Devan menutup pintu rumah pelan, tapi langkahnya terasa berat. “Apa benar itu Rhea?” gumam Devan yang terus berputar di kepalanya. 'Kenapa dia datang? Mau bicara? Mau mengambil barangnya? Atau hanya lewat?' Ia melempar jas kerjanya ke sandaran sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Sandaran kursi menerima bobotnya yang penuh lelah, tapi tidak mampu meredakan kekalutan di kepalanya. Napasnya berat, pandangannya kosong ke langit-langit. “Perceraian ini…seharusnya segera diproses secara hukum, tapi kenapa aku tidak bisa melakukannya?” Ia sudah melihat sendiri bagaimana Rhea bersama lelaki lain—kenyataan yang seharusnya cukup untuk membuatnya melepaskan. Tapi entah mengapa, rasa itu tak hilang. Masih ada cinta yang mengendap, bercampur dengan luka yang menganga. 'Kenapa aku tak bisa

