Zalina - Part 16

1508 Words
Keesokan harinya, aku menunggu Aline membukakan pintu kamarnya untuk ku. Cukup lama aku mengetuk pintu kamar miliknya, cukup lama aku menunggu nya keluar. Tanpa jawaban darinya, tanpa balasan ataupun hanya menjawab panggilan ku. “Aline,” Panggilku kembali, “Apakah kau sudah bangun?” tanya ku kembali padanya, ia sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan ku. Aku mengkhawatirkan dirinya, aku pun tetap berdiri di hadapan pintu kamarnya. Tak lama kemudian, Aline pun membuka pintu kamar miliknya itu. Ia berjalan melewatiku, ia tak menyapa ku sama sekali. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan handuk yang ia simpan pada bahunya, wajah Aline terlihat sangat kusut, bahkan mata nya terlihat sangat bengkak seakan ia sudah menikmati tangisannya semalaman. “Aline,” Panggilku kembali sembari menyusul langkahnya. Aline tetap berjalan menuju kamar mandi, Aku menghalangi langkahnya. Namun mata Aline terlihat mendelik, ia juga membuang napasnya dengan kasar. “Tolong jangan marah padaku, tolong maafkan aku Aline.” ucapku sembari menatap wajahnya, mata Aline bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia terlihat tak memperdulikan permintaan ku, ia juga terlihat tidak mau membahas apapun dengan ku. “Aline aku tidak sengaja, aku minta maaf.” ucap ku kembali sembari menarik lengan nya. Aline tetap tidak mau menatap wajah ku, “Aku memang menyukai nya, tapi aku tidak akan pernah menjadikan nya milik ku.” ucap ku pada Aline. “Menyingkirlah aku harus mandi saat ini juga,” ucap nya memerintah padaku, aku pun kembali menatap wajahnya. “Kau mau kemana Aline?” tanya ku dengan wajah yang menunjukkan rasa khawatir, Aline menggelengkan kepalanya pelan. Ia menyingkirkan tubuh mungil ku, lalu berjalan kembali melewati ku. Ia masuk kedalam kamar mandi tanpa menghiraukan aku, aku pun kembali menunggu nya di hadapan kamar mandi. 20 menit kemudian, ia keluar dengan lilitan handuk yang menutupi tubuhnya. Aku kembali mengikuti langkahnya, “Aline, ku mohon dengarkan aku bicara.” ucapku pada nya. Ia masuk kedalam kamarnya, saat itu aku menahan pintu yang akan ia tutup. Namun ia berucap, “Aku tidak ingin mendengar omong kosong dari mu!” ia pun mendorong pintu kamar nya, aku terhempas dan hampir terjatuh. Dada ku sakit mendengar perkataan Aline, rasanya Aline memang benar-benar marah kepada ku. Aku pun duduk dan terdiam di atas sofa, Aku tak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Aline. Aku melihat Aline keluar dengan memakai pakaian yang sangat rapih, Aku tahu Aline sedang libur bersekolah. Makadari itu aku mengkhawatirkan kepergiaan nya, selama ini kami di kenal sebagai anak yang tidak pernah bermain. Keluarga kami memang terkenal dengan keluarga yang sangat tertutup, apalagi semenjak ibu kami meninggalkan kami, bahkan sesaat setelah mereka tahu mengenai pekerjaan ku. Aku mengikuti langkah Aline kembali, “Kau mau kemana Aline, aku mohon bicaralah.” ucap ku seraya memohon kepadanya. “Kemana saja yang jelas untuk membuat otak ku berjalan kembali dengan sempurna, kau tak mengerti bagaimana penat nya aku.” ucapnya dengan nada yang sangat amat tinggi, aku kembali terdiam dan hanya menatap wajahnya. Mata Aline mendongkak cukup tajam, dagu nya pun terangkat dengan sempurna. Air mata ku menetes melihat apa yang di lakukan nya terhadap ku, aku sangat merasa sedih karena Aline yang saat ini berada di hadapan ku bukanlah Aline yang aku kenal. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang hebat, aku tak tau harus berbuat apa lagi, melihat mata nya saja aku merasa sangat takut. “Mengapa kau marah kepadaku Aline?” tanya ku padanya. Aline menumpukkan kedua tangannya, memalingkan pandangannya seakan tak mau mendengar pertanyaan dariku. “Aline hal itu berlalu begitu saja, aku tak mengerti mengapa Vittore..” Aline kembali mendelikkan matanya dan berusaha pergi dari hadapan ku, “Berhentilah berbicara dengan ku saat ini, aku tak ingin tau menahu dengan apa yang terjadi diantara dirimu dan lelaki itu. Yang jelas, aku merasa kau memang sedang memanfaatkan kebaikannya.” jelas Aline menyela kalimat yang sedang aku ucapkan. Aku merasa tidak menerima dengan apa yang Aline tuduhkan kepadaku, “Aline dengarkan aku, aku tak mengerti mengapa kau marah sampai begini kepadaku. Yang kau katakan tidaklah benar, aku tidak merasa memanfaatkan siapapun.” bantah ku saat itu, tangan Aline menepis tangan ku. Lagi dan lagi aku mendapatkan perlakuan yang tidak enak dari Aline, Aline pun kembali melangkah tanpa menghiraukan aku. Aku menutup wajahku dengan menggunakan kedua tangan ku, aku menangis meratapi seluruh nasib sial ku. Aline sama sekali tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan saat ini, aku mengkhawatirkan nya, namun sepertinya Aline merasa seakan aku membuatnya menjadi saingan ku dalam mendapatkan perhatian Vittore. Aku pun kembali mengikuti langkah Aline, aku melihat jika Aline pergi berjalan kaki dan saat itu aku memutuskan untuk membiarkan nya pergi sementara, mungkin Aline ingin mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tiga jam pun berlalu, aku masih tetap duduk dengan tatapan kosong karena aku merasa mengkhawatirkan adik ku. Ponsel ku bergetar tanda seseorang sedang memanggilku, akupun segera menoleh dan mencari keberadaan sumber getaran dari ponselku. Aku mendapatkan nya, aku melihat siapa orang yang sedang mencoba menghubungi ku. Dan ternyata, Morin lah yang mencoba menghubungi ku. Aku pun menerima panggilan nya, “Halo,” sapaku untuk Morin. “Ha-Halo Zalina,” “Ya Pih, ada apa?” “Adik mu mendatangi ku barusan,” “Ada apa? Mmm, maksudku untuk apa dia mendatangi mu?” “Dia meminta ku menerimanya untuk bekerja disini,” “Apa?” aku cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Morin, Aline meminta nya untuk menerima dirinya bekerja di dalam bar. “Apa-apaan ini Pih?” “Aku bertanya padanya, ada apa dengan nya, mengapa dia meminta pekerjaan seperti ini. Karena yang aku tahu, dialah yang sangat menentang mu dahulu Zalina.” “Aku dan Aline sedang tidak baik Papih,” “Mengapa? Tidak baik bagaimana?” Ia bertanya dengan nada yang terdengar sangat mengkhawatirkan kami, “Apa yang terjadi Zalina?” “Ceritanya panjang, malam saja aku ceritakan padamu.” “Tidak Zalina, sepertinya kau tidak usah lagi bekerja disini.” “Jika seperti itu, bagaimana aku mendapatkan uang untuk makan dan keperluan kami lainnya Papi?” “Kau tidak usah khawatir, aku akan membantu mu hingga kau memiliki pekerjaan yang lain.” “Tidak Papi, aku tidak bisa jika harus seperti itu.” “Mengapa tidak bisa zalina, aku tidak mau Aline memaksa ku menerima dirinya bekerja disini jika kau masih tetap bekerja disini.” “Kau bisa menolaknya pih, tolong aku mohon.” ucap ku sembari menangis, “Tapi jangan hentikan pekerjaan ku, aku tidak bisa menerima uang tanpa menjual keringat halal ku. Aku tidak mau pih, aku tidak mau merepotkan mu.” ucapku kembali. “Zalina, berhentilah menangis. Aku mohon,” “Papi, aku mohon jangan hentikan pekerjaan ku. Tolong jangan pih, biarkan aku tetap bekerja dengan mu.” Ucap ku memohon, “Apa karena banyak nya masalah karena ku sehingga kau tak mau lagi memperkerjakan aku?” tanya ku padanya. “Bukan perkara itu Zalina, andai saja kamu tahu siapa pemilik bar yang aku kelola saat ini.” “Memang nya siapa pemilik sebenarnya,” Cukup lama Morin terdiam, aku pun mencoba memanggilnya dan menyadarkan nya dalam lamunan. Dan Morin masih saja terdiam, “Papi, apakah kau masih disana.” tanya ku kembali. “Mmm, sudahlah Zalina. Lupakan saja,” ucap nya kembali, “Sudah ya, banyak pekerjaan yang belum sempat aku selesai kan.” ujar nya. “Papi sebentar,” Tut tut.. nada panggilan terputus pun terdengar oleh ku, Morin pun tak memberitahuku siapa pemilik Bar yang sebenarnya. Namun nama Xavier terlintas di dalam benak ku, aku rasa pemilik sebenarnya adalah Xavier, lelaki yang selama ini sangatlah aku benci. Aku melamunkan nya seorang diri, jika benar yang menjadi pemilik Bar tersebut adalah Xavier. Bagaimana dengan nasib ku, bagaimana pekerjaan ku, apakah aku harus benar-benar meninggalkannya. Aku menatap jam yang menempel di atas dinding, sudah tiga jam Aline pergi dan aku tidak bisa menghubunginya. Aline tidak membawa ponsel miliknya itu, mungkin ia sengaja meninggalkan ponselnya agar aku tak mencoba menghubungi dirinya. Aku ingin meminta bantuan Vittore, namun aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menghubungi dirinya, aku tak ingin jika Vittore kembali membantuku dan mencoba kembali mendekatiku. Walaupun sebenarnya perasaan ku sakit karena saat ini aku harus berjauhan dengan nya, jujur saja aku sudah mulai menyukainya dan mungkin saja sebentar lagi rasa ini berubah menjadi sebuah rasa cinta. Tak berselang lama, Aline datang dengan membawa banyak bingkisan ditangan nya. Aku cukup terkejut dengan apa yang di bawa olehnya. Aline tersenyum padaku, lalu ia masuk kedalam kamarnya. Akupun mengikuti langkah nya, “Aline, siapa yang memberikan mu uang untuk membeli barang-barang sebanyak itu?” tanya ku pada Aline. “Siapa? Kau tak perlu mengetahui nya.” ucapnya tegas. “Aline, hentikan! Kau lupa sedang berbicara dengan siapa?” ucap ku padanya. “Lupa dan akan lupa siapa dirimu yang dulu, semenjak malam tadi, aku harus melupakan kebaikan yang pernah kau lakukan padaku.” terangnya dengan mata yang mendongkak kearah ku. “Aline aku mohon, maafkan aku. Aku dan Vittore..” Aline menghentikan kalimat yang sedang aku ucapkan, “Stop, aku tak ingin mendengar penjelasan mu.” jawab nya. “Kau melupakan kalimat yang engkau ungkapkan pada Xavier?” tanya Aline. “Maksud mu?” rasanya pertengkaran ku dan Aline kali ini adalah pertengkaran yang sangat besar, Aline mendorongku dan mengusir ku dari dalam kamarnya. Ia mendorongku sembari mengatakan, “Tak usah kau jawab, aku hanya tak ingin menatap wajah mu saat ini.” ujar Aline kembali sembari menutup pintunya dengan sangat keras, aku hanya mampu menangisi nasib ku saat ini. Aline memang sosok anak yang sangat keras, bahkan terkesan pemarah. Ayah saja tak mampu membujuk dirinya jika dirinya dalam keadaan marah, apalagi aku, apalah dayaku saat ini. Aku kembali duduk di samping kamarnya, menempelkan punggungku pada dinding pembatas antara kamarnya dan ruang tamu kami. Aku membungkukkan diriku dan menangis dengan cukup keras, suara Vittore pun terdengar cukup jelas oleh ku. “Mengapa dengan mu? Siapa yang membuat mu menangis?” tanya Vittore, aku mengangkat wajah ku. Menatap kehadiran Vittore di hadapan ku, aku pun segera beranjak lalu berdiri di hadapan nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD