Episode 3

1207 Words
Sinar matahari menembus tirai jendela, samar-samar sinarnya membuat silau mata. Perlahan aku mulai menggeliat merasakan seluruh tubuhku terasa sakit, terutama bagian kepala. Tidak banyak yang kuingat, hal terakhir yang mampu diingatnya yaitu, ketika aku melihat sosok lelaki misterius yang menghampiriku dan juga Dewi. Perlahan aku membuka mata, mengerjap berulang-ulang. Setelah mataku terbuka lebar seutuhnya, aku mulai mengamati keadaan sekelilingku. Warna cat dinding kamar tidak sama dengan cat dinding kamarku, bahkan tatanan ruangannya pun berbeda. Ada yang salah dan aneh, aku segera menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Jantungku semakin berpacu cepat, begitu mendapati pakaian yang melekat di tubuhku, ini bukan pakaian milikku. "Ya Tuhan!" Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam. Aku tidak ingat kapan mengganti pakaian dan berakhir di tempat asing ini. Aku berada dalam masalah besar jika ternyata semalam terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Udah bangun?" Terdengar suara seseorang dari balik pintu. Sosok lelaki bertubuh tinggi, berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan dia datang, aku tidak menyadarinya sama sekali. "Zacki?" "Semalam kamu mabuk, terus pingsan. Aku bawa kesini soalnya aku ga tau password apartemenmu." Aku tersenyum meringis. Ternyata sosok lelaki yang semalam menghampiriku dan Dewi adalah Zacky. Aku tidak tau apakah ini hal baik atau justru sebaliknya. "Ngomong-ngomong, itu bi Ratih yang mengganti pakaianmu." Hatiku sedikit merasa lega, beruntunglah bukan dia yang mengganti pakaianku. "Terimakasih." Aku tidak tau kalimat apa yang sepatutnya keluar dari mulutku, hanya saja berterima kasih untuk apa yang dilakukannya semalam tidak terlalu buruk, mengingat hubunganku dan Zacky tidak terlalu akrab. "Ayo sarapan. Bi Ratih sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kita." Ajaknya, kemudian ia meninggalkanku yang masih duduk di tengah-tengah kasur miliknya. Segera aku menyibak selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku, aku mengikuti Zacky menuju meja makan. Sesekali aku memperhatikan apartemen miliknya. Semua perabotan tertata dengan sangat rapi dan bersih. Untuk ukuran tempat tinggal lelaki lajang, bisa dibilang rumah Zacky sudah sangat layak huni, dengan segala perabotan pelengkapnya. "Masih pusing? Coba minum ini, mengurangi pusing dan mual karena mabuk." Zacky menyodorkan satu strip obat berwarna biru padaku, sekilas saja aku sudah tau itu obat pereda nyeri yang sering diberikan Dewi, jika salah satu dari temannya mabuk berat. "Ah,, iya setelah ini aku antar kamu ke rumah Mamah, dari semalam telponmu terus berbunyi. Dan itu dari Mamah Lucia." Aku menggigit bibirku pelan, bagaimana bisa aku melupakan mertuaku begitu saja. Dia pasti menungguku datang, karena setelah menjenguk Irsyad aku belum sempat memberinya kabar. "Tapi, aku mau pulang dulu. Mau ganti baju." Zacky mengangguk, ini adalah kali pertamanya kita berbicara cukup lama. Karena setelah menikah dengan Adam, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. "Bajuku yang semalam,,," "Udah di cuci bi Ratih, nanti aku kembalikan kalau sudah kering." Zacky memotong ucapanku. "Tapi, aku tidak mungkin keluar apartemen hanya menggunakan pakaian tidur seperti ini." "Kenapa? Jarak rumahku dan rumahmu hanya beberapa meter saja. Tidak masalah jika kamu memakai pakaian seperti itu." Aku menyerngitkan dahi, "Kita tinggal di satu gedung yang sama, unit kamu hanya berjarak satu unit dari sini." Aku benar-benar tidak tahu, ternyata selama ini aku dan Zacky bertetangga. "Kamu bisa bersiap- siap sekarang. Aku tunggu, kita berangkat bersama." "Aku bisa berangkat sendiri ___" "Mama menyuruhku untuk mengantarmu kesana." Ucapnya, seolah perintah mutlak yang tidak bisa lagi kutawar. "Baiklah." Aku mencoba sebisa mungkin untuk menyembunyikan sembab yang ada di wajahku, jujur saja wajahku sekarang lebih mirip seperti ikan buntal, sembab dan mataku sedikit berwarna merah. "Ck, ini gara-gara si Dokter kampret Dewi." gerutuku sambil terus mencoba menutupi sembab yang ada di wajahku dengan memakai bedak dan sedikit perona wajah. Berharap make up bisa menutupinya. Bagaimana jadi nya jika Ibu mertuaku tau semalam aku mabuk berat dan bagaimana jika Zacky menceritakan kejadian semalam, bahkan dia yang membawaku pulang. Aku hanya bisa menghela kesal, seharusnya aku bisa lebih berhati-hati lagi, karena saat ini bukan hanya diriku saja yang menjadi tanggung jawabku, tapi juga suami dan keluarganya. Selesai merapikan wajah dengan sedikit riasan, tidak lupa aku pun membawa tas kecil berisi pakaian yang akan aku bawa ke rumah utama untuk bermalam disana selama empat hari. Sebagai seorang menantu yang baik, tentunya setiap kali berkunjung ke rumah mertua harus membawa buah tangan atau masakan untuk mertuanya. Tapi, berhubung aku tidak pandai memasak dan kemarin aku tidak sempat membeli sesuatu untuk mertuaku, akhirnya aku hanya membawa tubuhku saja. Semoga mertuaku tidak pernah lupa, jika menantunya ini tidak pandai memasak. Begitu membuka pintu aku terkejut, ternyata Zacki sudah menunggu, persis di depan pintu. "Maaf membuatmu menunggu lama." "Lumayan lama, bahkan sangat lama." Keluhnya namun disertai senyuman, membuat rasa bersalahku tidak terlalu banyak. Aku hanya mengikuti Zacky satu langkah di belakangnya. Meskipun dia sudah mau berbicara padaku, tapi rasanya masih sedikit canggung dan aneh. "Sini biar aku yang bawa." Tiba-tiba langkahnya terhenti dan mengambil alih tas jinjing dari tanganku, "Nggak apa-apa, biar aku aja yang bawa." Ia tidak bergeming dan tetap membawa tas milikku. Di dalam mobil tak ada yang berbicara, jujur saja aku memang agak sulit berbasa basi. Aku tidak berniat memulai pembicaraan dan justru berniat membiarkan keheningan di antara kita berdua hingga sampai di rumah utama. Mungkin Zacky mulai menyadari rasa canggung yang terlihat jelas dari sikapku yang hanya memilin- milin tali tas selempang yang kukenakan. "Bawaan nya sedikit?" akhir nya dia memulai pembicaraan, mengakhiri keheningan.. "Iya. Di rumah Mamah ada bajuku yang lain, jadi aku hanya bawa seperlunya saja." "Berapa lama Mas Adam di luar kota?" "Empat hari." Zacky mengangguk. "Mengenai semalam, itu sebenarnya,, aku." Sulit rasanya meminta tolong agar Zacky tidak menceritakan apapun pada Mamah Lucia. "Aku tidak akan bercerita pada siapapun, termasuk mas Adam." dia terkekeh, ia pasti tau maksud ucapanku. Aku hanya tersenyum, menahan malu. "Aku bukan orang yang suka mengurusi urusan orang lain, aku tau jika kamu juga punya kehidupan selain hanya mengurus Mas Adam." "Aku tidak akan mengulanginya lagi." ucapku pelan. Jujur aku sangat menyesal mengikuti ajakan Dewi "Kenapa? Mas Adam melarangmu?" "Tidak," Aku segera mengelak, karena Adam tidak pernah melarangku. "Aku takut mempermalukan keluarga kalian, apa jadinya jika sampai orang lain tau menantu keluarga Malik ketahuan mabuk dan berada di sebuah bar terkenal Ibu kota." Zacky sekilas menatapku. Hanya sekilas, karena ia kembali fokus mengemudi. "Kamu bahagia hidup bersama Mas Adam?" "Ya?!" "Aku cuman tanya, gak perlu terkejut seperti itu." Aku meringis, mungkin ekspresiku terlalu berlebihan. "Tentu saja aku bahagia." Aku cukup terkejut dengan pertanyaan Zack. Pertanyaannya seolah meyakinkan sesuatu. Tidak ada obrolan lanjutan, aku dan Zacky kembali terdiam, hingga akhirnya kita sampai di rumah Mamah. Baru aku membuka pintu mobil, terlihat Mama Lucia sudah keluar dari pintu dan menyambutku dengan suka cita. "Sayang.... Mama kangen!" ucapnya sembari memelukku erat. "Bela juga kangen mah.." Mama membawaku masuk kedalam rumah, mengabaikan Zacky yang masih tertinggal di belakangku. "Mama udah siapin makan siang, yuk makan bareng kamu pasti lapar." "Aku mau simpan barang aku dulu sebentar." belum aku berbalik ke arah luar untuk mengambil tas di mobil, Zacky sudah terlebih dulu membawanya. "Biar aku yang simpan." Ucapnya sambil membawa tasku naik ke lantai dua. "Tuh udah di bawain, kamu ikut mama aja ya." Belum sempat aku menjawab, tanganku sudah terlebih dulu di seret Mama ke dapur. Aku sangat menyukai berada di rumah Mamah Lucia, walaupun dia sedikit berlebihan. Dia sangat berlebihan jika aku berkunjung ke rumahnya, tapi justru membuatku senang. Di sini aku merasa di anggap, dan merasa di butuhkan. Perhatian Mamah Lucia dan juga Zaskia membuatku merasa benar-benar memiliki keluarga, walaupun aku masih sering bingung dengan sikap Adam. Tapi, aku benar- benar menyukai keluarga ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD