Eps. 7 Telepon Mendesak

1303 Words
Mobil Devan akhirnya memasuki halaman gedung kantornya—sebuah bangunan modern berlantai lima dengan desain minimalis dan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Di bagian depan, nama perusahaannya tertera tegas: “Elano Property & Development.” Seperti biasa, beberapa karyawan sudah tampak sibuk di lobi, menyapa ramah sambil menunduk hormat. Devan hanya membalas dengan anggukan kecil, langkahnya cepat, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi dalam dirinya, badai pikiran belum juga reda. Ia naik ke lantai tiga, langsung menuju ruang kerjanya—ruangan pribadi yang luas dan mewah. Dindingnya berlapis panel kayu bertekstur hangat, dihiasi lukisan arsitektur kota dan rak berisi dokumen proyek. Di sudut, terdapat sofa panjang dan meja kaca untuk menjamu tamu penting. Meja kerjanya besar, berlapis marmer abu tua, rapi dan minimalis. Dan di baliknya, sebuah kursi kerja kulit berwarna hitam yang nyaman menopang tubuh lelahnya. Devan duduk pelan, bersandar berat. Untuk sesaat, ia menaruh seluruh beban itu di sandaran kursi. Tapi tubuhnya tetap tegang. Karena ia tahu—apa yang datang padanya bukan sekadar proyek… tapi kebenaran yang mulai mengejar. Baru saja Devan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sejenak di dalam ruangannya yang sepi, ponsel di dalam saku jasnya kembali berdering. Getaran dan nada dering itu terdengar nyaring di ruangan yang begitu tenang, membuat jantungnya langsung melonjak. Seketika, tubuhnya menegang kembali. Ia tidak langsung mengambilnya. Pikiran Devan penuh spekulasi. Klien? Rhea? Atau… Dengan ragu dan berat hati, ia menarik ponsel dari saku jasnya dan melihat layar. Nama itu muncul lagi. LYLA. Devan mengatupkan rahang. Napasnya berat. Dua kali dalam satu pagi—itu bukan lagi kebetulan. Dengan cepat, ia mengangkat panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinganya, suaranya rendah dan tajam. “Ada apa, Lyla? Kenapa kamu nelepon aku lagi?” Di ujung sana, hening sejenak. Lalu terdengar suara wanita yang ia kenal terlalu baik. “Kita harus bicara, Dev. Ini penting. Sebelum semuanya terlambat…” 🌷🌷 Devan mengerutkan kening. Ujung-ujung sarafnya menegang, tangannya mencengkeram lengan kursi kerja saat suara Lyla terdengar lebih pelan—dan lebih serius dari biasanya. “Penting? Maksud kamu apa, Lyla?” tanyanya tajam, suaranya ditekan agar tak memancing perhatian siapa pun di luar ruangannya. Ada jeda. Lalu suara Lyla terdengar lagi, lebih lembut tapi menusuk. Dalam percakapan telepon yang masih tersambung, suara Lyla terdengar lebih pelan, nyaris bergetar—dan untuk pertama kalinya, tak hanya terdengar tegas, tapi juga penuh kecemasan. “Dev…alasan aku nelepon kamu bukan cuma soal kehamilan ini. Tapi karena dokter menyarankan aku nggak datang sendiri untuk pemeriksaan berikutnya.” Devan terdiam, jantungnya berdetak semakin cepat. “Kenapa? Ada apa?” tanyanya pelan. Lyla menarik napas panjang sebelum menjawab. “Waktu USG minggu lalu, dokter menemukan indikasi...kelainan pada jantung janin. Katanya kemungkinan ada kelainan struktural di bilik jantung, dan mereka butuh observasi lanjutan untuk memastikan.” Devan langsung terpaku. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. “Mereka bilang, pada usia lima bulan, kelainan kayak gitu udah bisa mulai dianalisis lebih jelas. Aku harus jalani echocardiography janin, dan menurut rumah sakit... kamu sebagai ayah biologis harus ada, buat denger langsung penjelasan dan opsi-opsinya.” Hening sesaat. Lalu Lyla menambahkan dengan suara lirih. “Aku nggak minta kamu pilih aku, Dev. Tapi...ini soal anakmu. Setidaknya…temani aku sebagai ayahnya. Aku takut sendirian.” Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya terungkap, Devan merasa hancur sepenuhnya—karena kali ini, konsekuensinya bukan hanya soal perselingkuhan, tapi soal hidup seseorang yang belum lahir…dan masa depan yang menuntut jawabannya sekarang. Devan memejamkan mata sejenak, jemarinya menggenggam kuat sisi kursi kerjanya. Napasnya tertahan di tenggorokan, lalu mengalir keluar dalam desahan berat yang nyaris menyerupai erangan luka batin. Bayinya mengalami kelainan jantung? Kalimat itu berputar terus dalam kepalanya, menggema lebih keras daripada suara Lyla di seberang telepon. 'Tuhan…ini anakku. Darah dagingku. Tapi…kenapa harus begini?' Pikirannya melompat jauh ke depan—bagaimana nanti saat bayi itu lahir? Apakah ia akan bertahan? Haruskah menjalani operasi? Akankah hidupnya penuh alat bantu sejak lahir? Kepalanya berdenyut. Bukan hanya karena rasa bersalah pada Rhea, bukan hanya karena pernikahan sebatas tanggung jawab yang kini berubah menjadi bom waktu—tapi karena ketakutan kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat ia peluk. Devan tak bisa berkata-kata. Untuk pertama kalinya…ia merasa benar-benar tidak siap menghadapi kenyataan. Terlalu banyak dosa, dan kini, takdir seperti menagih semuanya dalam satu waktu sekaligus mencekiknya di saat bersamaan. Devan menunduk dalam, punggungnya membungkuk di atas kursi, seolah ingin menyembunyikan wajah yang mendadak terasa berat karena beban masa lalu. Napasnya tercekat, dan pikirannya kembali ditarik mundur—ke malam paling kelabu dalam hidupnya. Malam itu seharusnya hanya makan malam bisnis biasa. Ia menjamu salah satu investor asing penting dalam proyek properti besar milik perusahaannya. Semuanya berjalan formal, profesional—hingga minuman demi minuman mulai disodorkan sebagai bentuk penghormatan. Ia yang biasanya mampu menjaga diri, malam itu terlalu lelah, terlalu kosong, terlalu lengah. Dan Lyla…karyawan baru di bagian legal perusahaan, yang bertugas sebagai penerjemah dan notulis, ikut hadir menemani sebagai bagian dari tim perjamuan. Lyla terlihat tenang, banyak membantu, dan tanpa ia sadari, menjadi satu-satunya orang yang tinggal bersamanya hingga akhir acara. “Pak Devan, sebaiknya kita kembali…Anda sudah terlalu banyak minum.” Kalimat itu samar-samar kembali terngiang di telinganya. Ia hanya mengangguk waktu itu. Pandangannya kabur. Langkahnya goyah. Lyla menopangnya dengan sabar, membawanya ke kamar hotel tempat ia diinapkan atas biaya perusahaan. Ia terlalu mabuk untuk berpikir…terlalu tak sadar untuk mengingat. Dan pagi harinya… Cahaya matahari menembus tirai tipis. Kepalanya berat. Tubuhnya terasa asing. Dan saat ia menoleh ke sisi ranjang—Lyla terbaring di sana, masih dalam selimut yang sama, tubuh mereka tanpa sehelai benang pun. “Astaga…!” Devan mengangkat selimut perlahan, terkejut dan gemetar. Ia tak tahu apa yang terjadi, tak tahu bagaimana bisa berakhir seperti ini. Lyla perlahan membuka mata, dan yang ia lihat hanyalah ekspresi kosong. Tak ada cinta di antara mereka. “Maaf…aku cuma ingin membantu. Tapi semuanya jadi begini,” bisik Lyla lirih. Sejak hari itu, hidup Devan berubah. Penyesalan dan ketakutan menjadi bayang-bayang yang terus mengikutinya. Ia ingin melupakan. Tapi ternyata, malam itu tak pernah benar-benar selesai. Karena sekarang…hasil dari malam itu tumbuh di rahim Lyla—dan tak ada jalan untuk menghapusnya dari kenyataan. Di ujung telepon, suara Lyla terdengar pelan tapi jelas. “Devan…kamu masih di sana? Kamu denger aku?” Ada jeda. Nada suaranya sedikit gemetar, seolah cemas Devan akan memutuskan panggilan begitu saja. Devan tersentak dari lamunannya, dari bayangan kelam malam yang selama ini ingin ia kubur. Napasnya tercekat, tenggorokannya kering. Ia mengusap wajah dengan satu tangan, mencoba kembali sadar pada kenyataan. “Iya…” jawabnya akhirnya, suara serak dan berat. “Aku masih di sini.” Hening sebentar. Kemudian, dengan suara tertahan, Devan bertanya. “Kapan pemeriksaannya? Yang dibilang dokter soal jantung janin itu…” Lyla menarik napas panjang di ujung sana sebelum menjawab. “Besok. Jam sepuluh pagi. Di rumah sakit ibu dan anak di Menteng. Dokter spesialis jantung janin yang pegang langsung. Aku…nggak bisa sendirian, Dev.” Kata-katanya menusuk. Devan menatap lurus ke dinding kantornya yang hampa. Besok. Pukul sepuluh. Dan pada waktu yang sama…ia tahu, Rhea juga punya jadwalnya sendiri. Dan kebohongan baru akan segera tercipta. Devan menghela napas panjang, seolah menarik seluruh beban ke dalam dadanya. Dengan suara lemah dan ragu, akhirnya ia berkata, “Iya, besok aku temani kamu ke rumah sakit…” Tak lama setelah itu, panggilan terputus. Devan menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu dengan berat hati meletakkannya di atas meja. Tangannya sempat menggenggam benda itu lebih lama, seakan tak rela melepaskan keputusan yang baru saja ia buat. Tatapannya perlahan beralih ke arah bingkai foto di sudut meja— foto dirinya bersama Rhea. Wanita itu tersenyum begitu bahagia dalam pelukannya, mata mereka saling menatap penuh cinta, penuh kepercayaan. Kenangan yang dulu terasa hangat…kini berubah seperti luka yang baru terbuka. Dadanya berdenyut nyeri. Karena ia tahu, cinta yang ia miliki tak berubah…tapi pilihan-pilihannya akan segera menghancurkan segalanya. Termasuk hati wanita yang paling ia cintai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD