6.

2353 Words
Waktu menunjukkan dua belas lewat lima belas menit. Agam kini sudah duduk di meja café yang dijanjikan sang ayah. Ia memang sengaja datang lebih awal. Empat puluh lima menit lebih cepat dari waktu yang sudah dia janjikan. Dan hal itu, sengaja dia lakukan supaya ia bisa bekerja seraya menunggu ayahnya tiba. Tepat pukul satu siang, ia merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Ketika mendongak, dia melihat ayahnya memberikan cengiran khasnya padanya. Di sebelahnya, berdiri seorang pria yang tampaknya seusia dengan ayahnya namun tampak berpenampilan lebih muda mengingat perawakannya pun yang lebih terawat dibandingkan ayah Aham sendiri. "Assalamualaikum." Sapa ayahnya dengan nada ceria yang berlebihan. Agam mengernyit, namun kemudian bangkit dari duduknya. "Waalaikumsalam." Jawabnya dan mencium punggung tangan ayahnya, sebelum kemudian mencium punggung tangan pria yang berdiri di samping ayahnya. "Ini dia putra sulungku, Agam. Wajahnya kurang lebih sama sepertiku waktu muda dulu, bukan?" ujar ayahnya dengan nada bangga. Pria yang berdiri di samping ayahnya memandang ayahnya dengan sebelah alis terangkat, jelas sekali menunjukkan ekspresi mengejek. "Kau lupa membawa cerminmu, bang?" ejek pria itu. "Jelas sekali dia ini mirip Reni." Lanjut pria itu yang membuat ayahnya memutar bola mata. "Siapa namamu, Nak?" tanya pria itu padanya. "Agam, Om." Jawab Agam dengan nada tegasnya. "Lihat, dia bahkan bersikap gagah. Tidak seperti Abang dulu." Lanjut pria itu lagi. Bukannya tersinggung, ayahnya malah tertawa. "Apa tidak ada sedikit saja yang tersisa dariku menempel sama dia?" tanya Ayahnya dengan nada yang terdengar memelas. Pria yang diajak ayahnya itu spontan terkekeh. "Akan kujawab jika aku sudah mengenalnya nanti." Jawabnya lugas. Ayahnya hanya mengangguk dan mempersilahkan temannya untuk duduk. "Yang pasti, kalau Abang dulu gak menikah sama Reni, Abang gak mungkin dapat bibit unggul macam Agam ini." Pujinya lagi. Ayahnya hanya menjawab dengan anggukan saja. Ketiganya kini duduk dan kemudian memesan makan siang seraya membincangkan masalah pekerjaan. Agam kemudian tahu bahwa pria yang menyebut Abang pada ayahnya itu merupakan pengusaha bata dan semen yang sudah sekian lama bekerja sama dengan ayahnya. Pria yang dipanggil Kaka itu itu merupakan pemasok tetap bahan baku perusahaan ayahnya saat ayahnya masih mengendalikan usaha. Namun karena usaha itu diambil alih oleh oleh Agam dan Agam memutuskan untuk memilih bekerja di luar pulau Jawa, maka pasokan bata dan semen ke perusahaan ayah Agam terhenti. Tidak berhenti sepenuhnya, hanya berkurang karena ayah Agam masih sesekali menerima proyek yang bisa ditanganinya. Dan ternyata, tanpa Agam tahu, diluar urusan bisnis, ayahnya dan juga Pak Kaka ini masih sering berkomunikasi. Seperti pertemuan mereka saat ini. "Jadi, Agam ini tidak punya pacar?" tanya pak Kaka secara tiba-tiba. Agam melirik ayahnya. "Dia baru saja ditinggal pergi tunangannya." Jawab Ayahnya dengan nada mengejek. Membuat Agam malah mengerutkan dahi. Ucapan bernada ejekan itu sudah biasa ia dengar, tapi tentunya hal itu akan terdengar aneh di telinga Pak kaka. "Mantan tunangan, Abah." Ralatnya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki tentu saja tergores dengan kalimat 'ditinggal pergi'. Ayahnya mendengus dan berkata. "Apa bedanya." Agam tak lagi menjawabnya. Pak Kaka memandang Agam dengan tatapan yang lebih menyejukkan. "Itu lebih baik." Ucapnya dengan lirih. "Setidaknya Agam sudah pernah bertunangan. Sementara anakku, dia bahkan tidak pernah mengenalkan siapapun padaku." Ucapnya dengan sedih. "Bahkan terkadang aku punya pikiran yang buruk tentangnya." Lanjutnya. "Jadi, setelah 'ditinggalkan', sekarang kamu gak punya hubungan sama siapa-siapa?" tanya Pak Kaka itu lagi. Agam memandang ayahnya sekilas lantas menggeleng. "Belum, Om." Jawabnya. Pria itu tersenyum. Wajahnya yang meskipun sudah berumur tapi masih menyisakan jejak-jejak ketampanannya. Tubuhnya yang tadi Agam sebut terawat, benar-benar tampak bugar yang Agam pastikan merupakan hasil olahraga rutin. Agam memperhatikan wajah pria itu dan merasa mengenalnya cukup lama, namun ia sendiri lupa dimana ia pernah melihatnya. "Om hanya ingin memastikan." Ucapnya. Pria itu kemudian memandang Agam. "Apa Abah kamu sudah pernah membahas ini?" tanyanya pada Agam yang membuatnya mau tak mau mengerutkan dahi. Pak Kaka memandang ayah Agam dan kemudian kembali menatap Agam lekat. "Sebenarnya ini hanya pembicaraan iseng antara kami para bapak. Dulu, saat awal-awal kami bekerja sama, kami bermaksud untuk menjodohkan anak kami jika memang memungkinkan." Ucap Pak Kaka dengan nada sungguh-sungguh. "Lantas bertahun-tahun berlalu, sampai kemudian pembicaraan itu kembali kami bahas secara tak sengaja. Kala itu, putri Om baru saja lulus SMA. Om iseng bertanya pada Abah kamu, tapi Abah kamu mengatakan kalau kamu sudah punya pacar." "Pacar yang kemudian menjadi tunangan yang juga akhirnya malah meninggalkannya karena hanya karena beasiswa." Ucap ayahnya dengan nada mengejek yang tak disembunyikannya yang membuat Agam kembali memutar bola mata. Telinganya sudah menebal dan kebal atas sindiran ayahnya. Beliau memang satu-satunya orang di keluarga yang menentang hubungan Agam dengan 'mantan tunangannya' itu. "Om pikir, mungkin memang belum jodohnya. Karena saat itu Om juga dengar kamu sudah bertunangan dan bahkan ada niatan untuk melanjutkan studi kamu ke luar negeri. Sementara anak Om sendiri, kala itu tidak ada niatan untuk kuliah sehingga menurut Om mungkin lebih baik kalau dia menikah saja. Tapi kemudian, sekitar tiga tahun yang lalu, pembahasan itu kembali kami diungkit." Agam kembali mengerutkan dahi. Tiga tahun yang lalu jelas adalah saat dimana ia ditinggalkan oleh 'mantan tunangannya' untuk sekolah ke luar negeri. Agam melirik ayahnya, namun pria paruh baya itu malah berkelit. "Om bukannya bermaksud balas dendam sama Abah kamu." Ucap Pak Kaka lagi yang membuat perhatian Agam kembali berfokus padanya. "Hanya saja, tiga tahun yang lalu Om merasa tidak yakin. Karena karir putri Om bukanlah sesuatu yang sepertinya bisa diterima oleh Abah dan Ummi kamu." "Memangnya apa yang salah dengan karir putrimu?" sanggah ayahnya seketika. Ayahnya memandang Pak Kaka dengan tatapan tak suka. "Sepanjang kau mengenalku, apa kau pernah mendengarku mengejek profesi seseorang? Atau mendiskriminasi seseorang?" tanya ayahnya lagi. Pak Kaka tersenyum lalu menggeleng. "Bukan itu maksudku, Bang." Ucap Pak Kaka dengan malu. "Ummi mu yang sebenarnya membuat Kaka enggan menjodohkan kamu dengan putrinya." Ucap ayahnya pada Agam. "Kau lihat bagaimana Ummi mu bersikap kemarin?" Pertanyaan ayahnya kembali membuat Agam mengernyit. Memangnya apa pekerjaan putri Pak Kaka sampai ibunya tidak menyukainya? Tanyanya dalam hati. Agam melirik Pak Kaka, dan pria itu hanya tersenyum saja mendengar ucapan ayahnya yang terang-terangan. "Setiap orang punya keinginan, Bang. Setiap ibu mertua pasti punya menantu idaman." Jawabnya sendu. "Iya, tapi terkadang keinginan Ummi nya Agam itu sangat sulit ditentang." Ketusnya. Pak Kaka terkekeh. "Aku bahkan tidak bisa mengendalikan putri sulungku ketika dia punya keinginan." Jawabnya dengan suara yang sendu. Agam kini menatap pria itu. 'Jadi putri yang akan Abah jodohkan denganku itu gadis pembangkang?' monolog Agam dalam hati. 'Pantas saja Ummi menentang. Jadi apa bedanya dia dengan 'mantan tunanganku kalau begitu?' lanjutnya. "Tapi setidaknya putrimu masih menurut pada titahmu dan dia tahu tempat kembali." Jawab ayahnya lagi. Seolah menjawab pertanyaan tak bersuarakan milik Agam. Pria bernama Kaka itu meringis. "Ya, dia memang tahu tempat untuk kembali. Setidaknya setelah melarikan diri dariku selama dua bulan ini." Ucapnya malu. "Dia marah padaku ketika aku katakan padanya kalau aku akan menikahkannya dengan pria pilihanku jika dia tidak juga membawa calonnya." "Kabur?" tanya ayahnya tak percaya. Pria bernama Kaka itu mengangguk. 'Kabur?' Agam sendiri tak percaya dengan apa yang didengarnya. 'Bagaimana bisa seorang gadis kabur? Setidaknya 'mantan tunangannya' mengatakan sesuatu sebelum kepergiannya. Meskipun di detik-detik terakhir.' Bela Agam dalam hati. Bukan membela dan membenarkan tindakan 'mantan tunangannya', tapi lebih kepada rasa jumawa karena wanita pilihannya jelas memiliki etika yang lebih baik dibandingkan wanita pilihan ayahnya. Se brutal itukah wanita yang hendak ayahnya jodohkan dengannya? Apa ayahnya benar-benar akan menjodohkan Agam dengan wanita yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri? Yang nantinya hanya akan menjadi istri pembangkang? Pantas saja ibunya tidak menyetujui apapun yang direncanakan ayahnya. Pikir Agam dalam hati. "Kau tahu lah pola pikir anak jaman sekarang. Perjodohan selalu mereka kaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia." Dalam hati Agam setuju dengan pikiran rasional gadis itu. Tentu saja saat ini bukan lagi masanya dimana seorang pria dijodohkan dengan seorang wanita. Apalagi mereka sama sekali tidak saling mengenal. Untungnya Pak Kaka tipe orang yang jujur. Karena saat orang lain memuji kelakuan putra-putrinya dengan pujian setinggi bulan, Pak Kaka justru berkata apa adanya. Jadi gadis itu memilih untuk lari daripada dikekang? Patut sekali untuk dipuji. Berarti dia seorang yang punya prinsip. Puji Agam dalam hati. "Aku sudah berkali-kali memberikannya kesempatan." Ucapan itu membuat Agam kembali pada perbincangan yang sedang berlangsung. "Sejujurnya, sebagai seorang ayah aku hanya ingin dia bahagia. Terlebih dia putriku satu-satunya. Aku sudah memberinya waktu untuk membawa pria yang dia sukai jika memang ada. Tapi sampai saat ini, dia tidak membawa siapa-siapa ke hadapanku. Wajar kan jika aku merasa was-was? Terlebih dengan usianya dan pergaulan jaman sekarang yang mengkhawatirkan." "Kau takut kalau putrimu itu 'berbelok'?" tanya ayahnya terang-terangan. Agam ingin sekali menendang kaki pria tua itu. Tapi ia tak mau dianggap sebagai anak durhaka. Anehnya, bukannya tersinggung, Pak Kaka justru menganggukkan kepala dengan mimik sedih. Ayahnya kemudian mengedikkan bahu dan memandang Agam dengan mata menyipit. "Kalau aku ada di posisimu, aku juga akan merasakan demikian. Kadang aku juga khawatir kalau dia juga 'berbelok' hanya karena merasakan patah hati." ejek ayahnya. "Abah!" tegur Agam. Lantas kemudian ia mendengar Pak Kaka terkekeh. "Apa mungkin kau memberikan syarat yang putrimu pikir tak bisa dipenuhi oleh pria yang disukainya? Bisa saja itu menjadi alasan kenapa dia tidak pernah mengenalkan seseorang padamu?" tanya Ayahnya lagi. Agam kembali mengangguk. Lagi-lagi pertanyaan ayahnya itu masuk akal. Pak Kaka menggelengkan kepala. "Sejauh yang aku ingat, aku tidak pernah memberikan syarat yang berlebihan. Bagiku, cukup pria itu seiman dan bisa menerima segala kekurangan dan kelebihan putriku. Aku tidak pernah menuntut dia seorang pria kaya yang bisa memberikan mahar yang bagus untuk putriku. Asalkan dia bukan orang temperamental, itu sangat cukup. Aku bukan calon mertua yang sadis, Bang. Aku sudah mengatakan padanya, jika yang dikhawatirkan olehnya adalah calonnya tidak memiliki pekerjaan, maka aku bisa membantunya bekerja. Aku punya banyak kenalan, lingkungan kita membuat kita bergaul dengan banyak orang. Masa iya diantara beberapa rekananku tidak ada satu pun yang bisa membantu. Atau kalau memang pria itu lebih suka berdagang tapi tidak punya modal, setidaknya aku bisa memberikannya pinjaman untuk modal usahanya. Bukan berarti aku tidak ingin memberikan modal secara Cuma-Cuma. Mengingat gadis yang akan dinikahinya adalah putriku. Dan bukannya aku berniat perhitungan pada calon menantu—seandainya memang ada—tapi sebagai seorang pria, harga diri kita terletak pada usaha kita. Bukan begitu?" Ucapan Pak Kaka dijawab dengan anggukan oleh ayahnya. Dan Agam sendiri setuju dengan pendapatnya. "Tapi lagi-lagi putriku tidak memberikanku jawaban." Ucapnya sedih. "Dan Abang tahu? Aku bahkan dengan sengaja mengintai putriku sendiri hanya untuk meyakinkan diriku kalau dia tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah." Dahi ayah Agam berkerut dalam. "Maksudmu?" "Aku meminta bantuan pada seorang detektif swasta untuk menyelidiki putriku dan bagaimana pergaulannya." "Hasilnya?" Tanya ayahnya penasaran. "Tidak ada yang salah dengannya. Semua kegiatannya datar-datar saja. Hanya urusan bekerja dan bekerja. Selain itu, sisanya dia habiskan untuk mengasuh sepupu sekaligus keponakannya." Ucapnya malu. "Kau hanya terlalu paranoid. Bagamana bisa kau mencurigai putrimu sendiri sampai sejauh itu?" Pak Kaka mengedikkan bahu. "Kita tidak bisa mengenali anak kita sendiri jika mereka sudah melangkahkan kaki keluar rumah, Bang. Itulah pelajaran yang selama ini aku petik." Ucapan itu membuat ayah Agam kembali mengangguk. "Kau benar. Kita merasa sudah mendidik anak kita dengan benar, tapi terkadang, apa yang kita anggap benar malah dianggap pengekangan oleh mereka." "Memangnya putri Om tidak melewati masa remaja seperti gadis pada umumnya?" tanyanya penasaran. Putri sahabat ayahnya ini pastinya melewati masa remajanya seperti gadis-gadis pada umumnya, kan? Agam mengingat adiknya sendiri. Kalila yang sangat menyukai booyband Korea yang bahkan tidak segan mengeluarkan banyak uang hanya untuk menonton konsernya dan juga membeli pernak-pernik yang berbau boyband favoritnya. "Maksud Agam, dia pasti mengoleksi sesuatu yang berhubungan dengan aktor, penyanyi atau siapalah begitu. Setidaknya pasti ada sesuatu yang menyatakan bahwa gadis itu normal secara seksual." Pria paruh baya itu menggelengkan kepala. "Putriku tidak seperti itu." tapi kemudian pria itu menggelengkan kepala dengan wajah sedih. "Atau memang aku yang tidak mengenal anakku sendiri?" tanyanya lebih pada diri sendiri. "Dulu, aku mempercayakan semua urusan rumah tangga pada istriku, sehingga aku tidak mengenalnya secara pribadi. Yang aku tahu dari mereka hanyalah nilai akademik yang sempurna. Sejujurnya aku bahkan tidak tahu makanan favorit mereka apa. Tontonan kesukaan mereka apa dan bahkan olahraga yang mereka gemari itu apa. Aku tidak pernah tahu. Dan salahku karena tidak ingin terlibat lebih jauh. Dan dari yang aku lihat, putriku lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar dan mencari uang." "Mencari uang?" Agam dan ayahnya bertanya bersamaan. "Ya." Jawab Pak Kaka dengan nada masih sendu. "Pertentangan pertama antara aku dan putriku terjadi saat aku tahu kalau dia menggeluti dunia modeling." Lanjutnya. Model? Putri Pak Kaka seorang model? Pertanyaan itu tiba-tiba meledak di kepala Agam. "Mertua adik bungsuku memang memiliki agency model. Belum lagi ipar adikku juga seorang model ternama kala itu. Aku tidak akan tahu kalau putriku menjadi seorang model remaja jika saja karyawanku tidak mengucapkan selamat padaku." Ucap pria itu dengan mata menerawang. "Kala itu aku terkejut, aku langsung bertanya pada istriku dan istriku pun sama terkejutnya. Selama ini dia menduga kalau putriku pulang larut karena sibuk dengan les nya. Tapi ternyata istriku pun salah. Awalnya aku membiarkannya, kuanggap itu tidak akan berlangsung lama. Lebih daripada itu, syaratku untuk dia tetap menjadi rangking pertama masih bisa dia penuhi. Namun setelah dia lulus SMA dan mengatakan kalau dia tidak mau melanjutkan kuliah. Aku mulai meradang. Dia mengatakan kalau dia tidak tertarik memiliki gelar sarjana. Saat itulah aku berpikir untuk menikahkannya saja. Tapi paman dan bibinya melarang. Tanpa aku tahu, dari hasil kerja kerasnya dia bahkan sudah bisa mengelola usahanya sendiri bersama sahabat baiknya sejak remaja." Agam mengerutkan dahi. 'Apa dia tipe wanita gila harta?' batinnya penasaran. "Aku tidak akan menyalahkan putramu jika menurutnya putriku tidak layak menjadi seorang istri. Bukan salah putriku sepenuhnya hingga dia menjadi seperti saat ini. Sebagian besarnya adalah salahku karena tidak memedulikannya saat dia masih remaja. Dan kini, aku menuntutnya untuk melakukan apa yang tidak dia suka." Ujar pria itu lagi lirih. Namun ayah Agam menjawab dengan tegas. "Agam tidak sepicik itu." Ucapnya. "Tidak ada seorang wanita yang tiba-tiba siap menjadi istri apalagi seorang ibu. Semuanya perlu proses. Jadi, biarkan saja mereka menjalani ini dulu. Biarkan mereka berkenalan. Bagus kalau mereka cocok satu sama lain, kalau tidak, ya tak apa. Berarti keduanya bukan jodoh." Ujar ayahnya dengan santai seraya mengedikkan bahu. Agam hanya terdiam. Lagi-lagi, ucapan ayahnya adalah titah baginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD