CHAPTER 37 - REYA SIA

2067 Words
Setelah selesai menyantap makanan yang di bawa Sia tadi _di mana memang sempat terjadi kegaduhan itu_ akhirnya merekapun selesai, dan langsung membersihkan tempat berlanjut rebahan sambil bincang-bincang rumpi khas para kaum hawa biasanya, pembicaraan ngalor ngidul yang sangat di sukai mereka itu. Hanya saja setelah lelah bercakap cakap, tanpa sadar satu orang memutuskan tepar, yakni Dhini yang tidur di sofa sisi kanan. Sedangkan dua lainnya masih terjaga, Sia senderan di sofa bagian, sedangkan Reya sendiri duduk di bawah _pas tengah_ menatap lurus pada acara sinetron televisi di sana. Meski sebenarnya Reya tidak faham sama sekali dengan alur nya, karena ya bisa di bilang dia hanya sekedar nonton agar suasana tidak terlalu boring nan krik krik, dia tetap terus melakukan dari satu jam yang lalu. By the way, bentrokan antar Reya dan Dhini yang sempat terjadi hanya karena Dhini mengambil ayam Reya pun tadi berakhir damai. Dengan Dhini yang harus merogoh kocek cukup dalam mentraktir Reya sebagai bentuk sogokan agar wanita itu tidak marah lagi. Jujur saja Dhini sempat malu parah sekali, ketika mengetahui kalau teman Sia yang notabene laki-laki telah mengetahui percakapan penuh ke emosian antar dirinya dengan Reya tadi. Dhini bahkan sempat menyalahkan Sia yang tak menutup sambungan telefon. Tapi katanya Sia tidak tau kalau belum terputus, kedua tangan Sia tadi benar benar tengah kotor penuh sisa makanan yang menempel, menerima telefon saja tadi Sia kesusahan menggeser, makanya dia menyerahkan tugas memutus sambungan pada temannya dan berfikir temannya sudah menutup sambungan lebih dulu. Eh tapi ternyata tidak sama sekali. Dhini sih sudah di kata malu bukan main, tapi tidak dengan lawan bicaranya yakni Reya. Wanita itu malah santai-santai saja tidak ada malu malunya setelah aib nya di dengar orang tidak di kenal. Mana sempat nangis lagi tuh bocah. Yang bahkan Reya makin asyik menyantap makanan yang Dhini belikan. Memang gila kan wanita itu. Tidak ada jaim jaim nya meski dengan lawan jenis. Kalau katanya sih, Reya tidak perduli, toh dia tidak mengenal teman Sia juga kan. Ah sudah lah, Kembali fokus pada Reya, wanita itu yang mulanya sedikit melamun tiba-tiba seperti tengah terjingkat tersadar begitu saja, Reya memang sedikit gelagapan karena berkali kali terus melamunkan moment moment yang memang telah dia lakukan semalam juga sebelum sebelumnya. Lebih tepatnya moment kesalahan, ah ya belum lagi moment berciuman. Sungguh sampai sekarang Reya masih tidak habis fikir kalau ternyata pria menyebalkan yang menciumnya tempo hari adalah bos Dhini, itu berati sikap bos Dhini yang katanya dingin dingin kejam elegan berarti tidak demikian dong. Pria itu termasuk ke dalam jajaran pria cabuly malahan _maksudnya c***l_, karena sudah berani menggantikan baju orang asing juga. Apalagi moment ciuman itu juga masih Reya ingat betul di dalam otak mungielnya itu. Ciuman pria itu juga bisa di bilang cukup pintar menurut Reya ... Eh ... Tunggu, itu berarti ada kemungkinan besar kalau bos Dhini juga sering melakukan tindakan seperti itu selain kepada dirinya kan? Karena ya ciuman bos Dhini begitu pro. Sungguh pro player dalam berciuman, jadi sudah pasti kalau bos Dhini diam diam adalah orang yang suka memainkan wanita di luaran sana. Yups, bos Dhini playboy