8.

1777 Words
Bandung Carina sampai ke apartemen yang sudah lebih dari tujuh tahun ini ia tinggali. Bukan apartemen miliknya pribadi, tapi apartemen milik adik dari ayahnya. Gilang. Paman yang kini sudah resmi menjadi suami dari sahabat dekatnya sendiri, Syaquilla. Carina memandangi apartemen yang memiliki dua kamar itu. Tidak ada yang berbeda. Tidak ada yang istimewa. Beberapa perabot masih tetap sama sejak tujuh tahun terakhir. Bergaya kasual seperti kesukaan pamannya dan sedikit sentuhan Syaquilla saat sahabatnya itu tinggal disini ketika awal pernikahan mereka. Sisanya? Carina tak pernah mengubah apapun karena baginya, semua ini bukan miliknya. Satu-satunya tempat yang sering mendapatkan perhatiannya hanyalah kamarnya dan juga dapur. Ya. Kamar yang sejak dulu ia tempati dan juga dapur. Sementara untuk perabotan lainnya. Carina tidak pernah mengubahnya. Meskipun Syaquilla sering berkomentar bahwa pamannya tidak akan keberatan, tapi Carina sendiri menolaknya. Bukan karena dia tidak mampu mengganti sofa kulit yang sudah berusia hampir sepuluh tahun itu dengan sofa terbaru. Atau mengganti set televisi yang adai atas nakas dengan set stereo terbaru. Ia lebih dari mampu bahkan untuk mengganti semua itu. Tapi untuk apa? Mengubah apa yang ada disini hanya membuatnya merasa memiliki tempat ini. Dan Carina tidak mau. Dia belum siap untuk terikat dengan sesuatu. Bahkan dengan sebuah benda sekalipun. Ia bukan Syaquilla yang sudah memiliki rumah impian ketika masih muda dan membangunnya menjadi sebuah kenyataan ketika ia mampu. Carina tidak seperti itu. bahkan sebenarnya, sampai saat ini ia tidak tahu apa yang menjadi mimpinya. Ia hanya melakukan semuanya karena berpikir 'tak ada salahnya mencoba'. Mumpung ada kesempatan, maka dia ingin menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Carina membuka jendela balkon lebar-lebar. Membiarkan angin masuk ke dalam apartemen yang sudah berminggu-minggu ia tinggalkan. Meskipun ia tahu pengurus apartemen selalu menyalakan AC untuk menyesuaikan sirkulasi udara. Tetap saja, Carina butuh udara asli untuk menyegarkan otaknya. Carina berjalan menuju balkon. Memegang pagar dengan kedua tangannya, meremasnya seraya menghirup udara yang tidak sepenuhnya bersih masuk ke dalam paru-parunya. Ia rindu penampakan kota Bandung di malam hari. Rindu panas udaranya di siang hari. Tapi tidak merindukan lampu merahnya yang selalu membuat kemacetan dan hilangnya kesabaran orang-orang. Benarkah ia merindukan semua itu? Rasanya terlalu klise. Semua orang tahu bahwa Carina bukan orang yang suka menetap di satu tempat dalam waktu yang lama. Bukan karena dia suka berpetualang. Tapi karena sampai saat ini dia merasa tak punya alasan untuk menetap. Dia bosan terhadap orang-orang. Itulah sebabnya dia lebih suka pergi. Beruntungnya, dia memiliki banyak tempat yang bisa dia datangi. Di Jakarta, ada apartemen Nadira yang bisa ia tempati. Nadira merupakan seniornya di dunia modeling. Wanita berdarah Amerika Filiphina itu merupakan tante dari sahabat baiknya, siapa lagi kalau bukan Syaquilla. Selepas Nadira memilih menetap di Turki bersama suaminya, Erhan. Nadira memercayakan pengurusan apartemennya padanya. Dan jika di Jakarta Carina merasa bosan sendirian, dia akan pergi ke tempat tinggal Granny Helena. Yang juga merupakan nenek dari sahabatnya. Tempat dimana dia akan disambut seperti keluarga sendiri, diperlakukan seperti halnya cucu sendiri. Meskipun saat ini wanita lanjut usia itu juga sudah menetap di Turki di kampung halaman sang suami. Dan sekarang, saat dia kembali ke kota kelahirannya. Bandung. Carina memiliki lebih banyak tempat untuk dia datangi. Ada rumah tantenya, Caliana. Wanita yang baginya tak hanya sekedar tante tapi juga sahabat dan kakak yang baik. Rumah dimana ia juga bisa menggoda sepupu-sepunya yang menggemaskan dan lucu. Carina juga bisa mendatangi kediaman sahabat sekaligus tante iparnya, Syaquilla. Menggoda bocah cilik menggemaskan yang dipanggil Ayla. Gadis cantik yang baginya lebih seperti anaknya sendiri daripada sepupu atau keponakan. Mengingat Ayla membuatnya membayangkan bocah imut berpipi bulat. Ia benar-benar merindukan bocah itu. Baiklah, mungkin nanti atau besok dia akan pergi berkunjung ke sana. Karena hari ini—malam ini—dia sudah punya janji untuk makan malam di tempat ayahnya. Tempat yang seharusnya merupakan tempat ternyaman yang ingin dia huni tapi tak lantas membuatnya ingin tinggal lama-lama disana. Karena sejak dulu sampai sekarang, selalu saja ada hal yang membuatnya ingin hengkang. Seperti saat ini. Saat ia dengan terpaksa harus mengibarkan bendera putih tanda kekalahannya. Carina berjalan kembali masuk ke tengah ruangan. Meraih tas dan membuka ponselnya. Ia hanya bisa memutar bola mata saat melihat banyaknya notifikasi pesan dan panggilan dari ayah dan juga ibunya. Ibu jarinya bergerak cepat untuk mengirimkan pesan berisi "Nanti malam" sebelum ia kembali mendapatkan teror dari dua orang penghasil gen nya. Menurutnya, pesan singkat itu cukup untuk memberitahukan keduanya kalau dia akan datang. Carina memilih mode diam di layar ponselnya. Melempar benda itu sembarangan ke atas sofa yang membuat benda pipih itu memantul pelan sebelum kemudian berjalan menuju kamarnya. Berendam dengan air hangat sepertinya bisa sedikit menjernihkan pikirannya. Waktu berlalu begitu cepat saat ia ingin memperlambatnya. Carina meletakkan mukena kembali ke lemari dan mulai bersiap pergi menuju medan perang nya sendiri. Dengan langkah yang ia buat sesantai mungkin, ia pergi menuju pelataran parkir apartemennya. Memasuki mobil dan menginjak gasnya dengan doa semoga ia terhalang kemacetan panjang sehingga ia tidak bisa segera sampai ke kediaman orangtuanya. Sayangnya. Jalanan tampak begitu lengang kala ia ingin mendapatkan pergerakan lamban. Rumah mewah berlantai dua itu menyal dengan terang. Tanda si penghuni belum kembali ke peristirahatan. Seperti kebiasaannya, Carina selalu memarkirkan mobilnya di luar gerbang rumah dua lantai itu. Mengikuti apa yang dilakukan pamannya Gilang. 'Karena kalo mau kabur, pergerakannya lebih cepat'. Itulah alasan pamannya, Gilang, ketika Carina bertanya kenapa pamannya suka parkir diluar gerbang. Satpam membuka pintu dan menyapanya ketika dia masuk. Carina hanya tersenyum saja seraya menganggukkan kepala. Senyum yang tak tampak ke matanya, terlebih saat ia melihat mobil ayahnya sudah terparkir rapi di garasi. Begitu juga dengan motor adiknya. Seperti yang selalu pamannya lakukan pula, Carina memilih untuk masuk ke rumah dari pintu samping yang langsung mengarahkannya ke bagian dapur. Kebiasaan sederhana yang dilakukan orang-orang terdekatnya yang tanpa sadar begitu memengaruhinya. Kediaman keluarganya memang tidak pernah mengunci pintu rumah sebelum jam sembilan malam. Di area pantry, Carina bisa melihat ibunya sedang sibuk bersama asisten rumah tangga yang jelas tampak sedang menyiapkan makan malam. Ia melirik ke ruang keluarga dan melihat ayahnya dan adiknya tengah menonton tv bersama. Dulu, jika ia pulang, akan selalu ada neneknya yang merecokinya. Wanita tua yang selalu menjadikan Carina tampak seperti biang onar. Carina tidak membencinya, Carina sayang padanya. Tapi rasa kesalnya pada beliau lebih besar dibandingkan rasa sayangnya. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosanya. Karena neneknya memang sudah berpulang. Nyonya Nurma meninggal delapan belas bulan yang lalu setelah mengalami pecah pembuluh darah di kepala akibat terjatuh di kamar mandi. Neneknya memang terbilang cerewet. Dan Carina bukan hanya sekali dua kali ribut dengannya. Tapi Carina tahu, bahwa semua itu karena neneknya menyayangi mereka semua. Dan ketika beliau meninggal, Carina benar-benar merasa kehilangan. Dan penyesalan terbesarnya adalah, perasaan bersalah karena dia seringkali bertengkar dengannya. "Assalamualaikum." Ucapan salamnya akhirnya menyadaran semua orang dan membuat mereka menghentikkan aktifitasnya. Ibunya berhenti dari kegiatan di dapur dan ayahnya menoleh melihat kedatangannya. "Ya Allah, akhirnya kamu pulang juga." Seru ibunya. Meletakkan spatula dan berjalan mendekat. Carina hanya tersenyum, menerima pelukannya dan mencium punggung tangan ibunya dengan sopan. "Darimana aja?" Tanya wanita cantik itu kemudian. "Jalan-jalan." Jawab Carina datar. Meninggalkan ibunya, Carina mendekat menuju ruang keluarga dan kemudian mencium punggung tangan ayahnya. Setelahnya ia menepuk pundak adiknya sebelum duduk di salah satu sofa yang memiliki jarak terjauh dari ayahnya. Ibunya tampak mengekorinya dan duduk di samping ayahnya. Pria berusia lima puluh lima tahun itu memandangnya. "Gimana? Udah puas cari calonnya?" tanyanya tanpa basa-basi. "Ayah!" tegur ibunya. Carina hanya bisa menarik napas datar. "Ayah kan Cuma nanya, Bun." Jawab ayahnya singkat dan datar. Ibunya kemudian bangkit berdiri dan menarik lengan suaminya. "Udah, makan malam dulu." Pintanya. "Ada bakwan udang jagung kesukaan kamu." Ujar ibunya pada Carina. Meskipun Carina tak yakin apa makanan itu akan terasa enak di lidahnya disaat mood nya tak menyenangkan. Namun demi menyenangkan sang ibu, Carina tersenyum dan mengangguk seraya bangkit dari duduknya. Mereka sudah mengisi tempat duduk seperti kebiasaan masing-masing. Ayahnya di kepala meja, ibunya di sisi kanannya dan Carina di sisi kanan ibunya. sementara adiknya Revano duduk di samping kiri ayahnya. Ibunya selalu menyiapkan makan malam untuk ayahnya terlebih dulu sebelum beliau menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri. Romantis? Tentu saja. Bagi Carina itu tampak seperti pengabdian yang dilakukan istri pada suaminya. "Ayah udah ketemu sama dia." Ayahnya kembali memulai suara. Bahkan sebelum Carina memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Bakwan jagung favoritnya kini terasa hambar baginya. Namun ia tak mengatakan apa-apa. Mendengarkan adalah satu-satunya pilihan yang dia punya. "Namanya Agam Kawindra. Dia tampan, dia juga anak yang pandai dan rajin. Dan lebih lagi, dia sopan." Karena Carina tak bersuara, Ayahnya kemudian melanjutkan. "Umurnya sekarang kurang lebih tiga puluh dua tahun." "Beda lima tahun sama Kakak." Komentar adiknya. Carina hanya mengangguk pelan tanpa bersuara. "Dia melanjutkan usaha ayahnya di bidang konstruksi." Lanjut ayahnya. "Beberapa tahun ini dia memang banyak menghabiskan waktu di Kalimantan." "Apa Ayah yakin dia pria baik-baik?" Carina mengangkat kepala saat mendengar nada khawatir dalam suara ibunya. "Bukannya Ayah sendiri yang bilang, kalo hidup di dunia konstruksi itu banyak sekali cobaannya. Apalagi kalo pekerjaannya pemborong kayak gitu." Lanjut ibunya lagi. Setitik harapan mekar di hati Carina. Semoga saja ibunya berniat untuk menolak perjodohan ini, doanya dalam hati. "Ayah yakin dia pria baik-baik. Kan gak semua yang kerja di bidang itu suka main perempuan, Bun. Adskhan sama Lucas juga kerja gak jauh dibidang itu. mereka setia ternyata." Jawab ayahnya lagi. Menyebut nama kedua pria berketurunan Turki itu sebagai perbandingan sepertinya pilihan yang tepat. Karena kekhawatiran ibunya lantas menghilang begitu saja. Membuat harapan Carina kembali menciut. "Bagaimana?" tanya ayahnya, langsung pada Carina. Carina balik memandang ayahnya. Memangnya dia punya pilihan lain? Pertanyaan itu menggaung di kepalanya. Namun tak bisa ia lontarkan dan alhasil Carina hanya bisa mengangguk lesu. "Carin ikut ayah aja." Jawabnya singkat. Ayahnya mengangkat sudut mulutnya. Senyum penuh kemenangan tercetak jelas disana. Percakapan tentang sosok Agam Kawindra terhenti dan berlanjut dengan pembicaraan umum mengenai kegiatan mereka. Tapi Carina tidak antusias seperti biasanya. Dia lebih memilih menjadi pendengar yang baik saja. Tak peduli jika sikapnya membuat orang lain tak nyaman. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul delapan malam, ia akhirnya memilih untuk pamit. "Kamu gak mau tidur disini?" Tanya ibunya dengan sedih. Carina hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepala. "Kamar kakak bisa-bisa berhantu loh, kelamaan ditinggalin." Komentar Adiknya. Carina lantas mendengus. "Paling juga dia mampir ke kamar kamu. Numpang tidur di kamar bujang." Goda Carina dengan santainya. Ia tahu, meskipun tubuhnya tinggi besar, Revano itu terbilang anak yang penakut. Bahkan sampai Carina duduk di bangku SMA pun, dia seringkali masuk ke kamar Carina tanpa permisi dan numpang tidur di sana karena ketakutan. Carina kembali memasuki mobilnya. Ia ingin menenangkan diri. Tapi ia tak mau menyendiri. Sendirian hanya membuat pikirannya teralih pada hal-hal yang tak ingin dia pikirkan. Akhirnya, Carina menentukan tujuan. Ia akan pergi ke tempat dimana ia akan merasa tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD