“Devan… kamu ke mana?” suara Rhea bergetar lirih, hampir tak terdengar di antara deru angin laut yang menusuk malam. Ia berdiri di bibir dermaga, matanya liar menyapu setiap sisi, mencari sosok yang paling dicintainya. Namun yang ia temukan hanyalah kayu dermaga yang patah, berserakan, seakan habis dilanda benturan keras. Langkahnya gontai, tubuhnya hampir goyah ketika ia menyentuh papan kayu yang koyak itu. “Astaga…” bisiknya, air matanya luruh begitu saja, jatuh ke lantai dermaga yang basah. Ia membayangkan Devan ada di sana—sendirian, berjuang melawan sesuatu yang tidak ia mengerti. Pandangannya terus berkeliling, ke kiri dan ke kanan. Sisi dermaga tampak jebol, serpihan kayu terapung di air hitam berombak. Setiap kali riak mengguncang, Rhea seolah melihat bayangan Devan terseret arus