sudah pasti itu. Tapi tetap saja, meski bos Dhini bukanlah pria baik, tapi Reya sudah melakukan kesalahan pada orang yang memiliki banyak uang dan pangkat tinggi, pria itu bisa melakukan apa saja kepadanya, dalam sekali jentik malah, jadi Raya tak bisa menganggapnya remeh. Jika tiba tiba besok dirinya hilang dan di buang ke tempat sampah kan juga tidak ada yang tau, makanya dia harus memikirkan kemungkinan kemungkinan buruk yang akan terjadi kepadanya. Reya menoleh sepenuhnya kepada temannya yang memainkan ponsel sambil senderan itu, sok sibuk memang temannya itu, padahal dalam ponselnya dia tengah memainkan game anak anak yang cukup populer sejak lama itu, pou. dan motivasi Sia memainkan pou juga karena wanita itu ingin mengumpulkan tai-tai si peliharaannya _pou_, dasar memang tai ghoib saja di kumpulin, terlalu banyak uang ya begitu. "Ya," panggil Reya pada Sia setelah beberapa saat sebab sempat diam saja. Akan tetapi sepertinya panggilan Reya sama sekali tidak menembus gendang telinga temannya tersebut, Sia nampak anteng fokus dengan game pou anak pertamanya itu. Yang mana hal itu menjadikan Reya harus mengulang panggilannya untuk kedua kalinya. Tapi kalau sudah dua kali Sia masih juga membudekkan diri, Reya berniat mengurungkan niat untuk melanjutkan berbicara, dia memilih diam saja lah. "Ya!" Reya mulanya sudah pasrah bahkan dia juga kembali melengoskan diri menjadi menatap layar televisi di depan sana. Hanya saja sepertinya kepasrahan Reya malah membuahkan hasil, Sia berdehem pelan menanggapi panggilan Reya. "Hm," Reya pun menoleh lagi ke arah Sia, yang ternyata benar temannya itu nampak menyudahi dalam memainkan game di ponsel, temannya itu menyimpan ponsel di sofa sampingnya dan berlanjut mengelus elus perutnya yang sebenarnya belum terlalu besar sebab baru menginjak tiga bulan lebih kehamilan. Merasa temannya itu sudah kembali bisa di ajak berbicara, REya langsung saja berdehem untuk memulai percakapan, "Mmm ... Misal nih misal, lo di cium bos besar kaya raya, tapi terus lo udah bales jauh lebih memalukan kayak nyiram kopi di tempat umum, nampar dia di tempat umum, menurut elo apa yang bakal bos besar itu lakuin ke elo." Awalnya Sia nampak mengerutkan kening, mungkin wanita itu juga bingung dengan pembahasan Reya yang tiba tiba menjadi amat random tersebut. Akan tetapi Sia tetaplah Sia, dia teman pendengar yang baik sehingga selalu mendengarkan secara seksama dan memberi solusi yang dia tau. Sia terdiam sejenak seperti tengah memikirkan sesuatu, setelah lima detik berfikir barulah dia membuka suaranya, "Kejar sih, dendam pasti si bos itu." Hng ... Sungguh Reya tercekat dengan tanggapan Sia tersebut, Reya kira Sia akan lebih pro kepadanya tapi ternyata Reya malah makin merasa terpojok kalau begini caranya. "Terus kalo dapet gimana?" tanya Reya lagi agak sedikit ragu. Sia sendiri makinlah mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Reya barusan. "Tergantung wataknya, kalo ngeri ngeri sedep, bisa habis di permaluin balik." Sia hanya berucap realistis menurutnya, bisa saja salah sih tapi kalau memang wataknya seperti dugaan Sia, apa yang dia katakan kemungkinan benar juga lebih banyak. "Emang wayaknya gitu?" tanya Sia memastikan. Takut juga dia kalau salah menanggapi. Dan Reya yang mulanya diam saja mematung itu pun mulai mengangguk kaku, seraya meneguk salivanya sendiri susah payah. "I iya, dingin dingin agak ngeri." ujar Reya memperjelas. Kalau dari pengamatan Reya sih memang begitu adanya. Pria itu mengerikan, dingin dan yang pasti terlihat dominant. Reya saja merasa takut kalau tidak dalam keadaan di selimuti kemarahan _ketika menampar_. Sungguh kalau pria itu memang bos besar ya tidak heran aura mendominasi nya begitu kuat. Ah, sebetulnya tidak hanya dari pengamatan Reya saja. Tapi juga dari yang Dhini ceritakan memang begitu adanya. Walau tidak semua yang di katakan Dhini selalu buruk, cuma ya tetap saja, intinya yang salah macan Reya akan habis jadi abu tak berbentuk di tangan Bos besar Rivendra itu. Sia menjentikkan jari dan memicingkan matanya tersebut. "Oh udah itu fiks. Di kejar sampe mampus soalnya bos besar juga banyak duit." Balasan Sia sontak saja membuat Reya lagi lagi makin kesusahan dalam meneguk salivanya sendiri. Tapi dia juga berusaha keras tak menunjukkan perubahan wajahnya yang bisa jadi sangat signifikan. Reya tak mau Sia tau kan. "Iya." balas Reya. Akhirnya Reya kembali menoleh ke arah layar televisi, dia sudah tak sanggup membahasnya lagi. Mengingat kalau dia malah akan makin overthinking pake banget nantinya. Dirinya salah, salah kaprah di mata orang berduit macam bos Dhini, siapa ya namanya? Ronal hm? Seingat Reya sih begitu. "Lo mau buat alur cerita yang begitu an?" Secara tiba tiba Sia bertanya sambil mengulurkan tangan mengambil snack kripik kentang di atas meja. Dia juga tidak menoleh ke arah Reya, jadi tidak tau kalau perubahan raut wajah temannya itu cukup signifikan, sampai Reya mengerutkan dahi dalam malah. Eh, Sebenarnya tidak ada yang salah juga dari pemikiran Sia, sebab Reya adalah penulis yang sering membuat cerita aneh aneh, jadi kalau di fikir fikir Reya yang berbicara random tiba tiba juga bukan lah hal yang tabu. Urusan alur novel memang juga harus di bicarakan kepada seseorang bukan. "I iya, bikin buku baru." Jawab Reya akhir nya mengiyakan begitu saja. Reya juga tidak berniat meralatnya, dia pikir akan lebih baik memang jika Sia berfikir demikian saja. Dari pada malah di tanya macam macam kan Reya nanti. Sia mengangguk mengerti, lalu membuka bungkus Snack besar di tangannya tersebut. Dia juga setuju dengan akur novel baru Reya, pasti akan sangat greget ketika bos besar dan upik abu bertemu dalam permasalahan yang membuat upik abu tertekan. Huhu, Sia pastikan akan membaca novel itu kalau sudah terbit nantinya. "Hm, tapi nggak papa bagus, gue suka sama alurnya, nanti bikin akhirnya saling cinta ya." Heh ... 'Cinta mata lo!' Jujur saja Reya sampai terkejut bukan main mendengarnya. Di bahkan juga menjerit dalam hati tidak bisa mengiyakan begitu saja. Lagi lagi Sia juga tidak salah, temannya itu taunya kalau memang pembahasan tadi hanya lah alur cerita novel. Tapi ya kalau difikirkan Reya malah sama sekali tidak sanggup membayangkan, cinta dari mananya kalau sudah begini. Sial, seharusnya memang Reya sadar ketika realita hidup tidak akan pernah seperti novel happy ending. Dalam novel bisa berakhir jatuh cinta, tapi dalam dunia nyata jatuh cinta tidak akan mungkin terjadi. Setelah itu tak ada percakapan lagi di antara mereka. Reya fokus melamun. Dan Sia nampak menyantap snack seraya memainkan ponsel. Cih ... pasti bermain pou lagi. "Yah, Kazeo nggak bisa jemput," keluh Sia tiba tiba, yang mana langsung mendapati hadiah tatapan dari Reya. "Kenapa?" tanya Reya langsung. Wajah Sia nampak cemberut di sana,. tapi dia tetap membalasnya, "Nggak tau, katanya ada urusan mendadak sama temennya. Dan mungkin bisanya nanti larut malem." jelas Sia cepat cepat. Reya mengangguk faham dengan penjelasan yang temannya itu lontarkan. "Ya udah sih gpp. Di sini aja sampe malem Ya." Reya memberi saran bukan apa apa. Dia juga senang dan tak merasa terbebani kalau temannya bumil itu berada di sana cukup lama. "Tapi mama gue mau dateng malem nanti." Sia menggeleng pelan saat mengucapkannya. Dia berfikir kalau harus bisa pulang cepat, karena tidak ingin mengecewakan mamanya yang datang jauh jauh. "Ya gimana dong." Reya jadi ikut bingung, tapi sebenarnya dia juga bisa membantu sih. " Gue anterin aja ya." tawarnya. "Em ... Nggak usah aja deh. Gue nanti minta jemput temen gue aja." Setelah di fikir fikir akan lebih baik jika Sia memang meminta bantuan laki laki saja dari pada Reya. Apalagi rumah Reta juga berada cukup jauh jika dihitung dari titik apartment ini. Dahi Reya mulanya berkerut, tapi akhirnya dia tersadar akan sesuatu. Dia sangat lupa kalau Sia memiliki teman lelaki. Karena ya Sia tak pernah mengungkapkan detail, hanya tipis tipis dua tahun terakhir, atau dulu sat SMA. Jadi jangan salahkan Reya kalau luma akan fakta tersebut. "Si tuan muda kaya raya?" Kata Sia sih begitu panggilannya. Karena menurut Sia temannya itu orang kaya, cih padahal kalau dari kaca mata Reya Sia juga sudah kaya karena istri dari seorang Kazeo Adamsn. "Hooh, iya. Lo sih gue kenalin ke dia nggak mau. Udah gue bilang dia juga kerja di tempat Dhini." ungkap Sia menggebu gebu, sebenarnya tak ada yang pernah mau memberi tahunya tentang posisi dia di perusahaan Dhini. Tapi sudah pasti posisinya juga akan sangat tinggi di sana. "Ogah." Reya membalas acuh atau malah lebih condong ke mentah mentah. "Dih," "Tapi Re, Serius lo nggak pengen nikah?" tanya Sia dengan nada mulanya tadi sedikit terdengar candaan, tapi kali ini wanita itu berubah menunjukkan kesungguhan yang mendalam. Sia sungguh sungguh bertanya hal tersebut. Sia memang sempat mendengar kata kata yang terlontar dari bibir Reya, dia pikir Reya hanya main main, tapi hingga di umur 26 wanita itu setia menjomblo, Sia baru faham kalau temannya tersebut sungguh sungguh akan cita citanya. "Dua rius." balas Reya. Pembahasan pernikahan adalah hal cukup sensitif bagi Reya. Tapi ya mau bagaimana lagi. "Kenapa sih Re. Enak loh, nanti punya anak makin seru." Sia mencoba mengiming-imingi dengan kata anak di sana. Tapi Reya bukanlah bocah lagi, wanita itu tidak bisa berubah fikiran hanya karena bujukkan untuk anak anak. "Gue pengen anak, tapi nggak pengen lakinya." Reya tersenyum miris akan keinginannya nya tersebut, tapi bagaimana bisa mendapatkan anak di sana. "Hadeh lo mah." Sia pasrah betul jika sudah seperti ini. Dia hanya bisa berdoa akan masa depan temannya tersebut yang semoga saja bisa indah dengan kedatangan sosok laki laki gentle yang berani berdiri di samping Reya. Semoga akan terjadi, cepat atau lambat. Agar Reya juga bisa merasakan ke-happy-an pernikahan dan memiliki pasangan yang benar benar mengerti wanita itu. Semoga saja, semoga sudah dekat, semoga benar tercapai!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD