Menikah,tidak hanya tentang soal kamu dan pasanganmu saja. Bukan tentang menjaga nama baik suamimu tapi juga keluarga nya. Karena ketika kamu mengikat diri menikahi seorang lelaki, berarti ada dua keluarga yang kini kamu miliki.
Keluarga Adam bukan tipikal keluarga penuntut yang mengharuskan menantunya pintar masak, pintar bersih-bersih rumah dan pintar yang lain nya. Keluarga Adam justru keluarga yang amat di idam-idamkan semua gadis masa kini yang tentunya tidak bisa melakukan hal hal seperti di atas. Termasuk aku. Begitu juga dengan Adam, dia bukan lelaki penuntut yang mengharuskan istri nya siap siaga melayani segala keperluannya dari mulai makan dan menyiapkan baju bak asisten rumah tangga. Adam tidak seperti itu.
Untuk ukuran suami idaman, Adam termasuk ke dalam nya. Adam, baik dan perhatian. Tapi bukan perhatian yang muluk muluk bak drama korea. Jangan harap setiap pulang kerja Adam akan membawakanku bunga, atau mengecuo keningku ketika bangun tidur, itu hal yang tidak mungkin dilakukannya. Meskipun begitu, Adam memperlakukanku dengan sangat baik, memenuhi segala kebutuhanku tanpa kurang sedikitpun. Hanya ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku, yaitu hingga hari ini tepat 2 bulan pernikahan ku, Adam belum pernah menyentuhku atau meminta hak nya sebagai seorang suami.
"Aku ada meeting hari ini, kemungkinan juga pulang nya 4 hari kemudian, kamu ga apa apa kan aku tinggal." Ucap Adam di sela sela sarapan yang kusediakan.
"Iya ga apa apa." Dia selalu bertanya , padahal dia pasti tau kalau aku kurang suka jika di tinggal pergi.
Adam beranjak dari kursi nya, menggeser tempat duduk nya hingga ke sebelahku.
"Kalau kamu bosen ke rumah Mamah aja, nanti kamu bisa pergi jalan sama Kia." Ucapnya sembari mengelus rambutku.
"Iya, besok aku ke rumah Mamah, hari ini mau jenguk Irsan dulu." Aku masih menunduk, mencampur sereal yang sudah mulai lumer bercampur s**u.
"Irshan masih koma?"
"Iya"
"Maaf aku belum bisa jenguk, nanti pulang dari Bandung aku janji akan menyempatkan waktu menjenguknya."
Aku hanya mengangguk, aku tau itu hanya alasannya saja, agar tidak membuatku semakin kecewa, karena pada kenyataannya selama ini Adam tidak pernah menjenguk irsan dan beralasan alasan sibuk.
Selesai sarapan Adam berangkat, membawa koper kecil untuk keperluannya selama di Bandung. Sedangkan aku langsung membersihkan sisa-sisa piring kotor dan merapikan rumah. Semua urusan rumah aku kerjakan sendiri, rasanya terlalu berlebihan jika aku masih meminta bantuan jasa asisten rumah tangga, karena apartemen yang kini kutinggali bersama Adam, tidak terlalu besar, namun sangat nyaman dan aman. Selesai merapikan dapur, akupun segera membersihkan diri. Aku ingin segera mengunjungi satu-satunya anggota keluarga yang masih kumiliki.
Ruangan yang dingin, sepi, dan hanya ada suara-suara dari alat alat aneh yang menopang hidup adiku selama hampir 4 bulan ini. Dan masih saja irsan belum mau bangun dari mimpi panjang nya. Ku genggam tangan nya yang dingin, nampak dia semakin kurus dan pucat, membuat hatiku semakin sakit.
"Dia belum ada perubahan." Ucap seseorang yang tak kusadari kedatangan nya, dan dari suara nya aku sudah tau jika itu Dewi, dokter sekaligus teman baikku.
"Dia masih betah tidur," Jawabku.
Perlahan tangan Dewi mengelus punggungku, dan itu justru meruntuhkan pertahananku. Aku menangis untuk kesekian kali nya...
"Dia cuman istirahat, dia pasti akan segera sadar."
"Aku lebih suka bertengkar dengan nya, sampai dia menjambak dan mencakar wajahku, daripada dia hanya diam seperti ini."
Dewi hanya menghela nafas dan memelukku dengan sangat erat.
Jam besuk pun berlalu, aku hendak kembali ke apartemen atau mungkin aku akan ke rumah mertuaku. Semenjak tahu putranya pergi ke Bandung, Mama Lusia terus menerorku agar segera datang ke rumahnya.
"Bel,, udah mau balik?" Dewi yang tiba-tiba datang dari ruangan kerja nya.
"Iya, pengennya sih jalan dulu bareng kamu, tapi mamer udah nelfon mulu suruh buru-buru dateng." Aku menunjukan layar ponsel berisi beberapa panggilan Mamah Lusia pada Dewi. Dan wanita berambut ikal itu hanya terkikik geli, melihatnya.
"Udah lama gak jalan sama gue, jalan aja yuk, gue kebetulan sudah selesai." Dewi melepas seragam putih kebanggaannya dan melipatnya diantara tangannya.
Aku masih menimbang nimbang tawaran Dewi, hingga Dewi malah menarik tanganku, menyeretku ke dalam mobil nya.
"Mikirnya kelamaan ih,,, bilang mertua lo, ada urusan mendadak dan besok aja ke rumah mamer nya."
Akhirnya aku pun mengikuti ajakan Dewi. Tempat yang dituju bukan lah coffee shop seperti biasa, Dewi malah menyeretku ke sebuah club yang cukup terkenal di Ibu Kota.
"Lo ngapain sih ngajak gue kesini?" Tanyaku.
"Sesekali sih Bel, lo udah jarang banget hangout bareng, semenjak lo kawin." Jawab Dewi setengah teriak, karena suara musik yang begitu memekakan telinga.
Aku bukan anak cupu yang tidak tau soal kehidupan malam Ibukota, aku cukup tau karena sebelum menikah dengan Adam, aku sering ke tempat seperti ini dengan teman-temanku termasuk Dewi.
Selang beberapa lama, muncul Tiffany dan Johan
"Woi... Gak salah liat gue, ada nyonya Adam disini." ucap Tiffany sambil merangkul pundakku. Kedua manusia ini juga temanku, mereka berdua adalah sepasang kekasih.
"Yoi... Doi lagi di tinggal suaminya. Daripada bulukan di rumah, gue bawa kesini." Balas Dewi
"Lo gak takut ketahuan sama mertua, menantunya ada disini?" Tanya johan.
"Gak, asal jangan mabok aja." jawabku, dan ketiga temanku hanya terkekeh menertawakanku.
"Lo minum orange jus aja sana, gak usah minum yang aneh aneh." Ucap Tiffany sambil menenggak minumannya.
"Gue gak secupu itu, gila.. gue masih berani minum." jawabku yang merasa tertantang dengan ucapan Tifani.
Ucapan Tifani sedikit menyentil egoku, meski sejujurnya aku tidak pernah bisa minum alkohol terlalu banyak seperti Tiffany dan Dewi. Aku menenggak minuman yang tadi ada di lengan Tifani hingga habis, rasa panas yang mulai terasa di tenggorokan dan rasa pusing yang mulai menyerang kepala mulai terasa. Ketiga temanku bersorak ketika aku menghabiskan gelas kedua.
"Bel, udah. Lo mulai mabok." Dewi menahan gelas ketigaku.
"Nggak, gue gak mabok." Aku mengelak, hari ini aku merasa menjadi diriku kembali, jujur saja semenjak perkenalan dengan keluarga Adam enam bulan lalu, aku memang membatasi diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa memicu mempermalukan keluarga Adam. Karena keluarga adam jauh dari kata masalah, yang dalam artian, keluarga mereka jarang tersandung masalah serius ataupun masalah sepele. Yang inti nya keluarga Adam itu bisa dibilang keluarga baik- baik.
Hari ini entah setan apa yang merasuki diriku, hingga aku menerima ajakan Dewi, bahkan sedari awal aku tau resiko yang akan aku tanggung jika saja keberadaanku tersebar hingga sampai ke telinga mertuaku. Mungkin saja pemberitaannya akan ramai di media online bisnis, dengan judul istri pengusaha sukses, Adam Malik tertangkap basah tengah mabuk di sebuah klub ternama Jakarta.
Aku tau berita seperti itu akan menimpaku, tapi aku juga butuh sesuatu yang bisa membuat himpitan di hatiku berkurang, walaupun hanya sedikit.
"Lo mabok, anjir. Gue udah bilang kan gak usah minum banyak." Umpat Dewi terdengar sayup-sayup, rasa pusing dan sakit di kepala kian berdenyut, menghilangkan sebagian kesadaranku.
"Gue kan yang repot. Ahh lo sih!" Dewi masih mengumpat tidak jelas.
"Pesenin gue taksi aja."
"Lo gila! Lo mabok trus naik taksi, tar kalau lo di apa-apain, gue gak mau laki lo bunuh gue."
Aku tau Dewi tidak akan tega membiarkanku pulang sendiri. Dia pasti akan mengantarku pulang, walaupun aku harus siap dengan ceramah panjang kali lebarnya esok hari.
Susah payah aku berjalan sempoyongan, mengimbangi rasa sakit, pusing dan mual yang semakin membuatku kesulitan berjalan, akhirnya kita tiba di parkiran. Ketika akan memasuki mobil Dewi tiba-tiba seseorang datang menghampiri, wajahnya samar-samar tidak jelas, dan aku tidak mengenalnya sedikitpun.
"Isabel, biar pulang bareng saya." Ucapnya pelan, namun seperti sebuah perintah mutlak bahkan tanpa bantahan Dewi langsung menyerahkanku pada lelaki yang tidak kukenali itu. Kesadaranku benar- benar sudah hilang, aku tak lagi bisa membuka mata yang terasa kian memberat. Aku hanya merasa jika seseorang menahan tubuhku dan bisa aku cium wangi tubuh nya. Wangi yang begitu familiar, seperti wangi tubuh seseorang.