Eps. 8 Ciri Yang Mirip

1309 Words
Devan menunduk, menatap bingkai foto itu dalam diam. Hatinya bergolak, napasnya terasa berat menekan da-da. Dengan suara nyaris tak terdengar, ia menggumam pelan, “Rhea…” Namanya meluncur begitu berat dari bibirnya, seolah menyebut sesuatu yang terlalu suci untuk disentuh oleh kesalahan. Tatapannya penuh cinta, namun seiring waktu berlalu, sorot itu memudar, digantikan oleh bayang-bayang bersalah yang mulai menelan dirinya. Tangannya terulur gemetar, menyentuh permukaan kaca bingkai foto itu. Ia mengusap lembut wajah Rhea dalam foto—wanita yang ia nikahi, yang setiap harinya ia peluk, yang selalu ia bilang “rumah”. “Aku…hanya cinta kamu, Rhea,” bisiknya lirih. “Dan perasaan itu… selamanya nggak akan pernah berubah.” Namun ia tahu, cinta saja tidak cukup. Karena kenyataan sudah mulai membentuk jurang—dan ia berdiri di tepinya, sendirian. Dengan kepala masih tertunduk dan jemari masih menggenggam bingkai foto, Devan memejamkan mata. Hatinya terasa sesak, penuh luka yang tak berdarah. Dalam diam, bibirnya bergetar, menahan perasaan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Lirih, hampir seperti gumaman angin, ia berkata, “Maaf…Rhea.” Hanya dua kata. Tapi beratnya seperti menindih seluruh dadanya. “Maaf karena menyakitimu, bahkan tanpa kamu tahu…maaf karena aku terlalu pengecut untuk jujur. Dan maaf…karena aku nggak bisa bilang ini langsung sekarang.” Matanya basah. Namun tak ada air mata yang jatuh—hanya hati yang remuk di dalam da-da. Ia tahu, Rhea pantas tahu yang sebenarnya, tapi ia belum sanggup. Belum sekarang. Karena satu-satunya alasan yang membuatnya menahan semua ini… adalah harapan kecil bahwa ia masih bisa melindungi Rhea, meski kenyataannya ia telah menghancurkannya diam-diam. Suara dering telepon di meja memecah kesunyian dan juga mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui benak Devan. Ia terlonjak sedikit, napasnya tertahan sejenak, sebelum akhirnya meraih gagang telepon hitam di depannya. “Ya, halo?” Suara sekretarisnya terdengar sopan dan profesional di ujung sana. “Maaf mengganggu, Pak Devan. Ada klien dari Arta Karya Development yang ingin bertemu. Mereka ingin membahas detail kerja sama proyek baru yang nilainya cukup besar. Rapatnya dijadwalkan satu jam lagi, pukul sepuluh tepat di ruang meeting lantai empat.” Devan mengangguk pelan, meski sekretarisnya tentu tak bisa melihat. “Baik, tolong siapkan semua dokumen terkait proyek itu. Aku akan ke sana tepat waktu.” “Siap, Pak.” Telepon ditutup. Devan memejamkan mata sesaat. Waktu untuk menyesali takdir belum habis, tapi hari ini tetap menuntut peran dan tanggung jawabnya. Ia menarik napas dalam, merapikan jas, lalu berdiri. Saatnya menjadi CEO kembali, meski hatinya belum pulih sepenuhnya. Devan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Sorot matanya yang semula redup karena dihantui masalah pribadi kini mulai kembali tajam. Inilah dirinya—seorang profesional. Seburuk apa pun badai yang menerpa hidupnya, dia tidak pernah membawa kekacauan itu masuk ke dalam ruang kerja. Ia bangkit dari kursinya, merapikan jas dengan satu gerakan cepat dan rapi. Tangannya kemudian meraih folder presentasi dan dokumen terkait proyek Arta Karya Development yang sudah disiapkan sebelumnya. Semua data sudah ia pelajari, dan kepalanya penuh strategi. “Masalah pribadi bisa menunggu. Tapi proyek besar seperti ini… tidak.” Itulah prinsipnya. Sebagai CEO dan pemilik salah satu perusahaan properti terkemuka, Devan tahu setiap peluang harus diperlakukan dengan keseriusan penuh. Apalagi proyek ini bernilai ratusan miliar dan bisa membuka jaringan internasional baru. Dengan langkah mantap dan wajah kembali tenang, ia melangkah keluar dari ruangannya, bersiap menyambut klien dengan sikap percaya diri dan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Di dunia bisnis, Devan Elano tetap pria tak tergantikan. Meski hatinya—perlahan mulai retak di balik semua itu. Di ruang meeting lantai empat yang luas dan berdesain elegan, Devan duduk di kursi utama, meja kaca besar di depannya sudah mulai dipenuhi dengan berkas-berkas dan catatan yang ia siapkan sendiri. Ia memeriksa satu per satu data, mencocokkan kembali timeline proyek dan estimasi nilai kerja sama. Tatapannya fokus, nyaris tak berkedip—semua masalah pribadi ia kunci rapat di balik dinding pikirannya. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka perlahan. Sekretarisnya masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah laptop dan dua map berisi bahan presentasi yang tadi diminta Devan. “Ini data revisi anggaran dan skema kerja sama terakhir dari tim marketing, Pak. Saya juga sudah siapkan template presentasi untuk ditampilkan nanti.” Devan mengangguk singkat. “Terima kasih. Letakkan saja di sini,” katanya sambil menunjuk ke sisi kanan meja. Meski pertemuan baru akan dimulai satu jam lagi, Devan ingin memastikan semua sempurna. Dalam dunia bisnisnya, tidak ada ruang untuk celah—dan tidak ada tempat untuk ragu. Ia membuka laptop, lalu mulai menyusun ulang beberapa poin presentasi. Fokus, cepat, dan presisi. Seolah tidak ada yang sedang menghancurkan hidupnya perlahan dari sisi lain. Di tempat lain, Rhea tiba di sebuah kafe tenang di dekat gedung pengadilan keluarga, tempat yang biasa ia pilih untuk bertemu dengan klien sebelum memasuki ruang sidang. Suasananya cukup privat, interiornya hangat dengan deretan kursi sofa berwarna cokelat tua dan lampu gantung redup yang menciptakan kesan nyaman—sangat cocok untuk percakapan serius namun tetap personal. Kliennya sudah menunggu di sudut ruangan, seorang wanita muda dengan wajah lelah dan mata yang tampak menyimpan amarah serta kekecewaan. Klien itu adalah Nadya Karina, perempuan usia awal 30-an yang semalam menghubungi Rhea dan meminta pertemuan mendadak untuk finalisasi dokumen perceraian. Rhea duduk di hadapan Nadya dengan tenang, membuka map dokumen di pangkuannya. “Baik, Bu Nadya. Kita bahas dulu semua poin yang akan Ibu ajukan di persidangan nanti. Hak asuh, pembagian harta, dan kronologi kasus…” Nadya mengangguk pelan, air matanya mulai menetes. Dan seperti biasa, Rhea bersikap tenang. Satu sisi dirinya terlatih menangani luka rumah tangga orang lain. Namun pagi ini, untuk pertama kalinya…dia membawa luka sendiri yang diam-diam menganga dalam diam. Nadya mengusap ujung matanya yang sembab dengan tisu, berusaha tetap tenang meski suaranya sedikit bergetar. “Saya nggak akan pernah nyangka, Mbak Rhea…kalau suami saya bisa selicin itu nyembunyiin perselingkuhannya selama hampir setahun.” Rhea mengangguk pelan, menyimak sambil mencatat, tapi saat Nadya melanjutkan, pikirannya mulai terusik. “Awalnya cuma curiga dari hal kecil. Dia sering lembur tanpa alasan jelas, pulang larut malam, dan kadang bilang habis makan malam dengan klien. Tapi anehnya, begitu pulang, dia masih makan makanan rumah seperti kelaparan.” Rhea terdiam sejenak. Itu sama seperti Devan… “Terus…saya nemu foto perempuan lain di antara berkas kerja di ruangannya, kayak nggak sengaja ketempelan. Dan anehnya, pas saya tanya dia tenang banget, malah bilang itu staf baru, padahal jelas banget fotonya bukan format ID atau apa.” Foto Lyla di antara berkas Devan melintas cepat di kepala Rhea. “Dan puncaknya…waktu saya lihat tagihan rumah sakit dari email dia. Pemeriksaan kehamilan. Tapi saya nggak hamil. Waktu saya cek… ternyata itu bukan buat saya, tapi buat perempuan lain. Dia daftar sebagai pendamping medis.” Napas Rhea tercekat sesaat. Tangannya perlahan mengepal di atas meja. Semua cerita Nadya perlahan menyatu dengan serpihan kegelisahan dalam dirinya. Lembur yang tak jelas. Makan dua kali. Foto wanita di berkas. Dan tagihan medis. Semua yang dialami Nadya—hampir sama seperti yang mulai dialaminya kini. Namun Rhea tetap duduk tenang di hadapan kliennya. Hanya matanya yang mulai kehilangan fokus, terseret dalam arus pikirannya sendiri. Karena diam-diam, ia mulai bertanya pada dirinya… 'Apakah aku juga sedang menjadi "Nadya" berikutnya…?' Nadya menatap Rhea dengan mata yang memerah, menggenggam tisu erat di tangannya. Suaranya bergetar, penuh luka yang belum sembuh. “Aku nggak salah kan, Mbak Rhea...? Kalau aku mutusin buat cerai? Karena sakit kayak gini... rasanya kayak ditusuk dari belakang sama orang yang paling aku percaya.” Rhea mereguk saliva dengan berat. Kata-kata Nadya menggema terlalu dalam di benaknya. Ia tahu, sebagai pengacara, seharusnya ia memberikan pandangan objektif. Tapi pagi ini, batas profesional dan pribadi mulai kabur. Rhea tersenyum tipis, menahan gemuruh hatinya. “Tidak, Nadya. Kamu tidak salah. Memilih bertahan atau pergi... dua-duanya butuh keberanian. Dan kamu berhak memilih yang paling menyelamatkan hatimu.” Tapi dalam hati, Rhea bertanya pada dirinya sendiri—apa dia juga cukup berani menghadapi kenyataan yang sama?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD