4

966 Words
Pagi hari tiba dengan cahaya lembut yang menyusup melalui celah tirai jendela kamar Ebas. Udara dingin pagi itu mengalir perlahan ke dalam ruangan, memberikan rasa tenang setelah malam yang panjang. Namun, meskipun alam sekitar tampak damai, pikiran Ebas tidak seimbang. Ketegangan dan rasa lelah yang menumpuk dari hari sebelumnya belum sepenuhnya hilang. Di ruang tamu, Mirna—ART yang telah ia tugaskan untuk menjaga wanita yang ditemukan tadi malam—masih berada di sana. Wanita yang sebelumnya terbaring lemah di ranjang tamu kini sedikit lebih baik, meskipun kondisinya masih tampak rapuh. Dokter Diah datang kembali pagi itu, memberi pemeriksaan lanjutan dan mengatakan bahwa wanita itu stabil meski belum sepenuhnya pulih. Namun, ada satu hal yang membuat Ebas gelisah. Sebuah pertanyaan yang sejak malam tadi terus menghantuinya. Pagi itu, Ebas tak langsung turun ke ruang tamu atau bertemu dengan siapapun. Dia memilih untuk tetap di kamarnya, menyendiri untuk beberapa saat, mencoba meredakan pikirannya yang bercampur aduk. Setelah menikmati sarapan ringan yang disiapkan oleh ART-nya, dia memutuskan untuk pergi ke kamar tamu dan melihat kondisi wanita itu sendiri. Namun, sebelum sempat melangkah keluar dari ruangannya, suara lembut nan ceria yang sangat familiar menyelip di telinganya. “Papiii…” Ebas segera menoleh, melihat Calandra, putri kecilnya, berlari kecil ke arahnya. Di belakangnya, terlihat Sari, babysitter Cala, mengikuti dengan langkah sigap sambil membawa boneka kesayangan Cala yang tertinggal. “Nona Cala, hati-hati, jangan lari-lari,” tegur Sari dengan nada lembut, meski terlihat sedikit kewalahan. Ebas hanya tersenyum tipis, rasa lelah yang sempat mendera perlahan memudar saat melihat wajah cerah putrinya. Dia segera berlutut, membuka kedua tangannya lebar, menyambut Cala yang langsung melompat ke pelukannya. “Kenapa sudah bangun, hmm? Biasanya kamu masih tidur jam segini,” tanya Ebas sambil mengangkat tubuh mungil Cala ke pangkuannya. Alih-alih menjawab, Cala justru meletakkan kedua tangannya di wajah ayahnya dan menatapnya dengan mata polos penuh rasa ingin tahu. “Papi pulang jam berapa tadi malam? Cala nggak lihat papi semalam…” Ebas terdiam sesaat, memandangi wajah kecil itu. Ada kehangatan dan kepolosan dalam tatapan Cala yang selalu berhasil membuatnya merasa bahwa semua kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. “Papi pulang sangat larut, sayang. Cala sudah tidur waktu itu,” jawabnya lembut, sambil mengusap lembut rambut hitam Cala. “Jangan kerja terus, Papi. Main sama Cala dong,” rengek Cala, menggembungkan pipinya. Ebas tersenyum kecil, mencium pipi putrinya dengan penuh kasih. “Maaf ya, sayang. Nanti sore kita main, janji,” katanya. “Janji ya! Jangan bohong kayak waktu itu!” Cala menatap ayahnya dengan ekspresi serius, membuat Ebas tertawa kecil. “Janji,” ulang Ebas dengan nada meyakinkan. Setelah beberapa menit berbicara dengan Cala, Ebas menyerahkan putrinya kembali pada Sari. Dia meminta agar Sari membawa Cala ke taman kecil di belakang rumah, agar anak itu bisa bermain sambil menikmati udara segar. Begitu mereka pergi, senyum di wajah Ebas perlahan memudar, dan pikirannya kembali ke realitas yang menghantui sejak tadi malam. Wanita asing itu—apa yang sebenarnya terjadi padanya? Dengan langkah tenang, Ebas melangkah menuju kamar tamu, tempat wanita itu masih dirawat. Dalam hatinya, dia tahu bahwa pertemuan ini mungkin akan membuka lembaran baru dalam hidupnya, meskipun ia belum tahu apakah itu akan membawa kebahagiaan atau masalah. Ebas membuka pintu kamar tamu. Mirna yang berada di sana segera berdiri dan memberi hormat. "Tuan Sebasta, wanita itu tampaknya sudah lebih baik, namun masih dalam kondisi lemah." Ebas mengangguk, memperhatikan wanita yang terbaring di ranjang. Wajahnya masih pucat, namun kini ada tanda kehidupan yang lebih jelas. Nafasnya teratur dan tubuhnya tidak sekaku semalam. Di dekat ranjang, ada beberapa peralatan medis yang masih terpasang untuk memastikan tubuhnya pulih. "Apakah dia sudah sadar?" tanya Ebas, suaranya dalam dan penuh perhatian meskipun ekspresinya tetap dingin. Mirna menggelengkan kepala. "Belum, Tuan. Tapi saya rasa dia mulai menunjukkan sedikit respons. Dia menggerakkan tangannya semalam." Ebas melangkah mendekat, matanya memeriksa setiap detail wajah wanita itu. Tidak ada yang bisa dia ingat tentang siapa dia atau bagaimana ia bisa tergeletak di tengah jalan. Semua ini terasa begitu aneh, seperti suatu takdir yang dipaksakan. "Tuan," suara Mirna membuatnya tersadar, "Dokter Diah mengatakan bahwa jika dia sadar, kita harus berhati-hati dengan apa yang kita tanyakan padanya. Kondisinya mungkin masih shock." Ebas mengangguk, menyetujui peringatan itu. Namun ada satu hal yang masih belum bisa ia lepaskan—sebuah rasa penasaran yang tak bisa dia abaikan begitu saja. Tanpa mengatakan lebih banyak, Ebas berbalik dan meninggalkan kamar tamu, berjalan kembali menuju tangga. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat foto keluarga kecilnya yang tergantung di dinding. Sebuah senyum lembut terlukis di wajahnya, meskipun dalam hatinya, rasa tertekan itu tak bisa lepas begitu saja. Sesampainya di ruang kerjanya, Ebas kembali membuka laptop dan mulai memeriksa beberapa laporan bisnis yang menumpuk. Namun, bayangan wajah wanita itu—yang masih terbaring di kamar tamu—terus menghantui pikirannya. Rasanya, hari ini akan terasa panjang. Beberapa jam berlalu, dan Ebas merasa ada yang berubah dalam dirinya. Mungkin dia terlalu lelah, atau mungkin terlalu banyak yang ia simpan dalam pikirannya, tetapi perasaan cemas terhadap wanita yang dia tolong malam tadi semakin menguat. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Ebas mengalihkan pandangannya ke pintu yang terbuka perlahan, dan Mirna masuk, kali ini dengan wajah yang lebih serius. "Tuan Sebasta," suara Mirna terdengar cemas, "Wanita itu sudah sadar. Tapi... dia tampaknya terkejut dan takut. Kami tak bisa memintanya untuk bicara banyak." Ebas menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sejenak, dan kemudian berdiri. "Bawa dia ke ruang tamu. Saya ingin berbicara dengannya." Langkah Ebas mantap, tetapi ada keraguan dalam hatinya. Dia tidak tahu apa yang akan dia temui. Namun satu hal yang jelas—dia harus tahu siapa wanita itu dan mengapa dia berada di tengah jalan malam tadi. Sebelum beranjak ke ruang tamu, Ebas berhenti sejenak di depan jendela kamar kerjanya, menatap ke luar, berpikir sejenak. Sebuah suara tiba-tiba terlintas di pikirannya, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD