3

1010 Words
Setelah tiba di mansion megah milik Sebasta Bayanaka Indrayan, suasana berubah menjadi sibuk. Galih langsung membawa tubuh wanita yang lemah itu ke kamar tamu, sementara Ebas melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Wajahnya tetap dingin, meski ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan rasa penasaran. Ebas segera mengambil ponselnya dan menekan nomor dokter pribadinya, Dr. Diah, seorang dokter berpengalaman yang biasa menangani kebutuhan medis keluarga Indrayan. "Dokter Diah, saya butuh Anda segera ke mansion. Ada situasi darurat," ujarnya dengan nada tegas tanpa memberi ruang untuk pertanyaan. "Baik, Tuan Sebasta. Saya akan segera ke sana," jawab Dr. Diah tanpa banyak bicara, sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari klien eksklusifnya. Ebas menutup telepon dan kembali ke ruang tamu, di mana Galih baru saja selesai menempatkan wanita itu di ranjang. Kamar tamu di mansion itu memang luas dan mewah, jauh dari kondisi wanita yang kini terbaring di atasnya. Cahaya lampu kristal menerangi wajahnya yang penuh luka lebam. Napasnya pelan dan tak beraturan, menunjukkan betapa lemahnya kondisi tubuhnya. Galih berdiri di samping ranjang, menatap majikannya dengan ekspresi penuh tanya. "Tuan, apa kita harus melaporkan ini pada polisi?" Ebas menggeleng pelan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Tidak sekarang. Kita bahkan tidak tahu siapa dia. Fokus saja untuk memastikan dia tetap hidup." Galih mengangguk dan mundur beberapa langkah, membiarkan Ebas mendekat. Pria itu berdiri di sisi ranjang, menatap wanita yang tak sadarkan diri itu dengan mata penuh pertimbangan. Luka-lukanya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, mulai dari lebam di pipi hingga memar di tangan dan kakinya. Ada jejak darah kering di sudut bibirnya, serta robekan di pakaiannya yang lusuh. "Siapa kau, dan apa yang membuatmu sampai seperti ini?" gumam Ebas pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Galih segera membuka, memperlihatkan Dr. Diah yang datang dengan tas medisnya. Wanita paruh baya itu melangkah masuk dengan sigap, menyapa Ebas dengan anggukan kecil sebelum langsung menuju wanita yang terbaring di ranjang. "Keadaannya?" tanya Dr. Diah sambil membuka tas medisnya. "Lemah, banyak luka di tubuhnya, dan tampaknya dia mengalami dehidrasi parah," jawab Ebas singkat. Dr. Diah memeriksa denyut nadi wanita itu, lalu menyalakan senter kecil untuk memeriksa respons pupil matanya. "Dia memang sangat lemah, mungkin sudah lama tidak makan atau minum. Luka-luka ini juga terlihat seperti akibat kekerasan fisik. Saya akan membersihkan lukanya dulu dan memberinya cairan infus," katanya sambil memulai pekerjaannya. Ebas mengangguk tanpa banyak bicara. Dia berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tatapan kosong. Namun, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan wanita itu. "Saya akan melakukan yang terbaik, tapi jika dia sadar, sebaiknya segera cari tahu apa yang terjadi padanya. Kondisi mentalnya mungkin sama buruknya dengan fisiknya," ujar Dr. Diah sambil membalut luka di tangan wanita itu. "Baik, Dokter. Lakukan saja yang perlu," jawab Ebas singkat, nadanya tegas. Setelah beberapa waktu, Dr. Diah selesai dengan perawatan awalnya. Wanita itu masih belum sadar, tapi napasnya mulai stabil, dan tubuhnya tampak sedikit lebih tenang. "Saya sudah memberikan cairan infus dan membersihkan lukanya. Untuk sekarang, biarkan dia beristirahat. Kalau ada perkembangan, hubungi saya lagi," kata Dr. Diah sambil membereskan peralatannya. "Terima kasih, Dokter," ucap Ebas. Dia mengantar Dr. Diah hingga pintu depan sebelum kembali ke kamar tamu. Di sana, dia berdiri diam di sisi ranjang, menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya. Dalam pikirannya, muncul pertanyaan yang terus mengganggunya. Siapa dia, dan bagaimana dia bisa terlibat dalam hidupku di malam seperti ini? Namun, Ebas tahu satu hal pasti: dia telah membuat keputusan untuk menolong wanita ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, dia hanya berharap itu bukanlah sebuah kesalahan. --- Setelah memastikan bahwa kondisi wanita itu stabil meskipun masih terbaring lemah dengan selang infus di lengannya, Ebas meninggalkan kamar tamu. Dia berjalan menuju ruang keluarga di lantai dua, di mana beberapa ART yang masih berjaga menyambutnya dengan anggukan hormat. Wajahnya tetap dingin dan tenang, namun pikirannya sibuk memproses apa yang baru saja terjadi. “Bu Mirna,” panggil Ebas dengan nada rendah namun penuh wibawa, menghentikan langkah kepala ART-nya yang sedang merapikan meja di sudut ruangan. “Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Mirna sopan, menoleh dengan cepat. “Bagaimana Calandra? Sudah tidur?” tanyanya, menyebut nama putri kecilnya dengan nada yang sedikit lebih lembut. “Sudah, Tuan. Nona Calandra sudah tidur sejak pukul sembilan tadi. Tidurnya nyenyak, seperti biasa,” jawab Mirna dengan senyum kecil. Ebas mengangguk, sedikit lega mendengar kabar tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, dan dia tahu Calandra pasti berada di dalam mimpinya yang tenang. Bagi Ebas, meski kehidupannya penuh tekanan, putrinya adalah satu-satunya sumber ketenangan yang nyata. “Baik. Sekarang, saya ingin kamu berjaga di kamar tamu. Pastikan wanita itu tetap aman dan informasikan padaku jika ada perubahan apa pun pada kondisinya,” ujar Ebas dengan nada tegas, kembali menunjukkan sikap pemimpinnya. “Baik, Tuan. Saya akan segera ke sana,” jawab Mirna patuh, lalu segera melangkah menuju kamar tamu. Setelah memberikan instruksi, Ebas berjalan menuju tangga yang mengarah ke lantai tiga, tempat kamar pribadinya berada. Langkahnya mantap meski tubuhnya terasa lelah setelah hari yang panjang. Dia mulai melepaskan dasi yang melingkar di lehernya, menariknya dengan gerakan cepat sebelum melonggarkan kancing kemejanya satu per satu. Udara dingin malam menyentuh kulitnya, memberikan sedikit rasa nyaman setelah seharian terbungkus pakaian formal yang ketat. Begitu tiba di kamar, Ebas menyalakan lampu temaram di sudut ruangan, menciptakan suasana yang tenang. Kamarnya luas, dengan dinding berwarna netral, perabotan mewah, dan jendela besar yang memberikan pemandangan kota di bawah sana. Dia berjalan menuju meja di dekat tempat tidurnya, meletakkan dasi dan kemejanya yang sudah dia lepaskan. Ebas menghela napas panjang, tangannya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut sejak tadi. Pikirannya kembali pada wanita yang kini terbaring di kamar tamu. Meski dia mencoba mengabaikannya, ada sesuatu yang membuatnya terus bertanya-tanya. Namun, rasa penasaran itu tak mengalahkan rasa lelah yang menyerangnya. Dia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh malam ini. Setelah mencuci wajah dan mengganti pakaian dengan piyama sederhana, Ebas merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Matanya terpejam, namun pikirannya masih berputar, mencoba merangkai segala hal yang terjadi hari ini. Sebelum benar-benar tertidur, dia berbisik pada dirinya sendiri, "Semoga ini bukan keputusan yang salah." ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD