Bab 3

1308 Words
Tidak pernah aku seantusias ini setiap syuting hendak dimulai, aku sengaja bangun pagi agar saat Winda datang aku sudah siap dan kami tinggal pergi. Ya, hari ini syuting reality show dimulai. Aku sudah menyiapkan beberapa barang yang akan aku bawa, baju ... sepatu ... alat-alat makeup - walau di sana aku yakin akan ada penata rias, serta beberapa novel untuk menghilangkan rasa bosan saat menunggu giliran. Ting tong ting tong Aku berhenti memoleskan lipstik saat mendengar suara bell, tumben Winda tidak langsung masuk seperti biasa. Aku keluar dari kamar dan mengintip melalui lobang kecil di pintu. Mataku membesar saat melihat siapa yang sedang berdiri di depan apartemenku, aku mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Winda. "Iya mbak." "Elo di mana?" "Nih di bawah lagi sama managernya mas Erick. Mas Erick sudah sampaikah di atas?" Sialan, pasti Winda yang memberitahu apartemenku ada di mana. Ting tong ting tong "Itu dia datang." Aku melempar ponsel dan mencoba untuk tenang. Beberapa kali aku buang napas agar tidak terlihat jelas kalau aku gugup saat bertemu dengannya. Pintu aku buka dan Erick berdiri dengan wajah datar. "Bisa bicara?" Tanyanya. "Nggak ada yang perlu dibicarakan, sampai jumpa di lokasi syuting." Aku hendak menutup pintu tapi Erick menahannya. "Lima menit," pintanya. Pintu yang sedari tadi menjadi penghalang mulai aku lepaskan, Erick lalu masuk tapi aku memintanya tidak menutup pintu. "Buruan," perintahku. Erick menatapku dengan tatapan khas miliknya, tatapan yang sama saat dia mengucapkan kebohongan tentang hal itu. "Hentikan, Allea." Lagi-lagi Erick mengucapkan hal yang sama. Aku menyatukan kedua tangan di d**a lalu menatapnya dengan jijik. "Ini semua hanya akting, jangan pikir gue mau jadi istri elo. Nikmati saja prosesnya dan setelah acara ini selesai bukankah hubungan profesional di antara kita juga selesai," balasku dengan mata masih menantangnya. Erick kali ini menghela napasnya. "Kenapa kamu terima kontrak itu , Allea? Apa tujuan kamu?" Tanya Erick dengan raut wajah penuh tanda tanya. "Gue hanya menjalankan kontrak dari agency atau gue harus bayar milyaran rupiah karena melanggar kontrak karena menolak acara itu," balasku meski tujuan sebenarnya bukan itu. Ada tujuan lain dan Erick tidak boleh tahu. "Akhiri, Allea. Aku akan bayar dendanya berapapun itu tapi akhiri kontrak itu," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah buku cek dari tasnya. Aku tertawa sinis dan bertepuk tangan saking kagum dengan kekayaan yang dimilikinya. Aku mendekatinya dan melanjutkan tepuk tangan tadi. "Wah wah wah ternyata elo mau ya buang-buang uang untuk gue? Mau tunjukkin kalau elo itu tajir? Kaya? Atau karena ingin membeli gue?" Sindirku tajam. "Tidak, hanya saja ..." Erick mencoba menjelaskan tapi aku langsung mengangkat tangan untuk membuatnya berhenti membela diri "Gue bukan Allea kecil yang elo kenal dulu, yang bisa elo ancam dengan seenaknya!" Aku melewatinya dengan wajah mulai menegang tapi langkahku terhenti saat tangannya memegangku. Rasanya masih sama seperti dulu. Tubuhku menunjukkan reaksi yang aneh, kakiku seperti dipakukan ke lantai bahkan aku tidak bisa menghalau tangannya. Erick benar-benar mimpi buruk dalam hidupku. "Hentikan, sebelum aku kembali menc ..." Erick langsung melepaskan pegangannya saat Winda muncul. Winds terlihat salah tingkah, mungkin dia melihat Erick memegang tanganku. "Mbak ... Sudah selesai bahas naskahnya?" Tanya Winda saat aku dan Erick terlihat tegang dan canggung, mungkin dia pikir itu hanya akting. Erick mengangguk lalu pergi begitu saja meninggalkan aku masih terpaku di lantai. Winda mengambil barang-barang yang akan aku bawa ke lokasi syuting. "Mas Erick ganteng ya mbak, hot gitu loh. Tadi dia hubungi aku untuk tanya alamat apartemen mbak, katanya untuk bahas naskah biar nanti nggak canggung gitu," ujar Winda mengoceh sepanjang perjalanan kami menuju parkiran. Kamu tidak tahu saja kalau laki-laki bernama Erick itu b******n dan jahat. **** Lokasi syuting sudah dipenuhi para kru, Erick dan juga aku. Pak Syamsul - Sutradara dan mbak Lanny - penulis naskah memanggilku dan Erick sebelum syuting dimulai. Kami duduk berempat di kursi sambil memegang naskah yang sudah aku hafal sejak beberapa hari ini. "Sepertinya saya akan mengubah semuanya," ujar pak Syamsul dan diikuti anggukan mbak Lanny. Aku melihat Erick yang masih bersikap cuek, seakan tidak peduli naskah yang sudah dihapal berhari-hari diganti saat syuting akan dimulai. "Kenapa diubah? Bukannya terlalu berani mengubah naskah secepat ini?" Tanyaku. Pak Syamsul tertawa lalu membuka kacamatanya, "Ini reality show dan naskah hanya akan membuatnya seperti sinetron atau FTV. Saya mau kalian improvisasi sendiri, anggap saja ini reality show kehidupan kalian sendiri. Tanpa naskah dan bebas asal terkendali," balas pak Syamsul. Tanpa naskah dan harus improvisasi agar terlihat nyata bukan sekedar baca naskah seperti sinetron, pekerjaan yang berat. "Baik," Erick lalu berdiri dan memakai kembali kacamata hitamnya, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan dia meninggalkan aku yang masih terpana dengan perubahan secara mendadak ini. "Ayo kita mulai," pak Syamsul kembali ke kursinya dan menyuruhku mulai adegan pertama. Episode 1 Pertemuan pertama. Seharusnya aku menerima tawaran Wendra saat ingin mengantarku pulang tapi rasa segan membuatku menolak tawaran itu dan akhirnya aku harus kehujanan. Aku berlari sambil menutup kepala dengan tas menuju tempat untuk bisa berteduh, sebuah jembatan tidak jauh dari rumahku. Sudah 30 menit aku berteduh, hujan tidak kunjung reda bahkan semakin deras. Hari mulai gelap dan suasana di jembatan ini sangat menakutkan dan membuat bulu kuduk berdiri. "Lebih baik aku lari saja," aku hendak lari dan sebuah tubuh menghalangi langkahku. Aku melihat seorang laki-laki memegang payung. Ah aku kenal dia. Erick, si penyanyi itu. "Mau nebeng?" Tanyanya. "Bolehkah?" Tanyaku balik. Erick mengangguk lalu memberikan sedikit tempat di sampingnya agar aku tidak basah. Sialan! Kenapa jadi sedekat ini? Aku mulai risih dan mencoba agar tubuh kami tidak saling bersentuhan. "Cut!" Teriakan pak Syamsul membuatku mundur agar menjauh darinya. "Tadi sudah bagus, terlihat nyata dan lucunya kalian terlihat serasi di kamera. Hmmm sebaiknya nanti saat Erick menawarkan payung kamu menolak dulu terus baru terima, kalian bicara tentang apa lah pokoknya habiskan adegan pertama dan kedua di bawah jembatan ini ... Hmmm apa lagi ya, pokoknya terserah kalian berimprovisasi." Aku pun mengiyakan dan mulai lagi dari awal. "Mau nebeng?" Tanyanya. Aku menggeleng dan pura-pura buang wajah ke arah lain agar dia berhenti menawarkan payungnya. "Hari semakin malam dan tidak seharusnya tuan putri berada di tempat seperti ini," ujarnya. Aku terkesima mendengar ucapannya barusan, aku ingat kata-kata itu pernah dia ucapkan saat kami pertama bertemu 10 tahun yang lalu. Tidak ada suara 'cut' berarti pak Syamsul setuju. "Seharusnya aku di mana?" Kami saling menatap panjang, aku melanjutkan karena pak Syamsul tidak menghentikan percakapan tadi. "Di hatiku," balasnya. "Cut!" Aku membuang napas setelah akhirnya mendengar kata itu. Sepertinya jawaban Erick tadi tidak sesuai dengan keinginan pak Syamsul. "Bagus! Sangat natural. Sekarang kita lanjut adegan berikutnya," ujar pak Syamsul memberi pujian dengan dua jempol. Aku tercengang mendengar pujian pak Syamsul barusan. Baru episode satu saja sudah kayak begini, ini semua karena naskah sialan itu diganti! Arggggg menyebalkan! Aku kembali ke posisi setelah merapikan makeup yang sempat rusak terkena air hujan buatan. Adegan kedua. "Sudah berapa banyak wanita singgah di hati kamu?" Tanyaku. Erick tersenyum dan tangannya memainkan air hujan yang jatuh dari ujung payungnya. "Mungkin kamu tidak akan percaya tapi untuk saat ini hanya kamu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat aku melihat kamu berdiri di sini sendirian." Gombal. "Benarkah? Tidak kah terlalu cepat jatuh cinta saat kita ternyata baru bertemu hari ini," balasku. "Karena kita tidak tahu kapan cinta itu berlabuh, mungkin hari ini atau 10 tahun yang lalu?" Lagi-lagi Erick mengungkit masa lalu di tempat ini. Sialan! Sepertinya ideku syuting di bawah jembatan malah menusukku sendiri. "Cut!" Teriak pak Syamsul lagi, "istirahat dulu dan adegan selanjutnya kalian makan di sebuah cafe, saya suka dengan akting kalian. Tatapan mata kalian benar-benar seperti orang sedang jatuh cinta. Terutama kamu, Erick." Lanjut pak Syamsul. Aku melongos dan meninggalkan Erick bersama pak Syamsul sedangkan aku kembali ke kursi untuk mengambil air minum yang sudah disediakan Winda. "Keren, mbak. Akting mbak dan mas Erick natural kayak pasangan kekasih gitu," Winda memberiku handuk untuk menghapus air yang membasahiku. "Berisik kamu!" Ocehku dengan kesal. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD