Dia masih punya banyak pekerjaan, tapi ia tahu bahwa Ayahnya tak bisa ditentang. Dan itu bukan penawaran, melainkan perintah. "Dimana?" tanya Agam ingin tahu. "Di Bandung." Jawabnya. Bandung? Agam mengerutkan dahi. "Kapan?" "Secepatnya. Kamu bisa ke kantor sore ini juga. Kantor yang di Bandung." Jawab ayahnya lagi. Agam hanya bisa menyetujuinya saja. Dan disinilah dia, dalam perjalanan menuju Bandung dengan mobil yang dipinjamkan ayahnya. 'Hanya sampai mobil kamu balik', begitulah perintahnya kala itu. Bangunan tiga lantai yang luas itu terdiri dari gudang di lantai satu, tempat tinggal karyawan di lantai dua dan kantor di lantai tiga. Agam langsung menuju tangga yang mengarahkannya ke ruangan ayahnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya menyapanya. Yang tidak mengenalnya hanya bisa saling berbisik dan bertanya. Dan Agam yakin, mereka adalah karyawan baru yang direkrut ayahnya kurang dari dua tahun terakhir ini. Agam mengetuk pintu. Ayahnya menyuruhnya masuk. Pria bertubuh tambun itu tengah berbicara dengan salah satu karyawannya dan meminta Agam untuk menunggu. Tak sampai sepuluh menit pembicaraan selesai. "Ini proyek baru buat kamu. Pembuatan café bertema Korea." Agam melihat kertas yang disodorkan oleh ayahnya. "Kebetulan Abah berkunjung ke tempat Kaka, dan ada proyek ini. Kamu bisa ambil kan?" Agam menghela napas panjang. Ia meraih kertas itu, melihat coretan-coretan yang dibuat ayahnya dan kemudian mengangguk. Ayahnya mengatakan lokasi pembangunan dan memberikannya nomor ponsel pemilik café. "Namanya Karin." (Penyebutan nama Carina = Karina) "Karin?" Agam mengerutkan dahi, namun ia mencacat nomor itu di ponselnya. "Abah sudah ngehubungin dia. Besok pagi kalian akan ketemuan buat bas proyek bersama." Lantas ayahnya menyebutkan nama sebuah cafe yang sebenarnya tidak Agam tahu lokasinya. Namun lagi-lagi Agam hanya mengangguk. Setelahnya ia bingung akan tempat tinggalnya. Orangtuanya tidak punya kediaman di Bandung. Satu-satunya tempat yang bisa dia gunakan untuk tinggal saat ini adalah kantor ini sendiri. Dan itu berarti ia harus tinggal bersama para karyawannya. Agam bukan pria yang manja. Tapi dia pria yang suka privasi. Meskipun dia bisa bergaul dengan para karyawannya. Tapi diluar jam kerja, dia tetap menginginkan tinggal di lingkungannya sendiri. "Masalah tempat tinggal. Sementara kamu menginap dulu di hotel bersama Abah. Besok bisa dikondisikan kalau pekerjaannya cocok mungkin kamu bisa kos atau menyewa sebuah rumah yang sudah berperabot lengkap. Itu bukan hal yang sulit." Lanjut ayahnya lagi. Agam lagi-lagi hanya bisa mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD