"Hans." Lucy memanggil sosok yang baru saja selesai membersihkan diri setelah lelahnya menatap ratusan dokumen setiap harinya.
"Apa?" Hans sudah terbiasa dengan sikap Lucy yang sekarang semakin berani untuk masuk ke kamar Hans tanpa izin.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Lucy menatap Hans dengan serius.
"Kau akan segera tahu."
"Aku menuntut jawaban darimu."
"Kau tak perlu tahu sekarang, Lucy." ucap Hans dingin di setiap kata yang ia lontarkan.
"Apa sulitnya mengatakan yang sebenarnya?" Tanya Lucy heran.
"Tuan!" panggil Ken dari luar kamar Hans,
"Apa?" Jawabnya dingin.
"Tuan Malvin datang."
Hans membiarkan kancingnya terbuka dan membuka pintu lalu menuju ruang tamu.
"Aku menemukannya."
Hans menyesap Vodka-nya langsung menatap dingin saudara kembarnya itu.
"James Neartiones yang telah membunuh ayah."
Hans menatap adiknya sesaat, "Apa kau yakin?"
"Benang yang kutemukan di TKP adalah benang dari kain bermerk Kiton K-50 kain itu yang biasanya dipakai James Neartiones dan juga aku mendapat sehelai rambut dari salah satu bawahannya, William Tisons." Ia mengangkat helaian rambut dan benang yang ia jelaskan.
Jas Kiton K-50, bahan yang digunakannya untuk membuat setelan jas berkualitas adalah wol domba Merino. Harga untuk sebuah setelan jas ini adalah senilai US$ 60 ribu atau Rp 809,6 juta.
"Tapi apa tujuannya?" Hans masih ragu dengan pernyataan Malvin.
"Kau tahu hotel bintang lima milik ayah? Dia dan ayah yang telah mendirikannya."
"Maksudmu agar seluruh penghasilan dan hotel itu jadi miliknya?"
"Tepat sekali."
"Baiklah, setelah ini aku yang akan mengurusnya kau fokus saja mencari bukti musuh-musuh ayah dan juga musuh kita." ucap Hans tenang.
"Bagaimana kau bisa setenang itu?"
"Emosi yang tidak stabil hanya berdampak buruk."
★ ★ ★ ★ ★ ★
"Kau tampak cantik." puji Hans pada gadis cantik yang rambutnya ditata gelombang melambai-lambai ditiup angin, makeup tipisnya membuatnya tampak cantik natural.
Gadis itu memutar kedua bola matanya, "Acara apa lagi ini?"
"Biarpun kujelaskan kau tidak akan mengerti." jawabnya langsung menggandeng gadis itu dan membelah keramaian pantai itu.
"Kurangajar." umpat Lucy kesal.
Mata Lucy dengan jeli mencari sosok yang sangat dikenalnya dan pada akhirnya, ia menemukannya di salah satu meja sedang meminum wine-nya.
Leon.
"Hans."
"Apa?"
"Acara apa ini? Malam-malam di pantai."
"Biarpun kujelaskan kau tidak akan mengerti."
Lucy memanyumkan bibirnya, "Bisa-tidak kau menghargaiku sedikit?"
"Tidak."
Lucy menatapnya kesal dan mendapatkan ide cemerlang, "Boleh aku keliling? Aku-"
"Bilang saja kau ingin menemui Leon-mu itu."
Lucy terdiam dan memasang mimik bodoh, "Hehe."
"Jangan terlalu jauh dariku jika kau tidak menemukanku kembali ke mobil, jangan mempermalukanku, dan jangan coba-coba kabur." ancam Hans dingin.
Lucy memutar kedua bola matanya, "Ya, ya, ya. Terserah."
Langsung saja Lucy menemui Leon dan Leon pun meninggalkan meja beranjak mendekati Lucy, mereka tersenyum lembut.
"Apa kau tidak dimarahi Mr.Stone menemuiku?"
"Tidak, lupakan soal dia. Mengapa kau ada di New York?" Tanya Lucy sambil berjalan menuju meja lain diikuti oleh Leon.
"Aku membangun perusahaan di sini sambil membantu ayahku, Lucy."
"Oh ya, ayahmu orang New York dan bagaimana ibumu?"
"Dia di Thailand." Jawab Leon dengan mimik yang sulit dibaca.
"Mengapa kau tidak mengajaknya ke sini?"
Leon tertawa garing, "Kau mengapa bisa di New York?"
"Aku melanjutkan kuliahku di sini."
"Benarkah? Lalu bagaimana kau bisa mengenal Mr.Stone?"
"Aku berteman dengan adiknya."
"Oh ya? Chelsea Stone?"
"Ya, kau tahu benar."
Leon menyeringai tipis, "Tentu saja."
"Bagaimana kuliahmu, Leon?"
"Aku masih kuliah, sambil kerja."
Hans datang ke meja mereka dengan senyum misteriusnya, "Bagaimana rasanya mengobrol dengan calon istri orang lain?"
Leon tersenyum simpul, "Jadi kalian akan menikah?"
Hans duduk tanpa dipersilahkan, "Tentu saja, aku akan mengundangmu."
"Aku sangat menantikannya."
Lucy menatap heran kedua sosok di hadapannya, "Hans, di mana Chelsea?"
"Dia tidak datang."
"Kenapa?" Tanya Lucy bingung.
Leon terkekeh pelan, "Kau tidak memberitahu calon istrimu soal pekerjaanmu, ya?"
Mendengar itu Hans tersindir dan tersenyum, "Bagaimanapun diriku, ia akan selalu mencintaiku. Benar begitu, sayang?"
Lucy menatapnya heran kemudian tersenyum, "Tentu saja. Tapi aku ingin tahu acara apa ini?”
Hans menatap jengkel Lucy dan Lucy menjulurkan lidahnya kemudian Leon bingung dan berucap, "Pesta besar Mr.Roberts yang menjadi kepala keluarga."
"Mr.Roberts? Siapa itu?"
"Saingan kami di dunia hitam."
"Dunia hitam?" Tanya Lucy bingung.
Leon tersenyum lembut, "Kau masih terlalu polos untuk mengerti."
Lucy memanyumkan bibirnya, "Berhenti seperti itu, Leon. Aku bukanlah anak kecil lagi."
"Baiklah anak besar." Leon tertawa dengan tampannya.
"Hey!" Kesal Lucy sambil tertawa.
Musuhku lebih akrab dengan tunanganku dibanding aku? Sungguh tidak elit, Hans.
Hans menyimpan rasa kesalnya karena merasa harga dirinya dijatuhkan, kalau ia tidak menahan emosinya Lucy tidak akan mau bekerja sama dengannya. Leon tersenyum remeh pada Hans.
You are Lose!
Shit!
★.★.★.★.★.★
"Hoo gaat het met je?" Pria Eropa bersalaman dengan Hans.
"Goed met mij." jawab Hans.
Hanya itu yang dapat didengar Lucy karena ia pusing dengan bahasa itu.
"Kau memperhatikan calon suamimu terus." tegur Leon sedikit terkekeh.
"Tidak, aku hanya bingung mereka menggunakan bahasa apa." elak Lucy menatap Leon.
"Sepertinya bahasa Belanda, dia ada bicara "Goed met mij" bukan?"
"Ya! Woah! Apakah kau bisa bahasa Belanda juga?"
"Tidak, aku hanya tau arti "Hoo gaat het met je?" Dan "Goed met mij" "
"Oh ya? Apa artinya?"
"Hoo gaat het met je? Itu apa kabar dan Goed met mij itu jawabannya."
"Woah! Hans hebat! Dia bahkan bisa bahasa Indonesia!"
Leon terkekeh pelan, "Kau tidak tahu? Dia menguasai 7 bahasa asing."
"Luar biasa!"
"Kau memuji calon suamimu terus." Leon terkekeh.
"Haha." tawa Lucy garing, ia tiba-tiba mengingat tentang pembunuhan orangtuanya.
"Ada apa?"
"Kau tahu orangtuaku ke sini?"
"Oh iya! Aku melihatnya di TV, kau jadi anak hilang." senyum Leon.
"Kau tahu mereka meninggal?"
Hening beberapa saat.
"Aku tahu. Mereka dibunuh, bukan?"
Lucy menekuk dahinya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Leon diam beberapa saat, "Salah?"
"Tidak, aneh saja tiba-tiba kau tahu."
"Aku.... bertanya pada pihak kepolisian."
Lucy membenamkan wajahnya di lipatan tangannya di atas meja dan isakan kecil mulai terdengar.
"Kau masih punya aku dan Hans." bujuk Leon mengelus kepalanya.
Aku hanya punya kau, Leon. b******n itu hanya memerintahku menjadi bonekanya....
Flashback on
"Mama! Aku dapat beasiswa di New York!" Lucy memeluk ibunya yang tengah memasak di dapur.
"Benarkah?!" Kaget ibunya tak percaya.
Lucy memberikan surat yang menyatakan kebenaran tersebut. Dengan bangga ibunya memeluknya sangat erat.
"Kita harus memberitahu ayahmu!"
Lucy mengangguk dan mereka pergi ke ruang kerja ayahnya.
"Papa! Lucy dapat beasiswa di New York!"
Ayahnya tersenyum, membaca surat yang diberikan anaknya itu kemudian mengelus lembut kepala buah hatinya.
"Gak sia-sia kamu belajar, gak sia-sia papa banting tulang, gak sia-sia mama kamu membesarkan kamu dengan penuh kasih sayang. "
Mereka berpelukan kemudian Lucy memasang mimik sedih, "Tapi aku akan jauh dari kalian. "
"Kami akan sering berkunjung, atau kau yang sering-sering pulang. "
"Aku sayang kalian. "
Flashback off.
"Aku harap mereka tenang di sana." gumam Lucy setelah beberapa saat diam.
"Semoga saja."
"Lucy." Panggilan Hans membuat mereka menoleh. "Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang."
Lucy mengangguk dan mengekor di belakang Hans, Lucy menatap lelaki yang umurnya sekitar 23 tahun.
"Kenalkan, ini Mr.Roberts."
Lucy menatap pria itu kagum, pasalnya di sini yang paling muda adalah Mr.Roberts sudah begitu jadi kepala keluarga pula, pakaian berjasnya menunjukan kalau ia bukan orang sembarangan.
"Lucy Setya Febriana." Lucy menjabat pria itu.
"Micheale Roberts." senyum pria itu, "Kau orang asia? Nampaknya kau kurang lebih seumuran denganku."
Hans tersenyum, "Menggoda calon istriku sama saja kau cari mati."
Mike alias Micheale itu tertawa, "Oh? Kupikir kau main-main soal tunanganmu itu."
"Aku tidak pernah main-main, Mr.Roberts."
"Aku tidak pernah mendengar kau punya tunangan Mr.Stone bahkan media juga tidak ada yang tahu."
Hans terdiam, "Memang belum, tapi akan segera."
Hans mencium bibir Lucy singkat.
Pintar sekali ia membual.
"Aku akan menunggu undanganmu." ucap Mike mengedipkan mata kanannya pada Lucy dan pergi.
"Dasar lelaki penggoda." gumam Lucy menatapnya.
Hans menatap Lucy, tatapannya sangat sulit untuk diartikan.
"Ayo kita pulang."
"Kau tunggu di mobil, aku ada urusan sebentar."
Hans melangkah, "Bilang saja kau ingin meminta kontak Leon-mu itu."
Pipi Lucy merah padam pasalnya Hans selalu tahu apa yang ingin Lucy lakukan.
Menyebalkan....
Mata Lucy mencari sosok Leon butuh setengah jam ia menemukan sosok itu, sahabatnya itu tengah dalam kerumunan gadis-gadis kalangan atas dan juga stylish. Karena merasa tidak enak untuk mengganggu, ia berbalik dan menuju mobil Hans.
"Ada apa dengan rautmu?" Tanya Hans menaikan alis kanannya.
"Tak apa."
"Bilang saja kau tidak dapat kontaknya."
Lucy mendongakan kepalanya dan menatap jengkel pria itu, "Apa kau itu peramal?!"
Hans tersenyum tipis, "Hanya menebak."
Lucy kembali menunduk.
"Memang kau punya ponsel untuk menghubunginya?"
Jleb!
Lucy menggeleng.
"Jadi kau akan menggunakan fasilitas rumahku, benar?"
Lucy menatap jengkel Hans, "Aku sedang bersedih! Orangtuaku dibunuh! Sahabatku sekarang jadi musuhku! Apa kau tidak kasihan padaku? Bukannya menghiburku kau malah membuat mood-ku tambah hancur!"
Hans memutar kedua bola matanya, memberikan kotak yang terbungkus kado dengan pita merah muda kemudian ia menyalakan mobil. Lucy menatap Hans tidak percaya kemudian menyentuh kening pria itu segera ia tepis.
"Apa yang kau lakukan?!" Kesalnya, pasalnya tidak ada yang berani menyentuhnya seenaknya.
"Aku hanya megecek apa kau sakit atau tidak?"
Hans memutar kedua bola matanya dan menginjak gas, "Jangan salah paham, aku memberikanmu itu agar aku tidak sulit menghubungimu."
Lucy membuka kado itu dan berisi ponsel Vivo Xplay 3S 4G LTE.
"Kau suka buang-buang uang, yah?"
Hans terkejut dengan apa yang dilontarkan Lucy bukannya berterima kasih dan senang ia malah berkata demikian.
"Padahal aku bisa hidup dengan ponsel murahan saja."
Hans kesal, "Kau tidak suka? Baiklah. Jangan kau ambil, aku tidak akan memberikanmu apa-apa lagi."
"Hey, kau tidak perlu marah."
"Siapa yang tidak marah kalau kau berniat baik malah dikatai tidak-tidak?"
Lucy tertawa, "Baiklah, aku minta maaf. Terima kasih, aku menyukainya."
"Sam-" belum sempat Hans selesai bicara, Lucy sudah memotongnya.
"Kau pikir aku akan berkata begitu?"